Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Melihat diri kita dalam keadaan kita yang sebenarnya

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 6 Februari 2018

Aslinya diterbitkan di edisi Januari 2018 majalah The Christian Science Journal


Di gereja Kristus, Ahli Ilmupengetahuan, yang saya hadiri, dan di gereja-gereja Ilmupengetahuan Kristen di seluruh dunia, suatu petikan khusus dari Alkitab dibacakan kepada jemaat setiap minggu, tepat sebelum ucapan berkat yang mengakhiri kebaktian hari Minggu. Petikan tersebut diambil dari surat Yohanes yang Pertama: “Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah. Karena itu dunia tidak mengenal kita, sebab dunia tidak mengenal Dia. Saudara-saudaraku yang kekasih, sekarang kita adalah anak-anak Allah, tetapi belum nyata apa keadaan kita kelak; akan tetapi kita tahu, bahwa apabila Kristus menyatakan diri-Nya, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya. Setiap orang yang menaruh pengharapan itu kepada-Nya, menyucikan diri sama seperti Dia yang adalah suci” (3:1-3). 

Ini adalah suatu pembekalan sempurna diakhir kebaktian! Hal ini mengingatkan bahwa kita adalah anak-anak Allah, bahwa Dia sangat mengasihi setiap orang di antara kita, dan bahwa—apa pun yang kita alami—ketika kita bangun menyadari sifat Allah yang sebenarnya, kita akan melihat diri kita “sama seperti Dia,” mencerminkan Allah dan menyatakan sifat-sifat Kristus.

Selama bertahun-tahun seringkali saya hanya mendengarkan petikan tersebut dibawah sadar. Kebaktian sudah hampir selesai, jadi pikiran saya akan ke mana-mana ... “Makan apa siang ini?” “Saya harus memastikan anak-anak mengerjakan PR mereka,” atau “saya harus berbicara dengan si A atau si B sesudah kebaktian!” 

Lalu seorang teman menunjukkan kepada saya makna dari kata lihatlah. Artinya “Coba lihat” atau “Beri perhatian!” Selanjutnya ia mengatakan bahwa kata lihatlah ini mendahului beberapa petikan terpenting dalam Alkitab, karena begitulah cara para penulis memberitahu kita bahwa kita perlu “memberi perhatian.” Sejak itu saya mencari petikan tersebut di berbagai terjemahan Alkitab modern, dan memang benar, seringkali ayat-ayat tersebut dimulai dengan lihat atau perhatikan atau pertimbangkan. Dengan kata lain, jangan lupakan kata-kata penting ini mengenai setiap orang di antara kita sebagai anak Allah.

Sejak saat itu petikan tersebut selalu berkesan bagi saya. Maknanya semakin berarti bagi saya, dan saya meluangkan waktu untuk mempelajarinya lebih dalam.

Melalui pembelajaran ini, saya menjadi lebih mengenal diri saya dan orang lain sebagaimana Allah melihat kita. Kitab Suci dengan lugas dan tegas menetapkan bahwa setiap orang di antara kita adalah anak Allah yang terkasih dan bahwa kita bersifat dan selalu akan bersifat ilahi. Ini adalah warisan yang luar biasa. Saya melihat bagaimana pemahaman ini menjadikan saya mampu membuang sifat-sifat atau keadaan yang menyusahkan yang seakan berasal dari orang tua saya atau anggota keluarga lainnya. Saya bebas sepenuhnya untuk menjadi anak Allah, Pencipta saya yang ilahi dan abadi, yang menciptakan saya dalam gambar dan keserupaanNya.

