Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

MENEMUKAN JATI DIRI KITA YANG ROHANIAH MEMBIMBING KITA UNTUK MENGHARGAI DIRI SENDIRI

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 19 Februari 2015

Aslinya diterbitkan di edisi 19 Juli 2010 majalah Christian Science Sentinel


Kebahagiaan tercipta dalam menjadi baik dan berbuat baik; hanya yang diberikan Allah, dan yang kita berikan kepada diri sendiri serta orang lain melalui apa yang dimilikNya, yang mendatangkan kebahagiaan: kesadaran bahwa diri kita berharga memuaskan hati yang lapar, dan tidak sesuatu pun yang lain dapat melakukan hal tersebut.

—Mary Baker Eddy, Message to The Mother Church for 1902, hlm. 17

Selama bertahun-tahun bedinas di ketentaraan, dan dalam pengalaman saya sebagai seorang penyembuh Ilmupengetahuan Kristen, saya telah melihat bukti yang meyakinkan kalau kesadaran bahwa diri kita berharga, adalah sesuatu yang melekat di dalam diri kita semua. Tetapi kita harus menghargai hal ini, menegaskannya, dan bertindak sesuai dengannya. Melihat bahwa sesungguhnya kita bersifat rohaniah, diciptakan dalam keserupaaan Allah, seperti dinyatakan dalam Alkitab, dapat dengan kuat merubah kehidupan kita. Kita hidup untuk mencerminkan, seperti kaca, sifat ilahi, dan kita adalah sarana utama bagi Allah untuk menyatakan diriNya sendiri. Yang terlihat sebagai kepribadian kebendaan kita, dan juga kesan baik atau buruk yang seakan memerintahi tindakannya, bukanlah gambar Allah. Sesungguhnya, mengidentifikasi diri dengan sifat-sifat rohaniah dan menghargai sifat-sifat tersebut akan menghapuskan banyak sifat buruk dalam kepribadian kita, yang seakan membatasi dan menyembunyikan harga diri kita yang sesungguhnya. Perilaku yang buruk tersebut mungkin dibentuk dan didukung oleh pengalaman seperti merasa takut, ditolak, canggung, malu, dan merasa tidak aman.

Bertahun-tahun yang lalu, saya menyadari bahwa saya mempunyai kecenderungan memberi nilai empat atau lima (dalam skala satu sampai sepuluh), bagi kelayakan saya untuk dihargai. Seperti sebuah pisau ukir, keadaan mental ini menjadi nyata dalam situasi hidup saya, dan saya  terus merasakan keterbatasan yang sama dalam kemampuan saya. Kelihatannya, saya merasa nyaman dengan penilaian tersebut, karena saya merasa cemas kalau harus berada dalam tingkat keberhasilan yang lebih tinggi atau lebih rendah.

Tetapi, dengan mempelajari ajaran Ilmupengetahuan Kristen, saya segera sadar bahwa setiap waktu kita dapat menegaskan identitas rohaniah kita—benar-benar menghargai diri kita sebagai gambar Allah—dan dengan berani menindaklanjuti wawasan tersebut. Kesembuhan datang ketika saya belajar mengetahui bahwa kejadian-kejadian serta kesan-kesan yang membatasi serta menguasai budi insani tidak pernah sedikitpun mempengaruhi Budi ilahi, yang adalah Allah, dan satu-satunya Budi yang sesungguhnya. Semua itu tidak dapat mengganggu keserupaan Allah, yang adalah identitas sejati kita semua. Kebenaran yang sangat berkuasa ini, jika dipegang teguh dan diakui secara konsisten, mendorong kita untuk menyatakan kuasa yang dikaruniakan Allah kepada kita atas sifat-sifat buruk, dan untuk mengakui nilai kita yang sesungguhnya sebagai anak Allah.

Wawasan seperti ini menunjukkan kepada saya bahwa saat-saat penemuan diri sangatlah penting. Pertama, kita harus cukup mengetahui kepercayaan-kepercayaan yang seakan merupakan kepribadian kita, agar bisa mendeteksi pengaruhnya yang merusak. Kemudian kita harus cukup memahami identitas rohaniah kita untuk mengoreksi dan mengatasi sifat-sifat yang buruk. Ketidaktahuan mengenai salah satu saja dari kedua hal tersebut tidaklah menguntungkan.

