Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Dibentuk kembali

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 15 Juni 2015

Aslinya diterbitkan di edisi Juni 2015 majalah The Christian Science Journal

Dicetak ulang dari majalah Journal edisi Juni 1917


Seorang wanita muda berdiri memandang keluar dari jendela kantor. Di bawah terhampar pemandangan sebuah kota dan di kejauhan melingkar gunung-gunung dengan puncak  bersalju; tetapi bukan pemandangan itu yang dilihatnya. Kehidupan insani terpampang di dalam pikirannya sebagai sebuah panorama,—masa kanak-kanak yang manis dengan sifat tidak berdosa yang penuh sukacita, masa dewasa dengan cita-cita yang mulia, dan usia senja dengan ketenangannya yang lembut. Betapa menyenangkan semua itu,—harapan, iman, persaudaraan, Kekristenan, semuanya bersinar cemerlang bersama-sama! Namun di atas semua itu terdapat bayangan gelap kekhawatiran serta kepercayaan buta.

Selama ini hidup sungguh terasa manis bagi wanita tersebut, tetapi saat itu sebuah pengalaman baru dengan tanggung jawab yang besar berada di hadapannya. Saat itu menuntut sifat yang baru, ideal yang baru,—visi yang memancarkan kuasa rohaniah. Ideal serta pandangan sebelumnya, telah gagal saat menghadapi ujian. Meskipun semua itu baik secara insani, namun bersifat kebendaan, oleh karena itu tidak memiliki kuasa ilahi. Apakah dia bersedia menggantikan kemapanan dengan sesuatu yang belum diketahui, dan mempercayai naluri rohaniah alih-alih penilaian insani? Bersediakah dia membiarkan yang lama dirobohkan dan dihancurkan sebelum hal yang baru dibangun?

Tepat saat itu dia mendengar suara yang keras. Dia memandang ke jalan di bawah dan melihat sebuah rumah tua yang indah dirobohkan untuk dibangun kembali demi tujuan bisnis. Betapa gaduh suara kayu-kayu yang berjatuhan! Papan-papan tua berderit ketika para pekerja memilih dan memilah-milah lantai yang sebelumnya terpasang dengan baik! Dan betapa besar seakan perlawanan yang diberikan rumah tua yang kokoh itu untuk menyerahkan bahan-bahan yang sangat disayanginya! Jelas sekali, dibentuk kembali bukanlah suatu proses yang mudah; proses itu penuh dengan rasa pilu, perlawanan, dan keributan. Tiba-tiba wanita itu merasa khawatir dan berpaling mundur untuk menggapai kembali khayalan usang mengenai kehidupannya yang lalu, meskipun dengan takut-takut ia tetap berpegang kepada visinya tentang masa depan.

Baru berbulan-bulan kemudian wanita itu keluar dari suatu belantara yang tanpa petunjuk dan menemukan keakuan yang sama sekali berbeda. Sekarang ideal yang bekerja dalam kesadarannya terasa kuat dan luas, memperkaya dan mengembangkan hidupnya. Ketika berdiri di jendela yang sama dan memandang jalan di bawah, dia melihat sebuah hotel yang indah di mana sebelumnya rumah yang kuno itu berdiri. Betapa serasinya bangunan yang baru itu dengan suasana di sekelilingnya, dan betapa besar manfaatnya! “Dibentuk kembali merupakan sesuatu yang mulia,” wanita tersebut berucap, “betapapun sulit prosesnya, penuh dengan keputus-asaan serta keraguan saat bangunan lama dirobohkan.”

Sudah pasti semua kesadaran insani perlu dibentuk kembali. Konsep serta tradisi yang sudah usang tidak lagi bisa memenuhi tuntutan masa depan. Tetapi ide rohaniah seperti dinyatakan melalui Ilmupengetahuan Kristen memenuhi tuntutan tersebut dengan merobohkan konsep-konsep yang fana, membangun kembali kesadaran insani, dan mendirikan kemanusiaan yang tanpa dosa di atas dasar Roh dan Kebenaran. Pembentukan kembali ini diperintahi oleh hukum rohaniah akan kemajuan yang membimbing dari yang insani kepada yang ilahi, meskipun budi fana mengalami pergolakan saat dijungkir-balikkan; tetapi saat kepercayaan serta pendapat palsu dihancurkan, yang insani diperbaharui dan yang ilahi didirikan.

