Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Jangan terkecoh. Jadilah dirimu yang sejati!

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 12 Oktober 2018

Aslinya diterbitkan di edisi Agustus 2018 majalah The Christian Science Journal


Dalam suatu pertunjukan yang menarik, seorang penghipnotis mengundang seseorang yang dengan sukarela bersedia menjadi obyeknya—salah satu siswa kelas 12 yang paling tua dan kuat—dan menghipnotisnya untuk berpikir bahwa ia tidak bisa mengangkat segelas air. Ketika penghipnotis itu menyajikan segelas air dan meminta siswa itu untuk mengangkatnya, siswa-siswa lainnya tercengang karena gelas itu sama sekali tidak bergeming. Betapa pun kerasnya relawan itu berusaha, dalam keadaannya yang terhipnotis, tidak mungkin ia bisa mengangkat gelas itu. Begitu pengaruh hipnotisme itu dipatahkan, siswa tersebut menyadari apa yang terjadi dan bisa mengangkat gelas itu dengan normal.

Saya telah tertarik pada cerita ini sejak seorang anggota keluarga, salah satu siswa yang menyaksikan pertunjukan itu, menceritakannya kepada saya. Yang menjadikan cerita itu layak mendapat perhatian adalah, selama relawan itu ada di bawah pengaruh saran bahwa ia tidak bisa mengangkat gelas itu, maka keterbatasan fisik yang dianggap para siswa lain tidak masuk akal sama sekali, terlihat sebagai suatu fakta yang mutlak bagi relawan itu. Tetapi apa yang sejati bagi relawan itu sama sekali bukanlah kesejatian. Hanya selama ia menyerahkan pikirannya kepada saran palsu itu ia akan menyatakan keterbatasan yang dikemukakan saran tersebut.

Akan sia-sia mencoba membetulkan yang seakan sebagai ketidakmampuan jasmaniah itu dengan obat-obatan jasmaniah. Siswa itu tidak menderita suatu keadaan tubuh. Keadaannya sama sekali bersifat mental, suatu kepercayaan yang menyatakan diri sebagai suatu kesejatian jasmaniah. Satu-satunya solusi yang mungkin bagi siswa itu adalah bangun dari keadaannya yang bersifat mimpi.

Sesungguhnya, hidup adalah pernyataan yang sepenuhnya bersifat rohaniah dari Budi ilahi yang esa dan baik. Hanya konsep yang keliru dan menghipnotis akan ciptaan yang menyatakan keadaan sakit dan ketidakselarasan. Oleh karena itu penting untuk membedakan apa yang sejati dan apa yang hanya merupakan saran yang menghipnotis.

Saya mengalami betapa pentingnya memahami hal ini ketika masih remaja. Saya menderita kelainan pola makan yang parah, dan percaya bahwa saya tidak bisa makan secara normal tanpa menderita. Ketika di bawah pengaruh kepercayaan bahwa keadaan tersebut sejati, saya dengan keras kepala dan terang-terangan menolak setiap anjuran untuk makan secara normal, meskipun orang-orang di sekitar saya mengkhawatirkan keadaan saya yang terlihat sebagai kekurangan gizi yang parah. Berkat doa yang penuh kasih dari ibu dan seorang penyembuh Ilmupengetahuan Kristen, saya sembuh sepenuhnya (lihat kesaksian penulis di edisi Agustus 1982 majalah Journal).

Di kemudian hari saya menyadari bahwa keengganan untuk berubah yang saya nyatakan dengan begitu kuat saat itu bukan berasal dari diri saya sendiri, tetapi semata-mata mesmerisme—suatu saran palsu yang saya percayai benar tentang diri saya. Apa yang dilihat orang-orang di sekitar saya dengan benar sebagai suatu perilaku yang tidak normal dan mencederai diri sendiri, saya terima sebagai sesuatu yang sepenuhnya wajar, sebagai suatu fakta yang mutlak. Dan saya mempertahankan pendapat saya yang keliru itu dengan keyakinan yang membabibuta. Tetapi saya memainkan suatu peran yang bukan diri saya sendiri, tidak banyak berbeda dengan siswa yang yakin bahwa ia tidak bisa mengangkat segelas air. Untunglah, begitu khayalan tersebut disingkapkan melalui doa penyembuhan Ilmupengetahuan Kristen yang membangunkan, pengaruhnya hilang seketika itu juga, bagaikan bangun dari mimpi.

