Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Kejujuran yang menyembuhkan

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 1 Mei 2013

Aslinya diterbitkan di edisi 5 November 2012 majalah Christian Science Sentinel


Untuk waktu yang lama saya menganggap bahwa kejujuran hanya berarti tidak berbohong. Tetapi kemudian saya sadar bahwa arti kejujuran jauh lebih dalam daripada sekedar tidak berbohong. Sekarang saya sadar bahwa kejujuran juga berarti tidak mengakui kebohongan sebagai sesuatu yang sejati. 

Ilmupengetahuan Kristen mengajarkan bahwa kesembuhan terjadi ketika kita memahami kebenaran mengenai keadaan yang kita hadapi. Mary Baker Eddy menulis, “Kita harus ingat, bahwa Kebenaran dapat dibuktikan kalau dipahami, dan bahwa kebaikan tidak dipahami sebelum dibuktikan” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, hlm. 323). Dengan perkataan lain, benar-benar menyatakan kejujuran berarti memperoleh penanggapan rohaniah mengenai kebenaran agar kita lebih memahami Kebenaran. 

Adalah suatu fakta bahwa manusia telah diciptakan dan memang diciptakan dalam gambar dan keserupaan Allah saja (lihat Kejadian 1:26, 27)—keserupaan kebaikan, kesehatan, dan kekudusan. Dan tidak hanya itu—kita juga sadar akan apa yang selalu diketahui Allah mengenai diri kita. Mengetahui  bagaimana Allah melihat diri kita, adalah bagian dari jati diri kita. Oleh karena itu, pandangan yang benar dan jujur mengenai manusia adalah pandangan Allah. 

Mary Baker Eddy menulis, “Dalam Ilmupengetahuan Yesus memandang manusia yang sempurna, yang nampak baginya, tempat manusia fana melihat seorang yang berdosa dan fana. Pada manusia yang sempurna ini Juruselamat melihat keserupaan Allah sendiri, dan pandangan yang betul akan manusia itulah yang menyembuhkan orang sakit” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 476–477). Ini adalah suatu konsep yang jauh lebih dalam mengenai kejujuran daripada yang saya pikirkan sebelumnya. Jujur mengenai apa yang saya pikirkan adalah penting, tetapi untuk benar-benar jujur, saya harus melihat manusia yang sempurna, keserupaan Allah sendiri. Mungkin ini terasa sebagai suatu tugas yang sulit. Tetapi adalah bagian dari jati diri kita untuk menyadari pandangan Allah mengenai diri kita, yang merupakan pandangan yang benar tentang manusia. Hal ini memberi kita harapan. 

Dengan konsep yang baru dan dalam tentang kejujuran ini, kita dapat dengan mudah melihat mengapa kita tidak boleh mencela atau mengutuk orang lain atau diri kita sendiri. Jika kita ingin bersikap jujur, kita harus setia kepada pandangan yang benar dan jujur tentang manusia. Tetapi, apakah ini berarti kita tidak seharusnya “memberitahu seseorang kesalahannya?” Bagaimana dengan kode Matius (lihat Matius 18:15-17). Bagaimana kita menilai secara benar dan jujur ketika kita melihat seseorang jelas-jelas atau dengan sengaja berbuat dosa? Mungkin kita harus mendatangi orang tersebut  dan memberitahukan yang kita anggap sebagai kesalahannya (tentu saja sebisa kita dengan cara yang penuh kasih). Mungkin kiya harus berbicara dengan terus terang kepada seseorang yang bahkan tidak tahu bahwa tindakannya itu salah, suatu tugas yang menurut Ny. Eddy memerlukan  “roh Sang Guru kita yang terpuji” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 571). Tetapi pendekatan yang terluhur, paling menyatakan kasih, paling jujur, dan paling menyembuhkan harus dimulai dengan pikiran kita sendiri. 

Salah satu penjelasan yang paling mengena tentang hal ini ada dalam Khotbah di Bukit. Yesus memberitahu kita, “keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu” (Mat. 7:5). Ini tidak berarti Yesus menyarankan agar kita mengabaikan selumbar di mata sesama kita—tetapi dia mengatakan bahwa kita harus “melihat dengan jelas” sebelum melakukan hal tersebut. Bukankah melihat dengan jelas ini berarti pandangan yang jujur tentang manusia? Bukankah “pandangan yang betul” tentang manusia ini yang menyembuhkan orang sakit? 

