Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Pembaharuan dan substansi

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 5 Desember 2014

Aslinya diterbitkan di situs web The Christian Science Journal edisi 3 Februari 2011

Pertama kali diterbitkan di spirituality.com


Karena bersifat tidak berhingga, maka Budi ilahi tidak pernah mengulang dirinya sendiri. Itulah sebabnya kita dapati janji ini di Kitab Wahyu, "Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!" (21:5). Karena sifatnya yang tidak berhingga, maka hidup selalu baru setiap hari.

Hal ini perlu diingat ketika kita mencari kesembuhan dan pembaharuan.

Salah satu hal yang dijadikan “baru” melalui ajaran Ilmupengetahuan Kristen adalah pemahaman mengenai hakikat substansi. Jika bertanya kepada orang kebanyakan apa sesungguhnya substansi itu, mayoritas jawaban yang diterima adalah, “Apa pun yang dapat ditanggap dengan pancaindera.” Dengan kata lain, zat! Tetapi jika kita bertanya kepada seorang pelajar Ilmupengetahuan Kristen, maka jawabannya akan sangat berbeda. Dia sangat memahami penjelasan yang diberikan Mary Baker Eddy di halaman 468 buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan. Dalam definisi yang agak mencengangkan tersebut, kita dapati, bahwa “Roh, suatu nama lain untuk Budi, Jiwa, atau Allah, adalah satu-satunya substansi yang sejati.”

Konsep ini berbeda sekali dengan pemahaman yang kebendaan mengenai substansi. Tetapi, yang mengherankan bagi sementara orang adalah, dengan mengetahui apa substansi yang sesungguhnya itu—dan terus berpegang kepada konsep tersebut—seakan penanggapan yang kebendaan menjadi lebih selaras, kurang membatasi. Ketidakselarasan dan kerusakan menjadi sangat berkurang.

Penjelasan lebih jauh yang diberikan Mary Baker Eddy tentang hakikat substansi kita dapati dalam “pernyataan ilmiah tentang wujud,” suatu pernyataan yang dianggap Ny. Eddy begitu penting sehingga dibacakan pada setiap akhir kebaktian hari Minggu. Pernyataan tersebut berbunyi sebagai berikut: “Tidak ada hidup, kebenaran, kecerdasan, atau substansi dalam zat. Segala-galanya ialah Budi yang tidak berhingga dengan penyataanNya yang tidak berhingga, karena Allah adalah Semua-dalam-semua. Roh adalah Kebenaran yang baka; zat ialah kesesatan yang fana. Roh adalah yang sejati dan abadi; zat ialah yang tidak sejati dan bersifat sementara. Roh adalah Allah, dan manusia ialah gambar dan keserupaanNya. Oleh karena itu manusia tidak bersifat kebendaan; ia bersifat rohaniah” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 468).

Bagi saya “pernyataan ilmiah tentang wujud” adalah pernyataan yang paling praktis yang pernah dibuat, di mana pun, kapan pun.” Pengakuan akan kebenaran yang terkandung dalam pernyataan tersebut telah mendatangkan kesembuhan yang tidak terhitung banyaknya. Percaya bahwa ada hidup, kebenaran, kecerdasan, atau substansi dalam zat adalah hal yang paling tidak praktis yang dapat dilakukan seseorang, karena hal tersebut membatasinya di semua bidang. Sedangkan pengakuan bahwa “Segala-galanya ialah Budi yang tidak berhingga dengan penyataanNya yang tidak berhingga,” sepenuhnya membebaskan kita—dan memungkinkan kita untuk mengalami lebih banyak efek pencegahan dan perlindungan yang didatangkan Ilmupengetahuan ini.

Berikut ini salah satu contoh mengenai efek penyembuhan pernyataan yang unik tersebut. Ketika masih muda, saat akan menjamu beberapa orang makan malam, saya kekurangan sendok. Saya pergi ke induk semang yang tinggal di lantai bawah untuk meminjam beberapa sendok. Ternyata saya mendapati ibu itu berjalan tertatih-tatih dengan sangat kesakitan. Jari kakinya cedera, mengalami infeksi parah dan terasa sakit sekali. Dia bertanya kepada saya apa yang harus dilakukannya, apakah dia harus ke dokter. Dia pernah menghadiri kebaktian di gereja Ilmupengetahuan Kristen beberapa kali, jadi saya bertanya kepadanya apakah dia bersedia saya doakan. Dengan segera dia setuju dan berkata, “Jika anda dapat melakukan sesuatu, tolong lakukanlah itu.”

