Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Keheningan bersama Allah

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 19 November 2014

Aslinya diterbitkan di edisi November 1972 majalah The Christian Science Journal


Ada suatu kehadiran di dalam diri kita yang paling dalam—di dalam diri laki-laki, perempuan, atau anak-anak—yang akan mengangkat kita keluar dari kesulitan jenis apa pun. Itu adalah kehadiran Allah. Dengan kesadaran bahwa Allah senantiasa menyertainya, Yesus Kristus mendapati orang banyak disembuhkan dan dipenuhi keperluannya. Menemukan kehadiran yang menyembuhkan seperti itu merupakan pekerjaan yang menyenangkan bagi orang yang mempercayakan dirinya kepada ajaran Sang Guru.

Mary Baker Eddy, yang menemukan Ilmupengetahuan rohaniah yang dinyatakan dalam kehidupan Yesus, berbicara lebih dari sekali mengenai perlunya membungkam penanggapan jasmaniah agar Allah dapat didengar. Dia menulis, “Ketika kesesatan berusaha untuk didengar melebihi Kebenaran, biarkanlah ‘suara yang kecil dan halus’ menghasilkan fenomena Allah” (The First Church of Christ, Scientist, and Miscellany, hlm. 249).

Adalah nabi Elia yang mendengar suara Allah bak “bunyi angin sepoi-sepoi basa” setelah angin, gempa, dan api tidak berhasil menyatakanNya (lihat 1 Raja-raja 19:11, 12). Kehadiran Allah masih tetap berbicara kepada setiap orang, tetapi seperti dahulu kala, hanya sedikit yang bersedia untuk diam dan mendengarkan.  

Tidak ada yang dapat mempengaruhi Allah untuk melakukan sesuatu; tidak seorang pun melalui pemikiran insani, baik ataupun buruk, dapat menjadikan kasih karunia Allah terwujud. Yang kita perlukan adalah melupakan keakuan dan melihat Allah sebagai Allah, yang menyebabkan terciptanya alam semestaNya yang sempurna dan rohaniah, tepat di mana kita berada. Sang Bapa sudah melakukan semua kebaikan, tetapi memerlukan keheningan, kebebasan dari keakuan, dan kerendahan hati yang luar biasa—menanggalkan sepenuhnya penanggapan yang keliru dan bersifat perorangan akan keakuan—untuk mendapati diri kita di tempatnya yang sesungguhnya, di alam kasih karuniaNya yang menakjubkan, di mana “Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya” (Mat. 6:8).  

Kesulitan kita datang dari kepercayaan umum bahwa kita masing-masing adalah insan yang terpisah dari Sang Bapa, dan karena keterpisahan ini, kita harus selalu berhati-hati untuk memelihara diri sendiri. Kepercayaan akan keterpisahan itu tidak pernah merupakan diri kita; itu hanyalah suatu kepercayaan. Bukan kepercayaan anda, bukan kepercayaan saya—hanyalah kepercayaan mengenai hidup tanpa Allah. Kita menembus kepercayaan itu saat kita berhenti berusaha mempertahankan suatu penanggapan yang berpusat pada diri sendiri. Maka kita akan berhenti berusaha memaksakan kehendak, dan membiarkan kehendak Bapa menjadi kehendak kita—membiarkan pernyataanNya saja menjadi diri kita, dan membiarkan Dia memelihara keindividuilan dari penyataanNya sendiri.

Kata yang penting di sini adalah biarkan. Dalam petikan yang kita sebutkan sebelumnya, Ny. Eddy mengatakan, “biarkanlah ‘suara yang kecil dan halus’ menghasilkan fenomena Allah.” Hal ini begitu sederhana sehingga seringkali luput dari perhatian kita!

Saat kita diam dan membiarkan pernyataanNya memenuhi kalbu kita, kita tidak perlu mengejar Allah dengan penuh kepanikan. Yang penting bukanlah memahamiNya secara insani melainkan mengalami Allah. Dan saat kita mengalamiNya sebagai Hidup kita, kita tidak hanya berusaha mendapatkan sesuatu dariNya—benda-benda, atau orang-orang, atau bahkan sifat-sifat—karena kita memilikiNya. KasihNya adalah kasih kita, kedamaianNya adalah milik kita, demikian pula kelimpahanNya. KepuasanNya—semua adalah milik kita, karena identitas kita yang abadi adalah penyataan wujudNya. Apakah yang dapat mencederai Allah? Apakah yang dapat mencederai kita, yang secara sadar berdiri dalam kehadiranNya?

Kebanyakan orang, untuk dapat membiarkan Allah bekerja, perlu mulai dengan kata-kata serta pikiran—dengan apa yang disebut Ny. Eddy sebagai argumen—pikiran tentang kebaikan serta keselaluhadiran Allah, pikiran tentang ketidaksejatian kesesatan, dan kebohongan keterbatasan (zat). Dengan cara ini kita membungkam keakuan yang fana—mendisiplinkan pemikiran fana, dan dengan demikian mulai menguasai penanggapan insani kita mengenai hidup.  Melalui disiplin yang diajarkan Ilmupengetahuan Kristen, melalui pengamalan yang gigih serta sabar akan kebaikan yang kita lihat di dalam Allah, kita belajar mengembangkan kemampuan untuk diam. Kita berhenti berusaha memberitahu atau membujuk Allah, seakan Dia belum melakukan semua kebaikan sebelum dunia diciptakan.