Ingatlah, bahwa ketika kita melihat seseorang berbuat salah—meskipun itu “bukan kesalahan kita”—kita mempunyai tanggungjawab untuk membetulkan pikiran kita sendiri.  Mary Baker Eddy menulis, “Tidaklah lebih bersifat Kristen ilmiah untuk melihat penyakit daripada mengalaminya” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 421), dan asas yang sama sudah pasti berlaku juga untuk dosa.  Kita berkewajiban untuk membetulkan pikiran kita, dan mengambil langkah kejujuran berikutnya yang lebih dalam dengan cara melihat secara  jelas—melihat manusia yang sempurna. Dengan pandangan yang lebih dalam dan jujur ini, kita diberdayakan untuk mengambil tindakan yang memberkati—bahkan atas masalah-masalah yang kelihatannya di luar kendali kita. 

Salah satu tantangan yang mungkin kita hadapi adalah saat kita melihat seseorang bergumul dengan masalah atau kesalahan di masa lalu. Bukankah seringkali kita mendapati diri kita berpikir (saat membaca pernyataan yang mengilhami): “Ini sesuatu yang baik untuk mereka ketahui,” atau “Kalau saja mereka membaca artikel ini.” Kita tidak perlu khawatir! Kita dapat mengetahui kebenaran itu untuk mereka dan diri kita sendiri. Ny. Eddy menulis, “Apabila kita sepenuh-penuhnya memahami pertalian kita dengan Yang Ilahi, maka kita tidak dapat mempunyai Budi yang lain daripada BudiNya — kita tidak dapat mempunyai Kasih, kebijaksanaan, atau Kebenaran yang lain, ataupun suatu paham yang lain tentang Hidup, dan kita tidak dapat sadar tentang adanya zat atau kesesatan” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 205–206). Kita juga dapat mengetahui bahwa menyadari bagaimana Allah melihat kita merupakan bagian yang wajar dari jati diri setiap orang. Kita bukannya  penonton yang tidak berdaya. Kita dapat memiliki pandangan yang jujur, pandangan Allah, mengenai keadaan yang dihadapi, dan kita dapat mengharapkan hal itu mendatangkan kesembuhan. 

Mungkin keadaan yang paling sulit adalah ketika kita sendiri mengalami perlakuan yang tidak adil. Mungkin ketidkadilan tersebut sangat jelas dan disengaja—pengkhianatan, fitnah, pencurian, atau kebohongan. Mungkin kita berpikir berhak merasa jengkel, dan berhak mendapat imbalan. Tidak seorang pun yang berpikiran waras dapat mengatakan bahwa orang yang bersalah tidak perlu dimintai pertanggungjawaban. Namun demikian, pandangan kita yang jujur mengenai keadaan itu adalah yang yang paling penting untuk mendatangkan kesembuhan yang tuntas.

Di lain pihak, bagaimana jika kita yang berbuat salah, dan memendam rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri yang berkepanjangan? Apakah kita sudah bertobat dan memperbaiki diri, atau masihkah kita berkutat dalam proses tersebut? Mungkin memperoleh pandangan yang lebih jujur mengenai diri kita mencakup mengambil langkah berikutnya sesudah kita menyadari kesalahan kita. Ny. Eddy menulis bahwa “pengetahuan akan diri sendiri secara mental ... sangat perlu sekali untuk membasmi kesesatan.” Dia juga menulis, “Untuk membuktikan secara ilmiah kesesatan atau ketidaksejatian dosa, kita harus lebih dahulu melihat tuntutan dosa, dan kemudian memusnahkannya” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 462, 461). Pengetahuan akan diri sendiri ini lebih daripada sekedar menyadari dosa yang kita perbuat. Penanggapan insani menyatakan bahwa kita memiliki budi sendiri yang terpisah dari Allah dan memiliki ego dan kemauannya sendiri. Tetapi yang benar adalah hanya yang dilihat Allah mengenai diri kita, gambarNya. Allah adalah Budi kita, Hidup kita, dan Jiwa kita. Adalah bagian dari jati diri kita untuk sadar akan apa yang dilihat Allah: setiap orang di antara kita sebagai cerminanNya yang tidak berdosa. 

Bertahun-tahun yang lalu, ketika menjadi perwira di angkatan bersenjata, saya menghadapi kesulitan fisik yang tidak kunjung teratasi. Saya berdoa dibantu oleh beberapa penyembuh Ilmupengetahuan Kristen dalam waktu yang berbeda. Di saat yang sama, saya memeriksa pikiran saya mengenai bagaimana saya menilai orang lain, dan menyadari bahwa saya memendam rasa tidak suka terhadap seorang prajurit yang merupakan bawahan saya. Kinerja prajurit itu  sangat buruk dan dia suka sekali berbohong. 

