Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Suatu Pelajaran Paskah mengenai Ego

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 18 Maret 2016

Aslinya diterbitkan di edisi 14 April 2014 majalah Christian Science Sentinel


Paskah sungguh waktu yang tepat untuk mengingatkan kita akan kuasa serta kasih Allah. Kebangkitan serta kenaikan Yesus ke surga menunjukkan kasih Allah yang begitu besar kepada anakNya yang terkasih, dan kepada seluruh umat manusia; kasih ini menyembuhkan luka-luka yang diderita Yesus dan meluhurkannya sampai Ia hanya sadar akan keabadian Hidup. Kita dapat menganggap pemikiran yang naik semakin tinggi ini sebagai petunjuk bahwa Kristus Yesus sepenuhnya menerima identitas rohaniahnya sebagai Anak Allah, tanpa sedikit pun tanda-tanda ego yang fana.

Musa hidup berabad-abad sebelum Yesus—namun dia juga mengalami pencerahan mengenai identitas yang dapat membantu kita melihat manfaat dari penyangkalan terhadap ego yang bersifat perorangan. Saat menghadapi tuntutan yang besar, sumberdaya yang minim, perhubungan yang kurang selaras, atau peluang yang terbatas, menanggalkan ego perorangan akan terasa menyegarkan dan membebaskan. Jika kita merasa bahwa keadaan hidup kita sangat tidak nyaman sampai-sampai kita ingin menjadi orang lain, maka kehidupan Musa dan Yesus sangat relevan untuk kita renungkan.

Ketika Musa, pemberi hukum yang agung, mula-mula diberi tugas oleh Allah untuk memimpin suatu bangsa keluar dari perbudakan menuju kemerdekaan, dia ragu-ragu dan merasa tidak mampu. Dia berdoa, ingin lebih memahami sifat Allah: “Tetapi apabila aku mendapatkan orang Israel dan berkata kepada mereka: Allah nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu, dan mereka bertanya kepadaku: bagaimana tentang nama-Nya? --apakah yang harus kujawab kepada mereka?” Menanggapi keinginan Musa yang penuh damba tersebut, Allah menjawab: “AKU ADALAH AKU” (Keluaran 3:13, 14). Musa mulai memahami hal yang penting mengenai Allah yang esa dan satu-satunya: Dia adalah Ego yang satu dan satu-satunya Ego.

Kemudian, dalam pelariannya yang dramatis dari Mesir, bangsa Israel, didorong oleh rasa haus serta frustasi, melampiaskan kemarahan mereka ketika tidak melihat sumber air dalam perjalanan mereka (lihat Keluaran 17:1-7). Musa berkata kepada bangsa Israel, “Mengapakah kamu bertengkar dengan aku?” Tetapi Musa pasti juga mengetahui bahwa dia tidak memiliki kuasa pribadi untuk menghasilkan air karena dia dengan rendah hati berpaling kepada Allah, dan bertanya: “Apakah yang akan kulakukan kepada bangsa ini? Sebentar lagi mereka akan melempari aku dengan batu!” Dalam kerendahan hati ini dia dapat mendengar perintah Allah untuk memukulkan tongkatnya pada gunung batu, dan air pun mengalir—demikianlah keperluan bangsa Israel dipenuhi dengan air segar yang mengalir dengan melimpah, bukti bahwa Kasih ilahi hadir dan memenuhi kebutuhan kita.

Yesus, yang mengenal baik kisah Musa dari Kitab Suci, menyatakan bahwa rasa memiliki kuasa pribadi harus dibuang, melalui pernyataan-pernyataan berikut: “Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri” (Yoh. 5:30) dan “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh. 10:30). Musa, Sang Pemberi Hukum, dan Yesus, Sang Mesias, keduanya menyangkal ego perorangan, kuasa perorangan, baik untuk mempengaruhi atau menyembuhkan. Keduanya menunjukkan, bahwa pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya Ego, itulah yang membawa kita kepada kemerdekaan rohaniah, bukan penanggapan perorangan yang terbatas akan identitas.

