Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Berpaling

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 27 November 2018

Aslinya diterbitkan di edisi 8 Oktober 2018 majalah Christian Science Sentinel


Pada pelajaran penerbangan yang kedua, instruktur meminta saya untuk terbang menuju awan yang sedang berkembang menjadi badai di atas Kansas. Ia mengatakan agar saya berbelok ke arah yang berlawanan saat merasakan guncangan angin yang pertama. Saya melakukannya. Pelajaran yang saya peroleh: Kita tidak perlu terus terbang menuju badai. Dengan berpaling menjauhi bahaya dan menuju bandar yang aman, dengan sendirinya kita terpisah dari ketidakselarasan.  

Setiap orang mengalami saat-saat ketika seakan kita terbang menuju “badai”—konfrontasi, penyakit, ketidakramahan, penyerapan diri, kritik, penilaian yang tidak adil—baik yang kita timbulkan sendiri atau ditimbulkan oleh orang lain. Adalah baik untuk mengingat bahwa keadaan itu mewakili suatu model yang palsu akan fakta, bahwa kita, dan semua orang, sesungguhnya adalah pernyataan dari tabiat ilahi. Menatap model yang keliru tidak akan membantu kita, dan bisa menjebak kita. Kita bisa terguncang di sepanjang jalur itu, sampai kita membiarkan pengaruh Kasih, Allah, merubah arah pemikiran kita.  

Di buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan, yang tersedia bagi setiap orang, pengarangnya yang diilhami, Mary Baker Eddy, bertanya: “Model yang manakah yang menjadi contoh bagi budi fana? Ketidaksempurnaankah, suka cita, duka cita, dosa, derita? Sudah kita terimakah model yang fana?” (hlm. 248). Model yang fana ini mendulang badai, suatu ketertarikan yang keliru, sesuatu yang dengan salah diterima sebagai norma, terkadang disertai perasaan bahwa hal tersebut tidak terelakkan—seperti yang umum dikatakan orang “Ya, begitulah keadaannya.” Maksudnya adalah bahwa kita memang harus mengalami kegelapan dan angin sakal dengan segala akibatnya.   

Selanjutnya, petikan itu menyatakan bahwa dunia terus-menerus memperlihatkan model kehidupan ini kepada kita [untuk kita tatap]. Menatap bukanlah melihat sekilas, atau bahkan memandang. Tatapan menyiratkan ketekunan dan fokus yang lebih kuat.Kita tidak tanpa sengaja menatap bintang-bintang. Kita melakukannya dengan sengaja. Mungkin kita mengikuti pola yang fana dengan tekun tanpa menyadari bahwa hal itu membawa kita ke dalam suasana yang penuh badai. Perhatian kita mungkin begitu terpaku untuk bisa bertahan dalam keadaan mental yang kacau tersebut sehingga kita mendapati bahwa kita tidak lagi berada di jalur yang benar dan bahwa karya hidup kita telah terpangkas dan menjadi terbatas. Bahkan, mungkin rasanya kita terus-menerus hanya berpindah dari keterbatasan yang satu kepada yang lain.  

Tetapi ini bukanlah jalan hidup yang benar bagi siapa pun. Seperti diajarkan instruktur penerbangan tadi, kita selalu dapat memalingkan pikiran kita (dan jalan hidup kita) ke arah yang benar. Berpaling kepada Allah adalah sama amannya seperti sebuah hanggar bagi pesawat terbang saat badai mengancam. Petikan dari buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan yang dikutip sebelumnya, selanjutnya berbunyi, “Untuk memperbaiki hal itu”—memperbaiki kekeliruan karena mengikuti pola yang fana dan akibatnya yang tidak diinginkan—“lebih dahulu kita harus memalingkan pandangan kita ke arah yang benar, dan kemudian berjalan ke tujuan itu.” 

Memalingkan pandangan kita kepada Allah adalah permulaan yang sangat penting—adalah bangun menyadari bahwa arah kita keliru dan memperbaiki arah kita. Berpaling dari gambaran yang keliru adalah kecenderungan alami kita saat dorongan Roh kita rasakan. Dorongan ini menghentikan tatapan kita pada pemikiran fana dan daya tariknya yang menghipnotis. Mazmur 80 memberi tahu kita, “Ya Allah, pulihkanlah kami, buatlah wajah-Mu bersinar, maka kami akan selamat” (ayat 3).