Dengan kedatangan ide-Kristus ke dalam kesadaran manusia, tidak seorang pun dapat menghindari proses pembentukan kembali, karena pikiran kita membentuk diri kita. Suatu ideal insani menghasilkan suatu jenis kehidupan, dan suatu ideal ilahi menghasilkan suatu jenis kehidupan yang lain. Sebanding konsep insani meluangkan tempat kepada yang ilahi, sifat kita mengalami perubahan dan seluruh pandangan hidup kita dibentuk kembali. Dengan mencari keakuannya yang sejati, pikiran yang dipenuhi cita-cita bersatu dengan Allah dan dibawa ke dalam Roh, di mana ide ilahi tentang kedudukan manusia sebagai putera dinyatakan dan manusia dipahami sebagai kesadaran yang tidak bersifat kedagingan yang dinyatakan secara individual di dalam Allah, diberkati dengan tidak berhingga, penuh suka-cita dan merdeka.

Keakuan yang sebenarnya ini tidak bisa dilihat oleh pancaindera, namun dalam kemuliaannya yang semurni-murninya, hal itu tinggal dalam kesadaran setiap orang, baik disadari atau tidak. Sungguh berbeda konsep insani tentang manusia! Berayun di antara keraguan dan harapan, duka cita dan suka cita, kasih dan kebencian, apa yang bisa ditawarkannya kepada kita? Ide ilahi tentang manusia yang memuliakan Allah, bersinar cemerlang penuh kejayaan serta kuasa; dan paham insani tentang manusia yang takluk kepada zat, dalam ketidak-tahuannya yang tanpa harapan, menyusut. Di halaman 353 buku Miscellaneous Writings Ny. Eddy mengatakan, “Pendapat insani selalu tidak sempurna; buangkanlah pendapat insani tentang diri sendiri, atau siapa saja, dan temukanlah yang ilahi, maka anda telah mendapatkan yang benar—dan tidak sebelum hal itu terjadi.”

Terlena dalam pandangan mengenai yang sejati, untuk sementara waktu kita melupakan semua yang lain, tetapi ketika api pewahyuan padam, kita mendapati bahwa kita masih harus menangani keakuan insani kita. Maka terjadilah benturan. Sifat yang kebendaan berperang melawan yang rohaniah. Cita-cita baru yang lahir dari pewahyuan bergetar seperti sulur tanaman; penanggapan insani menjerit kesakitan, keangkuhan dan egotisme memberontak, dan kepribadian berkilah untuk mendukung dirinya sendiri, untuk seleranya, kebiasaannya, dan wataknya. Kita harus memilih di antara dua konsep mengenai manusia tersebut. Kita tidak bisa memilih kedua-duanya dan hidup secara konsisten. Yang ilahi tidak menyesuaikan diri dengan yang insani, tetapi yang insani harus menyerah kepada yang ilahi.

Jika kita tidak bersedia menyerahkan konsep yang insani tentang diri kita sendiri dan orang lain, keadaan mungkin memaksa kita untuk melakukan hal itu. Jika kita berpegang kepada ide yang rohaniah, kita tidak bisa mundur, karena tidak mungkin kita menghilangkan pikiran mengenai hal yang pernah kita ketahui sebagai kebenaran; demikian pula kita tidak bisa tinggal diam, karena ide-ide baru yang sarat dengan tenaga rohaniah memaksa kita, baik kita bersedia atau melawan, untuk maju. Sikap kita menentukan apakah prosesnya akan mudah atau sulit. Jika kita tidak bersedia mengalami pembentukan kembali dan memilih untuk hanya menikmati pandangan itu sementara kita berpegang kepada pendapat yang insani, kita bersikap setengah hati dan kehilangan dorongan yang positif dan dinamis dari kegiatan rohaniah. Maka kita hanya memiliki kepercayaan dalam kerohanian yang bersifat teori atau intelektual dan tidak dapat dibuktikan, dan hal itu hanya mengangkat keadaan kita sedikit saja.