Pengalaman seperti itu melukiskan betapa pikiran menentukan pengalaman kita—bukan dalam suatu peristiwa, tetapi dalam semua peristiwa. Hal itu menjelaskan mengapa Yesus, penyembuh yang paling efektif di segala jaman, tidak pernah memanipulasi tubuh pasien atau berpaling kepada metoda kedokteran untuk menghasilkan kesembuhan. Ia hanya perlu meniadakan saran sesat yang diterima dalam pikiran pasiennya dengan cara memberi kesaksian di dalam doanya akan identitas sejati si pasien sebagai keserupaan Allah. Dengan menjadi saksi akan Kebenaran ilahi, secara mental Yesus menyingkapkan dan membalikkan kepercayaan yang menghipnotis yang menghalangi orang sakit melihat keakuannya yang sesungguhnya. Demikianlah, ia menghancurkan akibat dari kepercayaan seperti itu dan memulihkan keadaan yang normal. Tidaklah penting apakah seseorang menderita akibat pengaruh yang menghipnotis tentang penyakit ayan, cacat tubuh, keturunan, kelumpuhan, kebutaan, atau bahkan maut. Melalui Kebenaran yang dipegangnya dengan penuh pengertian dan kasih, ia membalikkan skenario manusia fana tentang bagaimana tubuh berfungsi dan menunjukkan bahwa identitas sesungguhnya dari seseorang sepenuhnya bersifat rohaniah, tidak dapat dihancurkan, dan diperintahi Budi ilahi, bukan zat.

Di buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, Mary Baker Eddy menjelaskan bahwa agar kita bisa menyembuhkan seperti Yesus,  “… lebih dahulu kita harus memalingkan pandangan kita ke arah yang benar, dan kemudian berjalan ke tujuan itu” (hlm. 248). Ini berarti memalingkan pikiran kita kepada apa yang ditunjukkan Kristus, Kebenaran, mengenai pemerintahan Allah atas ciptaanNya dan menyatakan bahwa hal itu benar, entah saat itu hal tersebut terlihat pada tubuh kita atau tidak. Ini karena penegasan mental mengenai Kebenaran membuka pikiran kepada kuasa Kebenaran, yang merubah pikiran. Dengan berpegang kepada Kebenaran ini, kita mengalami hasil yang sehat. Seperti ditulis Ny. Eddy di The First Church of Christ, Scientist, and Miscellany, “Anda tidak akan pernah bisa membuktikan kerohanian sampai anda menyatakan bahwa anda bersifat baka dan memahami bahwa anda memang demikian” (hlm. 242). Kita perlu terus-menerus melihat di dalam kesadaran kita manusia yang ideal, gambar dan keserupaan Allah, dan dengan konsisten memandang manusia yang sejati ini jika kita hendak bangun dari mimpi yang menghipnotis tentang manusia palsu yang disodorkan dunia kepada kita. Dengan cara ini kita mempertahankan benteng mental kita terhadap berbagai gangguan, baik yang menarik maupun yang menyedihkan, yang hendak menggagalkan kemajuan kita.

Jadi, sangatlah berguna untuk terus-menerus bertanya kepada diri sendiri, “Pikiran siapa yang saya pikirkan?” Di dalam Alkitab, ketika raja Sanherib bersiap untuk menyerang kota Yerusalem yang dibentengi, ia berusaha menciptakan ketakutan di antara penduduknya dengan mengirim utusan-utusan dan surat-surat yang mengatakan bahwa tidak ada kota-kota lain, atau ilah-ilah mereka yang telah berhasil menangkal angkatan perangnya yang dipersenjatai dengan kuat. Orang-orang Sanherib meneriakkan berita palsu kepada para pejuang pembela Yerusalem, dengan berusaha merongrong kepercayaan mereka kepada raja dan Tuhan mereka. Pernyataan berikut tentang peristiwa tersebut patut mendapat perhatian kita: “Dan mereka berseru dengan suara nyaring dalam bahasa Yehuda” (2 Tawarikh 32:18). Para penyerang tahu bahwa untuk bisa diterima di pikiran para pembela, mereka harus berbicara dalam bahasa asli para pembela.