Saya mengatakan beberapa hal untuk membesarkan hatinya lalu meninggalkannya. Saat naik tangga, saya mendengar bel pintu apartemen saya berdering. Saya tahu teman-teman saya telah sampai, dan berpikir, “Apa yang harus saya lakukan sekarang? Ibu itu, yang sangat kesakitan, telah minta pertolongan. ...” saya berdiri di situ dan merenungkan “pernyataan ilmiah tentang wujud,” secara sadar meresapi setiap kata. Lalu saya hanya mengatakan, “Itulah yang sebenarnya!” Saya pun mempersilahkan teman-teman masuk, dan kami menikmati malam yang menyenangkan. Keesokan harinya, ketika mengembalikan sendok-sendok, ibu itu berlari menyambut saya dan berkata: “Oh, apa yang telah anda lakukan? Anda telah melakukan keajaiban. Bukan hanya kaki saya, penyakit rematik saya sembuh juga!” Saya meyakinkannya bahwa saya tidak melakukan suatu keajaiban, tetapi kebenaran dalam “pernyataan ilmiah tentang wujud” telah menyembuhkannya. Jika kita menyalakan lampu, maka kegelapan hilang. Jika kita mengetahui kebenaran, maka kesesatan hilang.

Bertahun-tahun yang lalu saya sadar bahwa karena “pernyataan ilmiah tentang  wujud” dibacakan setiap Minggu, sangatlah penting untuk mendengarkannya seolah-olah itulah pertama kali kita mendengarnya. Dengan kata lain, hendaknya setiap kali kita membaca atau mendengarnya, hal itu seakan baru.  Kuasa pembaharuan dan penyembuhan yang terkandung di dalamnya menjadi semakin jelas dan mengilhami. Dengan demikian kita melihat dan mendapat manfaat yang jauh lebih banyak dari pernyataan itu.

Salah satu ayat dalam Amsal menjanjikan bahwa Allah akan membuat orang yang mengasihiNya mewarisi harta (lihat Amsal 8:21). Kita hanya dapat mengasihi sesuatu dengan benar jika kita memahaminya, dan semakin banyak kita memahami bahwa Allah adalah Asas ilahi, atau Budi yang tidak berhingga, semakin banyak kita mewarisi pemahaman yang agung serta praktis mengenai harta (substansi)—sebagai Roh yang tidak dapat dimusnahkan dan selalu tersedia. Tidak ada kepuasan dalam pendekatan yang bersifat teoretis akan Ilmupengetahuan ini. Ny. Eddy mengatakan, “Orang yang  maju paling pesat dalam Ilmupengetahuan ilahi adalah yang paling banyak memikirkan substansi serta kecerdasan yang bersifat rohaniah dan tidak berhingga” (Miscellaneous Writings 1883–1896, hlm. 309). Kita mendapati bahwa perenungan yang sadar seperti itu sudah pasti mendatangkan kemajuan yang bermanfaat dan praktis.

Karena Yesus memahami dengan sangat jelas bahwa hakikat substansi yang sejati adalah Roh—Budi, alih-alih zat—maka dia dapat melakukan yang disebutkan sebagai mujizat. Bagi Yesus, semua itu bukanlah mujizat, melainkan hasil yang wajar dari pemahamannya bahwa wujud bersifat rohaniah dan tidak berhingga. Maka Yesus tidak hanya menyembuhkan orang sakit dan membangkitkan orang mati, tetapi dia antara lain dapat memberi makan ribuan orang, berbekal makanan yang kelihatannya sangat terbatas jumlahnya. Yesus memahami karunia agung yang diberikan Allah kepada manusia—dari Asas kepada idenya—yakni kuasa atas segala segi kehidupan sehari-hari. Ini bukan kekuasaan yang bersifat tirani, melainkan kemampuan untuk menguraikan “benda sebagai pikiran,” dan mengganti “obyek-obyek penanggapan kebendaan dengan ide-ide Jiwa” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 269) dan dengan demikian melihat hal-hal tersebut dalam sifatnya yang sesungguhnya—rohaniah, sempurna, tidak berhingga, dan tidak dapat dimusnahkan.