Pendapat insani tentang manusia harus dibuang sepenuhnya, karena sebelum ide akan Allah dilihat, dikasihi, dan dipatuhi, hidup kita tidak diselaraskan dengan yang ilahi dan benar secara ilmupengetahuan. Sering kali dengan alasan demi kebaikan orang lain, dengan tenaga yang penuh dedikasi, dan tujuan yang tulus, para pelajar Ilmupengetahuan Kristen mengorbankan semuanya untuk bergabung dengan jajaran pekerja Ilmupengetahuan Kristen. Tetapi kebaikan insani belum tentu mencirikan yang ilahi dan oleh karena itu tidak memiliki hakikat rohaniah penyembuhan. Kasih insani tidak dapat membangkitkan orang mati. Alih-alih merasa senang menyatakan semangat serta emosi insani mengenai ide yang rohaniah, kita harus mengenakan sifat ilahi dari ide tersebut dan menyerap damai serta kuasanya. Hanya ketika penanggapan insani berkurang dan penanggapan rohaniah bertambah, hanya ketika kepribadian lenyap setiap hari di dalam Allah, maka keakuan sejati yang disertai kuasa untuk menyembuhkan, dicapai.

Seringkali orang yang baik secara insani disukai karena sifatnya yang baik. Wataknya, kebiasaannya, pergaulannya, keluarganya, semua membuktikan kelayakannya, namun di dalam hatinya, Allah mungkin asing baginya. Jika dia dihadapkan kepada tekanan rohaniah, mungkin kita akan mendapati sifat yang jauh lebih kebendaan daripada rohaniah, suatu keindividuilan palsu yang sarat dengan pendapat yang kaku serta pembenaran diri. Tersesat dalam ideal-ideal yang bersifat tradisional, konvensional, dan teologis, kesadaran jenis ini sama sekali tidak melihat yang ilahi. Orang seperti itu, apa pun kebaikannya, harus dibentuk kembali sesuai dengan konsep ilahi, seperti juga orang cacat dan pendosa. Itulah sebabnya perlawanan atau ketidakpedulian seperti itu terhadap Ilmupengetahuan Kristen, terkadang kita temukan di antara orang yang kita harapkan mudah menerima karena mereka menyatakan kebaikan insani. Itulah penilaian yang dangkal, karena mustahil manusia fana menjadi sempurna!

Dalam proses mengenakan sifat ilahi, banyak semangat yang penuh kegembiraan yang semula disangka oleh pelajar Ilmupengetahuan bersifat rohaniah akan hilang untuk meluangkan tempat bagi ide yang benar, dan mungkin untuk sementara dia merasa kehilangan kerohanian. Masa pergantian ini sarat dengan kekhawatiran, keputus-asaan, dan perubahan perasaan yang tiba-tiba. Yang insani, dengan segala sifatnya yang terpendam muncul ke permukaan; semua itu tidak bersedia dibungkam, dan akan banyak terjadi langkah mundur. Menangis dan berkelana dalam belantara emosi insani ini, kita kembali mencari Kristus, dan bersama Maria Magdalena berkata, “aku tidak tahu di mana Ia diletakkan.” Tidak seorang pun tahu di mana menemukan diri kita, apa lagi kita sendiri; tetapi saat-saat yang menciptakan masa yang penting ini penuh dengan pengharapan, karena dalam kekosongan insani ini mengalirlah yang rohaniah dan sifat kita mengalami perubahan,—“lahir dari Allah.”