Di buku Retrospection and Introspection, Mary Baker Eddy menganjurkan: " ‘Kenallah diri sendiri!' seperti yang dikatakan moto Yunani kuno. Perhatikan dengan saksama kepalsuan keakuan fana ini!” Kemudian Ny. Eddy melanjutkan: “Bersihkanlah setiap noda pada baju kotor kelana ini, hapuslah debu dari kakinya dan air mata dari matanya, sehingga anda dapat melihat manusia yang sejati, sesama rasul dalam rumah tangga yang kudus” (hlm. 86). Seiring dengan pengenalan diri yang arif, kasih yang penuh empati diperlukan untuk benar-benar menghargai identitas rohaniah kita dan membaharui watak manusia. Kita tidak merendahkan penanggapan insani akan keakuan, melainkan membersihkan noda dari cara-cara pemikiran insani. Kita hapuskan debu dari apa pun yang kita kumpulkan selama bertahun-tahun, demikian juga air mata yang timbul karena frustasi dan penderitaan, dan kita terus melakukan hal ini, sampai kita melihat anak Allah yang sesungguhnya bersinar, sarat dengan kesadaran bahwa dirinya berharga.

Ketika kita belajar dan berdoa untuk lebih baik mengenal diri kita sebagai keserupaan rohaniah Allah, kita mungkin memperhatikan bahwa perasaan-perasaan tertentu muncul dalam pikiran kita, misalnya ingatan akan masa lalu. Jika ingatan itu tidak menggambarkan kasih Allah, adalah penting untuk menyangkalnya dan menolak mengidentifikasi diri lebih lama dengannya—untuk tidak membiarkan ingatan negatif itu kembali masuk ke dalam kesadaran kita tanpa disangkal. Dengan cara ini, kita benar-benar menuliskan kembali sejarah insani kita dan mengikis kesan-kesan negatif yang mengalangi kehidupan yang berbahagia dan produktif serta kesadaran bahwa kita berharga.

Saya juga menemukan bahwa hal yang menyulitkan untuk menghargai diri sendiri adalah rasa bersalah yang berkepanjangan. Jika dibiarkan, hal itu akan berkembang menjadi kebencian terhadap diri sendiri. Sudah tentu, menyadari kesalahan tidak dapat dihindari dan membimbing kepada pertobatan, atau perubahan pikiran. Tetapi kita tidak boleh berlarut-larut merasa bersalah; kita harus bergerak maju untuk mengetahui dan meyakini kamahakuasaan kebaikan, yang menghapuskan baik perbuatan salah maupun rasa bersalah. Tanpa langkah ini, menyingkapkan kesalahan—yang diikuti pertobatan, kehilangan nilainya.

Bagaimana keadaan dunia ini jika Musa, Yakub, dan Paulus, terbelenggu dengan rasa bersalah yang berkepanjangan mengenai hal-hal yang pernah mereka lakukan? Sumbangan mereka yang merubah sejarah akan hilang. Jika menyingkirkan perasaan negatif ini seakan mustahil, maka kita dapat mengatasi sifat terpaku pada diri sendiri ini dengan kerendahan hati yang menegaskan bahwa kemampuan Allah untuk menyelamatkan lebih kuat daripada ketidakmampuan kita untuk melepaskan perasaan negatif tersebut.

Seringkali kita tidak menghargai diri kita karena kita tidak merasa dikasihi. Dan kita tidak merasa dikasihi karena merasa belum cukup layak untuk dikasihi. Tetapi tidak perlu kelayakan untuk menerima kasih Allah kepada kita, karena kasih Allah selalu ada—senantiasa bersinar seperti sang surya.  Alih-alih berpikir bahwa kasih Allah tidak tersedia sebelum kita melakukan hal-hal yang baik, kebalikannyalah yang benar; kita melakukan hal-hal yang baik karena kasih Allah sudah merupakan milik kita.

Membiarkan kasih yang tanpa pamrih mengalir di dalam dan melalui diri kita, adalah sesuatu yang dapat kita lakukan, apa pun keadaan yang kita hadapi. Hal itu tidak saja memajukan kehidupan kita, melainkan juga menghapuskan rasa tidak puas. Mary Baker Eddy dengan penuh wawasan menyatakan,  "Berbuat baik kepada semua orang karena kita mengasihi semua orang, dan menggunakan satu-satunya talenta yang dimiliki kita semua untuk melayani Allah, adalah satu-satunya sarana untuk menambah talenta itu dan merupakan cara terbaik untuk membungkam rasa tidak puas yang dalam atas kekurangan-kekurangan kita”  (The First Church of Christ, Scientist, and Miscellany, hlm. 195).