Dan sebagaimana petikan tersebut mengingatkan kita, bahkan jika tidak selalu jelas dalam pikiran kita apa “keadaan” kita kelak, maka ketika kita bangun menyadari keadaan kita yang sesungguhnya dan sudah selamanya demikian, kita dapat berpaling kepada teladan Kristus untuk melihat dengan jelas sifat kita yang sebenarnya. Mary Baker Eddy, seorang ahli agama dan pemikir rohaniah yang menemukan Ilmupengetahuan tentang Kristus, mendefinisikan Kristus sebagai “Penyataan ilahi Allah, yang datang kepada daging untuk memusnahkan kesesatan yang berwujud daging” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, hlm. 583). Kristus menunjukkan apa kita ini sesungguhnya sebagai anak-anak Allah. Sebagai gambar dan keserupaanNya, kita tidak bercela atau ditunggangi warisan fana, tetapi kita masing-masing adalah manifestasi, atau cerminan, dari yang Ilahi. Ini tidak berarti kita semua identik—kita masing-masing mencerminkan keilahian Allah dalam cara-cara yang unik dan indah—tetapi kita sama-sama menjadi saksi dari luas dan kebesaran dan kesempurnaan ciptaan Allah.  

 Sementara makna rohaniah dari petikan tersebut menjadi semakin jelas bagi saya, maka saya sering berpaling kepada petikan tersebut untuk mendapatkan ilham atau bantuan saat berdoa. Setiap kali saya merasa bingung mengenai perjalanan hidup saya, khawatir tentang masa depan saya, atau sakit, saya berpaling kepada 1 Yohanes 3: 1-3 untuk mengingatkan diri saya siapa saya sesungguhnya. Bagi saya, seluruh petikan itu adalah suatu doa, suatu cara untuk kembali berhubungan dengan dan melihat lebih jelas bagaimana Allah melihat diri saya setiap hari. 

Hal ini juga telah sangat bermanfaat bagi saya dalam berdoa bagi anak-anak saya, untuk melihat kebaikan mereka, kesempurnaan mereka, keserupaan mereka dengan Allah. Sebagai orang tua, kita sering tergoda untuk melihat kekurangan pada watak anak-anak kita—sekali lagi, sifat-sifat yang mungkin mengingatkan kita kepada masalah yang dialami seorang anggota keluarga—atau mendengarkan bagaimana orang lain melihat atau memperhatikan mereka. Tetapi kita tidak pernah ingin membatasi warisan mereka yang sangat berharga dengan berasumsi bahwa warisan itu dibebani dengan apa yang telah kita lakukan atau dengan apa yang membuat kita tergoda untuk berpikir dapat kita lihat pada mereka.   

Alih-alih demikian, kita dapat mengetahui bahwa Allah adalah Pencipta dari semuanya, dan dalam kearifan serta kasihNya yang tidak berbatas, Dia memelihara anak-anakNya dengan cara apa pun. Allah Ibu-Bapa menyatakan di dalam setiap orang, termasuk masing-masing anak kita, sifat-sifat ilahi dalam keluasan yang tidak berhingga; Ia telah menciptakan mereka dan melihat mereka sehat, baik, dan lengkap. Dasar dari kesehatan serta keutuhan ini dan kemungkinan yang tidak berhingga inilah yang ingin kita lihat pada anak-anak kita! Melihat sifat rohaniah mereka yang sejati dengan cara ini, kita menjadi pendukung yang lebih baik bagi kesempurnaan, kebaikan, dan kesehatan mereka, dan lebih dapat membantu serta menyembuhkan mereka di saat-saat sulit.

Ketika putera saya masih balita, kami tergabung dalam suatu kelompok bermain yang menyenangkan yang terdiri dari para ibu dan anak-anak balita. Ibu-ibu akan duduk bersama dan bersosialisasi, saling bertukar saran dalam mengasuh anak sambil mengamati apa yang dilakukan anak-anak itu, terkadang anak-anak itu berlari-lari seputar halaman belakang. Pada suatu hari Jumat saat kami berkumpul, seorang anak laki-laki matanya merah dan meradang, dan salah seorang ibu dengan cepat  menggambarkannya sebagai radang mata. Ia menjelaskan kepada kami bahwa keadaan itu sangat menular.

Nah, belum pernah suatu kelompok bermain bubar secepat itu ketika ibu-ibu bergegas pergi karena mengkhawatirkan anaknya. Dalam perjalanan pulang, saya melihat bahwa mata anak saya terlihat sangat merah dan anak saya menggosok-gosok matanya. Dan ketika saya menidurkannya, saya dapat melihat bahwa matanya tidak sehat. Saya sangat mengkhawatirkan anak saya dan juga bingung karena keesokan harinya akan ada teman-teman yang datang menginap, dan saya tidak ingin ada yang merasa takut tertular.   