Untuk dapat masuk ke dalam kesadaran kita, suatu saran yang menghipnotis seringkali berpura-pura sebagai pikiran kita sendiri. Misalnya, jika seseorang berusaha meyakinkan kita bahwa ada tanduk yang tumbuh di kepala kita, kita akan menolak saran itu. Tetapi saat kita berpikir bahwa kita memiliki budi kita sendiri yang terpisah dari Allah dan bahwa itu adalah pikiran kita sendiri, mungkin kita akan percaya bahwa hal itu benar. Saran tentang tanduk tadi memang sulit dipercaya, tetapi saran bahwa seorang pemuda tanggung tidak bisa mengangkat segelas air juga sama sulitnya untuk dipercaya!

Memahami bagaimana mesmerisme bekerja menuntut kita untuk memeriksa pikiran kita guna memastikan bahwa kita tidak menerima saran-saran khayal yang mungkin mempengaruhi kita untuk memerankan sesuatu yang akan mencederai diri sendiri atau perilaku yang merugikan.

Kita menyaring air yang akan kita minum agar tidak menelan kotoran. Tidakkah seharusnya kita menyaring kotoran mental alih-alih menerimanya? Sangat bermanfaat untuk menentukan dari mana pikiran kita berasal. Apakah kita mengakui bahwa pikiran yang benar hanya dapat datang dari Allah? Atau apakah kita percaya bahwa ada banyak budi, dan bahwa kita memainkan peran yang berlawanan dengan manusia yang diciptakan Allah dan dikenal  Allah—KeserupaanNya yang sempurna?

Ilmupengetahuan dan Kesehatan meyakinkan kita bahwa “suatu waktu kejahatan akan membuka rahasianya sendiri dan menghukum dirinya sendiri.” (hlm. 447). Kepercayaan palsu, karena merupakan khayalan yang tidak berdasar, tidak pernah sejati dan tidak pernah memiliki kecerdasan atau kuasa. Suatu kepercayaan yang tidak memiliki kecerdasan atau kuasa tidaklah lebih dari suatu saran yang tidak bisa berbuat apa-apa, suatu pernyataan tanpa dasar, tanpa akibat. Hal itu tidak bisa menyentuh atau merubah kebenaran rohaniah, betapa pun menakutkan kelihatannya. Hanya mungkin ada satu akibat bagi saran palsu, yakni untuk disingkapkan sebagai bukan sesuatu dan sirna seperti kabut yang menguap di bawah sinar matahari.

Kita tidak dapat takut bahwa kita ringkih, jika kita dengan tekun bekerja untuk mempertahankan diri kita sendiri secara mental melalui ketaatan yang penuh kerendahan hati kepada Allah dan kesediaan untuk membuangkan setiap kepercayaan palsu, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan, yang telah kita terima sebagai pikiran kita dan mungkin sudah kita anut selama bertahun-tahun. Bahkan kepercayaan yang sudah lama kita anut tidak bisa lepas dari berkas-berkas sinar Roh yang memurnikan. “Jadi janganlah kamu takut terhadap mereka, karena tidak ada sesuatu pun yang tertutup yang tidak akan dibuka dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi yang tidak akan diketahui,” demikian janji Yesus kepada para pengikutnya (Matius 10:26).

Semua orang yang ingin menjalani suatu kehidupan yang sehat dan sejahtera tidak bisa menyerahkan pengendalian atas pedoman moral serta jasmaniah mereka kepada pengaruh-pengaruh yang tidak mendukung maksud Allah yang baik. Kesehatan dan kesejahteraan kita layak mendapatkan upaya sebesar apa pun untuk mempertahankan kemurnian kesadaran kita dengan berpegang kepada Kebenaran yang memerdekakan, tidak peduli betapa sulitnya jalan itu kelihatannya. Kita dapat dan harus menanggalkan watak palsu yang disebut dunia sebagai “manusia”—“manusia lama serta kelakuannya,” sebagaimana digambarkan Rasul Paulus  (Kolose 3:9)—dan “mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya” (Efesus 4:24). Maka kita akan mendapati diri kita  “sama seperti Dia”—seperti Kristus —“sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya” (1 Yohanes 3:2)—utuh dan merdeka.

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.