Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Langkah berikutnya

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 18 Maret 2016

Aslinya diterbitkan di edisi Agustus 2009 majalah The Christian Science Journal


“Apa rencanamu selanjutnya?” Sebagai mahasiswi senior di perguruan tinggi, orang sering mengajukan pertanyaan ini kepada saya. Terus terang, saya belum tahu.

Meskipun pekerjaan bisa memberikan rasa aman, tetapi kalaupun sudah bekerja dengan mapan, kita mungkin merasakan ketidakpastian mengenai masa depan. Kita dapat menganggap hal ini sebagai suatu tantangan atau sesuatu yang memberi kebebasan. Suatu tantangan karena sepertinya kita harus terus-menerus mengevaluasi ketrampilan, minat dan koneksi kita—terus menerus memperbaiki riwayat kerja, memelihara jaringan sosial kita, dan menempatkan diri “di luar sana” agar tetap relevan bagi pasar tenaga kerja. Di lain pihak, ketidakpastian itu dapat memberi kebebasan karena perjalanan kita terbuka lebar, dengan permasalahan yang tidak kita ketahui sebelumnya.

Saya telah banyak berpikir tentang pekerjaan dan langkah berikutnya. Teman-teman dan saya banyak membicarakan masa depan—langkah yang harus kami ambil, dan bagaimana mengetahui arah yang harus kami ambil. Pada kesempatan itu kelihatannya kami memiliki kemungkinan yang tidak terbatas, tetapi pada saat yang sama kemungkinan-kemungkinan tersebut terasa di luar jangkauan kami.

Saran yang paling bermanfaat yang saya terima, dan yang ternyata sering dibicarakan sejak saat itu, ialah fakta bahwa pekerjaan kita yang sesungguhnya adalah menjalani tujuan kita. Seorang penyembuh Ilmupengetahuan Kristen pernah mengatakan kepada saya bahwa setiap orang memiliki tujuan yang unik, dan ada serangkaian masalah dan situasi yang unik yang harus dipecahkan setiap orang.  Allah mempersiapkan kita masing-masing dengan penuh kasih karunia untuk menghadapi tantangan tersebut.

Sedang saya merenungkan ide tersebut, saya terilhami untuk membaca kisah Yusuf di dalam Alkitab. Saya tumbuh dewasa mendengarkan lirik sebuah lagu dalam suatu pagelaran sandiwara musik yang berjudul Joseph and the Amazing Technicolor Dreamcoat—Yusuf dan Jubah Impian Warna-warni yang Menakjubkan, yang didasarkan pada kisah Yusuf dan jubahnya yang berwarna-warni. Jadi saya pikir saya memahami ceritera itu dengan baik. Tetapi waktu membaca lagi ceritera itu dari Alkitab, ayat berikut sangat berkesan bagi saya,  “…dilihat oleh tuannya, bahwa Yusuf disertai TUHAN dan bahwa TUHAN membuat berhasil segala sesuatu yang dikerjakannya” (Kej. 39:3). Saya sadar bahwa kesediaan Yusuf mendengarkan Allah merupakan sarana untuk memasuki jaringan hubungan sosial dan untuk membangun jenjang karir yang paling ampuh. Berkali-kali Yusuf berada dalam situasi yang mengerikan. Meskipun demikian, dia tetap mengabdi kepada Allah dan diberi tanggung jawab ke mana pun dia pergi. Saya hampir tidak percaya telah melewatkan aspek penting ceritera itu!

Yusuf mengalami saat-saat yang sulit. Dia dibenci oleh abang-abangnya, ditinggalkan dalam sumur dan dijual menjadi budak di Mesir, dituduh ingin memperkosa, dan kemudian dimasukkan penjara. Dalam menjalani semuanya itu, Yusuf tidak tawar hati atau kehilangan imannya. Dia tidak menjadi geram, takut, atau dirongrong oleh keadaannya. Saat mengamati keadaan kita sendiri dewasa ini—antara lain resesi ekonomi dan pasar tenaga kerja yang penuh persaingan—kisah Yusuf sungguh menghibur. Setiap kali, setelah menghadapi keadaan yang sulit, seseorang mengenali kebaikan Yusuf, dan dia dipromosikan untuk menempati kedudukan yang menuntut tanggung jawab.  Berkali-kali dia diberi pekerjaan. Dia diangkat menjadi penguasa di rumah Potifar, dia diberi tugas mengawasi para napi oleh kepala penjara, kemudian (promosi yang terhebat) Firaun memberinya kuasa atas seluruh istananya dan memberinya tanggung jawab mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapi paceklik tujuh tahun yang diramalkan.