Sebenarnya, perumpamaan Yesus mengenai talenta mengajarkan beberapa hal lain tentang menghargai diri sendiri (lihat Mat. 25:14–30). Dikisahkan tentang seseorang yang akan bepergian jauh dan meninggalkan talentanya kepada para pelayannya. Penggunaan modern kata talenta berawal dari perumpamaan ini. Seorang pelayan diserahi lima talenta, pelayan yang lain dua talenta, dan pelayan yang lain lagi, satu talenta, masing-masing sesuai kemampuannya. Pada akhirnya para pelayan itu harus mempertanggungjawabkannya. Pelayan yang diserahi lima dan dua talenta telah menggunakan yang mereka miliki, mendapatkan keuntungan, dan menerima ucapan “Baik sekali perbuatanmu” serta kesadaran bahwa dirinya berharga. Tetapi pelayan yang diberi satu telenta hanya menyembunyikan talenta tersebut, dan tidak menghasilkan keuntungan daripadanya. Dia tidak berfoya-foya dengan talenta tersebut, dia hanya tidak memanfaatkannya, dan dia mendapat teguran. Bahkan satu talenta yang dimilikinya pun diambil darinya dan diberikan kepada orang yang memiliki lima talenta.

Pada dasarnya perumpamaan itu adalah mengenai orang yang tidak menggunakan talenta yang dimiliknya. Mungkin dia merasa bahwa majikannya, yang merupakan tokoh Allah dalam perumpamaan tersebut, keras dan tidak adil. Mungkin pelayan itu merasa benci karena dia mendapat lebih sedikit dibandingkan temannya. Pemikiran seperti itu cenderung melihat talenta sebagai kesombongan jika ia memilikinya, atau iri hati jika ia tidak memilikinya. Cara penilaian seperti ini tidak menangkap makna perumpamaan tersebut. Bukan seberapa banyak talenta yang dimiliki seseorang, melainkan bagaimana orang itu memanfaatkan telenta yang dimilikinya, yang penting. Dalam perumpamaan Yesus itu tersirat, bahwa jika seseorang memanfaatkan sedikit saja talenta yang dimilikinya, maka orang itu akan mendapatkan penghargaan yang sama dengan yang lainnya. Memanfaatkan apa yang kita miliki membuat kita layak menerima lebih banyak lagi.

Hal ini tergambar dalam pengalaman seorang pelaut yang pernah saya kenal, yang bergabung dengan angkatan laut untuk belajar ketrampilan baru dan melakukan sesuatu yang berguna dengan hidupnya. Tetapi, dengan sangat kecewa di mendapati dirinya bekerja di malam hari mengepel lantai di gedung administrasi saat semua orang lain telah pulang. Dia sangat jengkel dan kecewa, lebih-lebih jika dia membandingkan nasibnya dengan teman-temannya. Tetapi dia dibesarkan menghadiri Sekolah Minggu Ilmupengetahuan Kristen, dan doanya telah mendatangkan perubahan besar dalam pikirannya; dia tidak lagi berpikir tentang pekerjaan kasar yang harus dilakukannya melainkan tentang sifat-sifat Allah yang dapat dinyatakannya saat melakukan pekerjaan itu—sifat-sifat yang sangat berharga bagi Allah. Dia memikirkan pentingnya sifat-sifat seperti keteraturan, kearifan, efisiensi, memperhatikan detil, kelengkapan, dst. Perubahan pikiran ini merubah sikapnya dari kebanggaan yang terluka serta iri hati, menjadi sikap menghargai talenta yang dimilikinya. Tidak lama kemudian dia dipindahkan ke sebuah kapal induk yang besar dan mendapat tugas yang disukainya. Tetapi kesadaran bahwa dirinya berharga tidak timbul saat dia mendapat tugas baru itu melainkan saat dia menghargai sifat-sifat yang digunakannya.

Kita semua jauh lebih baik daripada yang kita pikirkan. Kasih Allah yang besar membuat kita mengetahui hal ini dalam pikiran kita yang paling dalam, dan menguatkan keyakinan bahwa diri kita berharga, yang pada akhirnya membuat hal tersebut nyata dan menang terhadap apa pun yang menyangkalnya.

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.