Kemudian, di tengah malam putera saya bangun dan menangis, dan saya pergi memeriksanya. Saat itu kedua matanya meradang. Saya membersihkan matanya dengan lap hangat dan menghiburnya, sambil menyanyikan beberapa lagu yang dikenalnya agar ia tertidur lagi. 

Setelah ia tertidur, saya mengambil Alkitab saya, dan berpaling kepada petikan yang sudah saya kenal yang saya bicarakan sebelumnya, 1 Yohanes 3:1-3. Setiap kata berkesan bagi saya, seakan minta diperhatikan dan dipahami dengan jelas. Saya tahu bahwa petikan tersebut menggambarkan putera saya dalam keadaannya yang sebenarnya, anak Allah yang terkasih, yang memiliki warisan yang baik dan sempurna. Tetapi ketika saya selesai membacanya dan meletakkan Alkitab saya, ketakutan mulai menjalar lagi dipikiran saya. Bagaimana jika matanya masih merah saat ia bangun? Bagaimana saya dapat menanganinya dan membantu anak saya? Dan bagaimana saya harus menghadapi teman-teman saya? 

Lalu timbul dalam pikiran saya bahwa jika saya tahu petikan tersebut benar bagi anak saya, maka saya tidak takut akan apa yang akan saya lihat esok hari; saya akan mengharapkan melihatnya diciptakan sebagai keserupaan Allah. Dan saya menyadari bahwa jika saya memiliki harapan serta pengertian ini, maka anak saya akan tampak bagi saya sebagai murni dan baik, sesuai dengan yang diciptakan dan dikenal Allah. Jadi, saya memutuskan bahwa saya akan duduk dengan definisi tentang anak saya ini dan mempelajarinya sampai saya tidak lagi ragu akan apa yang akan saya lihat keesokan harinya. 

Saya tidak dapat memastikan berapa lama saya terjaga, tetapi ketika saya mematikan lampu dan pergi tidur lagi, saya merasa damai sepenuhnya dan menyongsong hari esok penuh harapan. 

Keesokan harinya, saya bangun dan mulai menyiapkan sarapan bagi anak-anak. Ketika saya pergi untuk mengucapkan selamat pagi kepada putera saya, saya mengingatkan diri saya bahwa saya akan melihat anak yang adalah keserupaan Allah. Dan itulah yang saya lihat. Matanya sedikit pun tidak meradang atau berwarna merah—kedua matanya jernih dan sama sekali normal. Saya sama sekali tidak heran, dan meluangkan waktu untuk mengakui dengan tidak bersuara bahwa sangatlah wajar anak saya baik-baik saja dan normal pagi itu dan setiap pagi! Kunjungan teman-teman pun sangat menyenangkan. 

Apa pun keadaan yang kita lihat pada diri kita atau bagaimana orang lain mungkin mendiagnosa kita atau seseorang yang kita kasihi, kita dapat selalu berpaling kepada petikan dari 1 Yohanes bab 3 ini sebagai penyegaran kembali untuk mengingatkan diri kita sesungguhnya sebagai anak-anak Allah. Yohanes Pertama adalah salah satu kitab terakhir dalam Alkitab, dan saya suka menganggapnya sebagai kata akhir tentang sifat manusia. Sesungguhnya kata akhir ini sepenuhnya bersesuaian dengan “kata pertama” tentang manusia yang ditemukan di Alkitab bab pertama, Kejadian 1: “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (ayat 27).

Di seluruh Alkitab, kita membaca kisah demi kisah bagaimana orang mengatasi suatu pandangan yang tidak benar tentang diri mereka sendiri sebagai sakit, atau berdosa, atau menunggu ajal, ketika kepada mereka ditunjukkan pandangan yang benar tentang mereka sebagai putera-puteri Allah yang kinasih, dipelihara dan dijaga—dan baik! Sedang kita terus belajar untuk melihat secara rohaniah dan benar dengan cara ini, kita tidak perlu berpaling kepada sumber apa pun selain Allah untuk menemukan sifat serta keadaan kita yang sesungguhnya. 

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.