Firaun memilih Yusuf karena mengetahui wataknya dan melihat bahwa roh Allah ada padanya. Dalam Alkitab tertulis, “Kata Firaun kepada Yusuf: ‘Oleh karena Allah telah memberitahukan semuanya ini kepadamu, tidaklah ada orang yang demikian berakal budi dan bijaksana seperti engkau. Engkaulah menjadi kuasa atas istanaku, dan kepada perintahmu seluruh rakyatku akan taat; hanya takhta inilah kelebihanku dari padamu’” (Kej 41:39-40).

Satu hal yang saya pelajari dari kisah Yusuf adalah, jika kita menomorsatukan Allah, kesempatan pun muncul. Dalam buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, Mary Baker Eddy menulis, “Apabila kita dengan sabar menantikan Allah dan mencari Kebenaran secara benar, Allah menunjukkan jalan kepada kita” (hlm. 254). Dalam mimpinya, Yusuf melihat bahwa dia ditakdirkan untuk melakukan hal-hal yang besar. Faktanya adalah, kita semua adalah anak-anak Allah, dan seperti Yusuf, kita masing-masing memiliki tujuan yang unik.

Mungkin kita berpikir, “Kedengarannya meyakinkan, tetapi mana buktinya bahwa hal itu benar?” Sudah berkali-kali saya melihat keadaan menjadi selaras saat saya mempercayakan diri pada pengaturan waktu Allah. Contoh yang sederhana saya alami pada liburan musim semi yang lalu. Saya tidak mempunyai pekerjaan, tempat untuk tinggal selama liburan, atau sesuatu lainnya. Liburan sudah hampir tiba, dan saya mulai panik. Saya memutuskan untuk berdoa sejenak dan merenungkan kembali ide-ide rohaniah yang saya pelajari saat berdoa untuk karir yang baik, dan menerapkannya untuk situasi yang saya hadapi saat itu. Sore harinya, saya berada tepat di mana saya dapat mendengar seseorang sedang mencari orang yang dapat menjaga rumah dan anjingnya. Saya berbicara kepada orang itu dan semuanya berjalan dengan cepat. Liburan musim semi saya sesuai benar dengan rencana perjalanan pemilik anjing itu, dan saya mendapatkan pekerjaan tersebut.

Saat saya terus berdoa untuk mendapatkan pekerjaan setelah diwisuda dan mempelajari berbagai peluang, saya menegaskan bahwa Allah adalah majikan saya dan sumber persediaan saya yang sesungguhnya. Saya tahu bahwa saya dapat mengandalkan janji Allah untuk memelihara saya dan menjaga semua aspek dalam kehidupan saya. Dan seperti Yusuf, saya tidak akan berkecil hati jika keadaan tidak berjalan sesuai rencana saya.

Yusuf tidak mungkin dapat meramalkan bahwa dia akan menjadi tangan kanan Firaun. Kemungkinan besar dia tidak mempunyai rencana sepuluh tahunan, atau suatu jenjang karir yang ingin dicapainya. Tetapi dia memiliki kerendahan hati untuk membiarkan Allah menunjukkan tujuan hidupnya yang sesungguhnya. Jika kita mendengarkan dan berdoa kepada Allah dengan kerendahan hati yang sama, tujuan kita akan menjadi jelas. Kita akan mendapatkan pekerjaan yang memerlukan kita, dan juga pekerjaan yang kita perlukan.


Alyson Wright lulus dari Principia College tahun ini dengan gelar dalam ilmu politik. Dia berasal dari Henniker, New Hampshire, AS.

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.