Mary Baker Eddy memberikan definisi yang sangat membantu mengenai Akulah Aku dalam Ilmupengetahuan Kristen: “Allah; Budi yang tidak badaniah dan abadi; Asas ilahi; satu-satunya Ego” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, hlm. 588). Yesus dan Musa keduanya mengenal Allah, Kasih sebagai Akulah Aku atau satu-satunya Ego, dan Mary Baker Eddy juga memahami dampak penyembuhan yang didatangkan fakta ilahi ini. Ny. Eddy, secara bertahap juga menyangkal ego perorangan dan mengakui Allah yang mahakuasa, Kasih, sebagai Ego ilahi, yang selalu dicerminkan oleh keturunan Allah. Pada awal praktek penyembuhannya, Ny. Eddy menangani kasus yang pasti telah menunjukkan dengan jelas pentingnya membuangkan anggapan bahwa ada kepribadian-kepribadian yang memiliki kemampuan menyembuhkan. Di kemudian hari dia menulis, “karena kesombongan telah masuk dan saya kehilangan sifat rendah hati, pasien saya tidak sembuh. Kemudian saya menyadari kesalahan saya, dan ketika tiba di rumah, saya sujud di lantai, meletakkan kepala di kedua tangan saya, dan berdoa agar saya jangan sekejap pun berpikir bahwa saya seseorang yang penting dan telah melakukan sesuatu, ...  semua itu adalah pekerjaan Allah dan saya mencerminkanNya. Maka anak itu pun sembuh” (Yvonne Caché von Fettweis and Robert Townsend Warneck, Mary Baker Eddy: Christian Healer,Amplified Edition, hlm. 288–289).

Seringkali, kelihatannya kita masing-masing memiliki budi perorangan kita sendiri, dan ada banyak kepribadian. Dan dari dasar yang terbatas ini, kita mungkin teperdaya, bahwa kita tunduk kepada penyakit, atau kesedihan, atau tidak mempunyai kesempatan atau kecerdasan. Saya ingat suatu pagi pikiran yang memperdaya seperti itu datang, membujuk agar saya mengakui bahwa saya kesakitan. Dan memang itulah yang dikatakan tubuh saya. Saya tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk menyangkal ego perorangan, atau dengan kata lain, membuangkan saran bahwa saya tidak lain adalah tubuh fisik dengan budi insani yang terbatas. Allah, Ego ilahi, tidak mencakup atau menciptakan rasa sakit, oleh karena itu sebagai cerminanNya saya tidak bisa mengatakan, “saya kesakitan.” Saat itu juga saya merasakan sentuhan Sang Penghibur yang dijanjikan Yesus, dengan lembut mengingatkan saya bahwa Allah adalah satu-satunya Aku.  Dan sedang ide-ide itu menjadi semakin sejati bagi saya, saya merasakan kehadiran Kasih ilahi. Rasa sakit itu mereda, kemudian hilang sama sekali.

Dengan mempelajari Alkitab dan karya-karya tulis Mary Baker Eddy, kita belajar mengetahui bahwa Allah dan kegiatanNya senantiasa hadir untuk menghibur dan menyembuhkan. Kristus adalah kegiatan penyembuhan Allah, Ego yang satu, dan itulah satu-satunya Aku yang berlaku, mengidentifikasi dan menentukan diriNya sendiri.

Manakala ego yang bersifat perorangan hilang, kita mendapati bahwa hidup ini lebih kaya saat kita menyatakan Kasih ilahi, Ego yang ilahi—sebagaimana ditunjukkan oleh Yesus dan Musa. Sedang kita mengikuti jalan yang tidak mementingkan diri sendiri ini, kita mendapati pikiran kita naik secara bertahap sampai kita memahami bahwa Allah adalah satu-satunya Ego.

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.