Ketika berdoa, saya sadar bahwa betapapun buruknya gambaran mengenai keadaan itu, saya harus merubah pandangan saya mengenai prajurit tersebut. Dengan tekun saya berupaya melakukannya. Saya tahu bahwa gambaran yang saya lihat bukanlah pandangan Allah mengenai ciptaanNya; karena itu saya harus melepaskannya. Betapapun meyakinkan bukti-bukti yang ada, secara ilmiah hal tersebut tidak mungkin benar. Secara pelahan, kesulitan fisik yang saya alami mulai hilang dan pemahaman yang lebih dalam mengenai kebaikan Allah yang penuh rakhmat mulai tumbuh dengan mantap. 

Tidak lama kemudian, prajurit tersebut mendatangi saya, mencurahkan isi hatinya dan mengatakan bahwa dia akan dipecat dari kemiliteran. Ini terjadi pada hari Jumat, sedangkan tindakan pemecatan tersebut dijadwalkan pada hari Senin. Meskipun saya tidak heran mendengar berita tersebut, saya heran bahwa dia menceritakan kepada saya sesuatu yang biasanya berusaha ditutupinya. Kemudian prajurit tersebut minta nasehat saya, suatu hal yang belum pernah dilakukannya sebelumnya. 

Ny. Eddy menulis, “Ada dikatakan tentang manusia: ‘Sebagaimana orang berpikirdalam hatinya, demikianlah dia’; jadi, sebagaimana seseorang memahami secara rohaniah, demikianlah ia pada hakekatnya” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 213). Saya mengatakan kepada prajurit tersebut bahwa orang lain hanya melihat dia seperti apa yang dilihatnya tentang dirinya sendiri. Tidak ada kebohongan dan dusta sebesar apa pun yang dapat menyembunyikan hal tersebut. Jika ingin merubah pandangan orang terhadap diri anda, anda harus merubah pikiran anda tentang diri anda. 

Saya menyarankan agar saat sersan memerintahkannya  apel pada jam tertentu, dia datang melapor sepuluh menit lebih awal. Atau jika sersan memerintahkannya menyapu lantai, dia melakukan lebih dari itu, misalnya membersihkan sarang laba-laba—bukan agar sersan itu terkesan, melainkan untuk menetapkan standar bagi dirinya sendiri. Dengan menetapkan dan memenuhi standar yang lebih tinggi, dia akan lebih menghargai dirinya, dan dengan demikian orang lain pun akan lebih menghargainya. Ini bukan nasehat mengenai bagaimana membangun harga diri melainkan mengambil langkah yang tidak mementing diri menuju kepada Allah, dengan keinginan untuk melakukan apa yang benar dan baik. Keinginan yang tidak mementingkan diri untuk hidup sesuai pemahaman kita yang terluhur tentang apa yang benar, di mana pun kita berada, membimbing kita kepada pandangan yang lebih jujur tentang diri kita—pandangan Allah. Prajurit itu mencamkan nasehat saya sepenuh hati. 

Pada akhir pekan itu, karena hal yang tidak terduga, komandan dari unit prajurit tersebut dibebas-tugaskan dan dan diganti oleh seorang komandan baru. Ketika prajurit tersebut melapor kepada komandan yang baru pada hari Senin, komandan tersebut memutuskan untuk memberi kesempatan terakhir kepadanya. Sejak saat itu, kemajuan si prajurit  mantap. Dia mendapatkan kembali pangkatnya yang pernah diturunkan. Kinerja dan sikapnya pun jauh lebih baik. Lalu dia mulai bersaing untuk mendapatkan penghargaan dalam hal kinerja prajurit, dan akhirnya mendapatkan pengakuan sebagai prajurit terbaik selama satu kuartal, dan kemudian prajurit terbaik dalam tahun itu. Dia terus maju menjadi sersan dan mendapatkan pengakuan lainnya.  

Ny. Eddy menulis, “Seharusnya kita memeriksa diri kita sendiri untuk mengetahui apa yang merupakan kecenderungan serta maksud hati kita, karena hanya dengan demikianlah kita dapat belajar mengetahui diri kita sendiri dengan sesungguhnya” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 8). Ketika kita memeriksa diri kita sendiri (dan orang lain), hendaknya kita mengetahui bahwa kita terhormat dan sangat berharga di mata Allah. Itulah diri kita yang sesungguhnya. Dan pandangan yang benar ini menyembuhkan dan meluhurkan. 

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.