Ada lagi yang lain. Kita harus dan sesungguhnya bisa berjalan: terus melakukan tindakan berdasarkan apa yang kita lihat saat kita berpaling kepada model yang benar tentang manusia—model akan sifat-sifat Kristiani yang bebas dari diri—dan saat kita memahami bahwa Budi yang maha-mengetahui dan maha-pengasih membimbing jalan kita. Kita melaju dengan dukungan angin Roh kepada suatu tujuan di mana kita temukan jati diri kita yang abadi: pernyataan Kasih itu sendiri. Kesadaran ini membebaskan kita untuk mengikuti jalan yang bukan saja aman, tetapi juga secara alami menyembuhkan.  

Tetapi, pelajaran penerbangan itu tidak mengajarkan bahwa jalan menuju semua kemajuan adalah menghindar. Dalam mengikuti Sang Guru Kristen dan memikul salib kita sendiri, kita mungkin mendapati diri kita dalam berbagai jenis “badai” dan di situ sudah pasti kita perlu berlatih untuk berpaling kepada Allah.  

Beberapa tahun yang lalu, gereja cabang kami memindahkan Ruang Bacanya. Ada sebuah atasan meja yang berat berbentuk elips yang harus diangkat melalui titian miring ke atas sebuah trailer. Di tengah upaya itu, teman saya, sesama anggota gereja, tanpa sengaja menjatuhkan ujung yang diangkatnya. Ujung yang saya angkat terpental ke atas dan mengenai wajah saya di bawah mata. 

Sambil menjaga keseimbangan saya, saya memperhatikan bahwa orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu terlihat khawatir. Meskipun beberapa di antara mereka sudah pasti dengan cepat berdoa, ada beberapa yang menatap “badai yang sedang terbentuk” dari saran-saran fana. Saran pertama yang terlintas di pikiran saya adalah: Pasti ada luka robek yang terlihat jelas; darah mengucur deras; orang-orang mungkin berpikir lukanya perlu dijahit; saya perlu mengkhawatirkan penampilan saya saat harus menyampaikan pembicaraan yang sudah dijadwalkan minggu depan; mungkin akan ada bekas luka; teman saya mungkin merasa bersalah atas kejadian tersebut. 

Tetapi saat itu juga, di tengah kegaduhan saran-saran budi fana, dorongan Roh mengarahkan saya kembali dan memalingkan pikiran saya dari model fana akan cedera fisik, kekhawatiran, dan ketakutan, kepada kehadiran Kasih yang menyembuhkan, tempat yang paling aman bagi pikiran semua orang untuk berlabuh. 

Kebalikan rohaniah dari keadaan itu—apa yang diketahui Budi tentang diri kita—mengalir begitu saja ke dalam pikiran saya, menghapuskan setiap ketakutan. Pendarahan berhenti dengan cepat, dan hari itu juga lukanya menutup secara alami; penampilan wajah saya kembali normal, dan tidak pernah ada bekas luka. Saya merasakan kerendahan hati—sekarang pun masih demikian. Yang terpenting, rasa bersalah yang masih tersisa di hati teman saya pupus, digantikan persahabatan yang langgeng. Semua awan ditinggalkan dengan secepatnya berpaling kepada pemandangan rohaniah. Inilah berjalan—terbang—ke arah yang benar.  

Sungguh mengilhami untuk merenungkan janji yang mengikuti kutipan dari Ilmupengetahuan dan Kesehatan yang telah disebutkan di atas: “Baiklah sifat tidak mementingkan diri sendiri, kebaikan, belas kasihan, keadilan, kesehatan, kekudusan, kasih — kerajaan surga — memerintah di dalam diri kita, maka dosa, penyakit, dan maut akan berkurang sampai akhirnya lenyap.”  

Sepanjang jalan kita masing-masing yang ditunjukkan Allah, meskipun kita telah menyimpang dari jalan itu, kita belajar bahwa kerajaan surga adalah titik acuan yang menghibur bagi setiap orang di antara kita. Inilah pemandangan pada cakrawala ke mana seluruh umat manusia dapat berpaling dan maju dengan aman.  

Rich Evans
Anggota Dewan Direktur Ilmupengetahuan Kristen 

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.