Dengan berdiam penuh kerendahan hati, kita membiarkan keselaluhadiran Sang Bapa menjadi nyata. Terkadang kita merasakannya sebagai sukacita yang luhur di dalam diri kita; terkadang hal itu membuat kita tersenyum lembut atau merasakan suatu kehangatan yang dalam. Beberapa orang mendengar suaraNya seakan diucapkan dengan kata-kata. Apa pun bentuk kehadiran Allah, saat kita menyadarinya, kita tahu; tak seorangpun perlu memberitahu kita.

Bukan pemikiran fana melainkan kehadiran ilahi-lah yang menyembuhkan. Pemikiran fana tidak tahu tentang Allah. Tetapi manusia insani adalah lebih dari pikiran fana dan tubuh kebendaan. Setidaknya, sampai taraf tertentu, ia adalah kebaikan Allah yang menjadi nyata. Dan adalah pengetahuan yang sadar akan ketuhanan yang mulai muncul—alih-alih penanggapan akan kebaikan yang bersifat perorangan—yang telah mendatangkan setiap berkat sejati yang pernah menjamah umat manusia. Bahkan Yesus pun berkata kepada seorang pemuda yang hendak menjadi pengikutnya, "Mengapa engkau menyebutku baik? Tidak ada yang baik, selain satu, yaitu Allah.” (Matius 19:17, menurut versi King James).

Kita keliru jika merasa harus sempurna secara insani sebelum dapat mengalami Allah. Allah ada saat ini, dan kehadiranNya yang hening hanya dapat dirasakan saat ini. Tidak ada manusia fana yang sempurna, tetapi jika kita sadar akan kehadiran Allah, kita berhenti mengidentifikasi diri dengan kefanaan dan hadir di bawah kasih karunia Allah—kebaikanNya yang tanpa syarat. Kita menjadi ciptaan yang baru, sebagaimana dinyatakan Rasul Paulus (lihat 2 Kor. 5:17). Keinginan serta kebiasaan yang tidak layak mulai mengabur. Kita menikmati keindahan bumi, keelokan manusia, seni dan teknologi yang menakjubkan, seperti sebelumnya, bahkan mungkin lebih. Tetapi kita tidak berusaha mati-matian untuk mempertahankan hal-hal tersebut atau memiliki semua itu selamanya. Kita menemukan semua yang kita perlukan dalam Sang Bapa, dan hal ini terlihat nyata saat kita menikmati segala sesuatu yang akan memberkati kita secara insani. Hal-hal yang baik datang kepada kita, tetapi kedamaian kita dengan Allah adalah sedemikian rupa, sehingga kita tidak peduli bahkan jika hal-hal tersebut tidak terjadi!

Dalam ajaran yang benar mengenai Kekristenan tidak ada petunjuk bahwa segala sesuatu mengenai diri kita akan selalu manis dan cerah. Akan ada cobaan, keraguan, dan kegelapan bagi setiap orang di antara kita sampai kita belajar mengetahui ketidaksesuatuan hal-hal tersebut, sampai kita belajar untuk menjadi tidak berdosa dan merdeka. Tetapi kehadiran yang hening di dalam diri kita selalu lebih besar daripada setiap masalah di luar diri kita. Dan seringkali saat kita secara insani merasa tertekan, kita lebih bersedia membuangkan penanggapan palsu mengenai diri kita yang hendak mengaburkan kehadiranNya. Ny. Eddy berkata, bahwa suara Allah yang tidak terdengar “didengar di gurun dan di tempat-tempat gelap ketakutan” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 559).  

Saya tahu bahwa pernyataan tersebut benar. Beberapa waktu yang lalu, setelah mempelajari dan merenungkan kebenaran-kebenaran yang saya sampaikan di atas, saya bergumul dengan rasa sakit dan mual yang hebat. Saat keadaan sangat mengkhawatirkan, saya ingin sekali untuk dapat melihat bahwa apa yang sesungguhnya ada bersama saya benar-benar lebih besar daripada apa yang seakan nyata. Lalu datanglah keheningan—suatu keheningan yang menakjubkan dan indah di dalam diri saya. Hal tersebut membuangkan rasa galau sampai batas yang sejauh-jauhnya dari kehidupan saya, sampai hilang sama sekali. Semuanya menjadi damai—kedamaian yang lembut, sempurna, kudus. Saya tidak akan pernah melupakannya.

Dunia memerlukan keheningan kita. Kita perlu secara teratur kembali ke rumah kita, ke gereja kita, ke tempat-tempat di mana pikiran yang tenang berada, dan menemukan Sang Bapa di dalam diri kita. Kita harus menjadi sarana yang mengalirkan kasih karuniaNya ke dunia. Saat kita benar-benar diam, kita mendengar Allah berfirman: “Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah” (Mazmur 46:10). "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu” (2 Kor. 12:9). Dan “Aku” serta “Ku” di sini adalah sumber kita—yang tidak terpisah dari kita melainkan satu dengan kita.

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.