Sayangnya, pengalaman insani merupakan pendidik yang keliru. Hal itu membuat kita menerima suatu paham yang salah tentang hidup—yang seakan bersifat kebendaan, terbatas, ringkih, dan dapat dimusnahkan—sebagai sesuatu yang sejati. Tetapi identitas manusia yang sejati bersifat rohaniah dan sempurna. Jika seseorang menunjukkan potret dan mengatakan itu potret anda, tetapi anda melihat dengan jelas bahwa itu bukan anda, anda tidak akan menerimanya. Orang dapat menunjukkannya di depan anda sepanjang hari, setiap hari, dan mengatakan: ini anda. Tetapi jika anda tahu bahwa itu tidak benar, anda tidak akan mau menerimanya. Penanggapan kebendaan yang mengatakan bahwa manusia terdiri dari tulang, darah, otak,dan unsur kebendaan lainnya, oleh Ilmupengetahuan Kristen dinyatakan sebagai gambar palsu tentang manusia—suatu gambar yang tidak lagi kita anggap diri kita. Maka menurut dasar ini kita dapat menolak konsep yang kebendaan dan fana, setiap aspek ketidakselarasan serta penyakit, sebagai gambar palsu—suatu gambar yang keliru semata-mata.  

Dalam suatu pembicaraan dengan seorang pendeta Methodist, pendeta itu mengatakan pada saya bahwa setiap kali dia merasa khawatir mengenai keadaan serta penderitaan umat manusia, dia akan berpaling kepada buku ajar Ilmupengetahuan Kristen, Ilmupengetahuan dan Kesehatan, khususnya bab tentang “Ciptaan” (lihat hlm. 255–267). Dia mengatakan bahwa definisi yang unik dan rohaniah tentang Allah dan manusia di bab tersebut selalu mengilhaminya untuk melihat melampaui yang terlihat sebagai gambaran yang fana—dan melihat manusia yang sempurna, gambar dan keserupaan Allah yang sesungguhnya. Dia sangat menyukai pernyataan ini: “Manusia itu lebih daripada suatu bentuk kebendaan dengan suatu budi di dalamnya, yang harus keluar dari lingkungannya untuk menjadi baka. Manusia mencerminkan ketidakberhinggaan, dan cerminan ini adalah ide yang benar akan Allah” (hlm. 258).

Ilmupengetahuan mengungkapkan bahwa manusia yang sejati bersifat rohaniah dan sempurna, dan fakta yang sangat penting bahwa manusia tidak pernah jatuh dari keadaan itu. Jika kesaksian kehidupan sehari-hari kita sesuai dengan fakta tersebut, maka semuanya menjadi begitu sederhana. Karena kesaksian kehidupan sehari-hari kita tidak sesuai dengan Kebenaran inilah, maka kita harus bekerja. Manusia yang sejati tidak memerlukan pembaharuan, tetapi setiap hari kita harus memperbaharui kesadaran kita yang sejati mengenai keselarasan, kesehatan, kemerdekaan serta kesejahteraan yang menyusun sifat kita yang sebenarnya. Kita harus menanggalkan yang fana bagi yang baka. Kita melakukan hal ini dengan membiarkan masuk dalam kesadaran kita pikiran yang berasal dari Asas ilahi dan bukan dari penanggapan kebendaan.  

Mary Baker Eddy memahami betapa pentingnya menafsirkan baik manusia maupun alam semesta dengan benar. Dia mengatakan: “Alam semesta, seperti manusia juga, haruslah ditafsirkan oleh Ilmupengetahuan dengan berpangkal pada Asas ilahinya, Allah, maka kita dapat memahaminya; tetapi apabila diterangkan berdasarkan penanggapan jasmaniah dan digambarkan sebagai takluk kepada pertumbuhan, kedewasaan, dan kehancuran, maka alam semesta, seperti manusia juga, adalah suatu teka-teki dan tentu akan tetap demikian” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 124).

Tafsiran Asas ilahi mengenai alam semesta dan manusia memberi kita pendekatan yang bersifat metafisis akan hidup dan menjadikan kita mampu mengalami keselarasan, kebaharuan sehari-hari serta substansi hidup yang rohaniah. Hal itu meningkatkan kualitas dari setiap aspek wujud. Hal itu tidak membuat kita mengesampingkan masalah, ketakutan, cobaan, serta kepedihan umat manusia, tetapi hal itu memberi kita sarana yang bersifat mental serta rohaniah untuk menangani—dengan cara yang penuh kasih—hal-hal yang hendak menyatakan dapat merampas dari umat manusia kebaikan Allah yang selalu tersedia. Dan hal itu mendatangkan kepada pikiran yang mudah menerima, kebaharuan hidup yang tidak ternilai harganya.

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.