Dibentuk kembali sepenuhnya adalah masalah antara kita sendiri dengan Allah. Tidak seorang pun dapat melakukannya untuk kita. Berusaha membentuk kembali orang lain sesuai ideal kita mengganggu hukum pengembangan Allah. Lebih baik kita terus menerus mencari keakuan rohaniah orang lain, berjaga dan menunggu pengembangannya sesuai bimbingan Allah. Menyerahkan keinginan atau pendapat pribadi kita mengenai apa yang kita inginkan bagi orang lain, dan bertekad untuk tidak lagi “menilai seorang jugapun menurut ukuran manusia,” maka kita terlepas dari bahaya yang besar dalam merencanakan dan mempengaruhi kehidupan orang lain.

Dibentuk kembali sesuai contoh yang ditunjukkan di atas Gunung, bukanlah suatu proses insani; itu adalah pekerjaan hukum ilahi yang mengembangkan keindividuilan yang sesungguhnya. Pembentukan kembali ini, mungkin, paling aktif terjadi dalam perhubungan antar manusia. Oleh karena itu, ketika terjadi pertikaian di gereja, dalam bisnis, atau pergaulan sosial, hendaknya kita jangan mundur, melainkan bersukacita untuk kesempatan yang diberikannya guna membangun watak. Ketika terjadi gesekan antar perangai serta selera insani, sudut-sudut yang tajam diratakan dan dihaluskan, sampai akhirnya kita keluar dengan watak yang baru dan dimurnikan, bersyukur untuk setiap pertikaian. Dalam proses pembentukan kembali yang penuh kesulitan, sifat insani dengan segala emosi serta kecenderungannya tidak pernah dibungkam. Mula-mula hal itu dicerahkan dan kemudian ditinggalkan; kesesatannya hancur dan kebaikannya diperbaharui.

Dengan menundukkan dan membuang sifat-sifat perseorangan, meruntuhkan temperamen, suasana hati, watak, membongkar kepercayaan-kepercayaan yang bersifat dogmatis serta ideal yang palsu,  konsep yang ilahi tentang manusia membentuk konsep tentang kemanusiaan yang baru. Manusia baru, yang tidak lagi tersembunyi di belakang kebiasaan, pakaian, percakapan, gaya serta tata-cara dalam masyarakat, muncul mengenakan seluruh kemuliaan dari keindividuilannya yang ilahi. Bersikap muda, penuh sukacita, tenang, dan murah hati, tidak pernah terjungkal oleh nafsu,  tidak pernah menanggapi kesan-kesan pancaindera, bersifat demokratis secara Kristiani dan universal, manusia yang dirohanikan ini menyembuhkan orang sakit dan membawa kebahagiaan ke mana pun dia pergi. Inilah pemahaman insani yang benar mengenai manusia yang sempurna dan aseli; itulah pemahaman yang ditunjukkan Yesus, dan itulah cetakan yang digunakan Ilmupengetahuan Kristen untuk membentuk hidup kita.

Pembentukan kembali ini bukanlah pekerjaan sesaat; Ahli Ilmupengetahuan Kristen sedang dalam tahap pembentukan. Tetapi, dengan membangun secara abadi dan tidak lagi berpaling kepada maut untuk mendapatkan kesempurnaan, tujuannya ialah membuktikan, di sini dan sekarang juga, jati diri rohaniahnya sebagai anak Allah. Bangkit di atas keakuannya yang sudah mati sebagai “batu loncatan,” dia menolak untuk membangun dalam kesadarannya pemahaman insani yang sudah usang, dan alih-alih demikian membangun “tempat-tempat tinggal yang lebih megah,” yang setiap kali lebih “mulia daripada sebelumnya.”

Memandang konsep yang ilahi tentang manusia dan membiarkannya membentuk hidup kita, maka kita semua akan mengenal diri kita sendiri sebagaimana Allah mengenal diri kita, dan dibentuk kembali menjadi makhluk yang baru, yakni anak-anak Allah, yang diperanakkan, bukan  “oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah.”

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.