Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Menghapus Kegelapan

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 5 Maret 2018

Aslinya diterbitkan di edisi 5 Oktober 1992 majalah Christian Science Sentinel


Seharian saya merasa tertekan. Ketika berkendara pulang dari kantor malam itu, saya memikirkan beberapa hal yang mengganggu yang terjadi hari itu. Tetapi dalam hati saya tahu bahwa depresi yang saya rasakan tidak disebabkan oleh apa pun yang terjadi di kantor. Saya pergi tidur dengan perasaan tidak peduli kalau keesokan harinya saya tidak akan terbangun dan saya bahkan hampir berharap demikian.

Keesokan harinya saya menelpon seorang penyembuh Ilmupengetahuan Kristen dan memintanya berdoa untuk saya. Ia bersedia membantu. Salah satu hal yang ditekankannya adalah bahwa bahkan jika saat itu saya tidak dapat merasakan sukacita sedikit pun, saya tetap dapat bersyukur kepada Allah karena Dialah sumber sukacita saya dan hadir bersama saya. Penyembuh itu mengatakan bahwa keakuan saya yang sejati sebagai keserupaan rohaniah Allah tidak pernah dapat dipisahkan dariNya. Saya sadar bahwa itu berarti saya tidak dapat dipisahkan dari perasaan sukacita, yang merupakan sifat Allah.

Suatu petikan dari Alkitab yang menyatakan bahwa manusia tidak dapat terpisah dari Allah timbul dalam pikiran saya. Sebagian dari petikan itu berbunyi: “Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu? ... Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut, juga di sana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku. Jika aku berkata: ‘Biarlah kegelapan saja melingkupi aku;’ bahkan malam akan menjadi terang di sekelilingku” (Mazmur 139:7, 9-12, menurut versi King James).

Meskipun merasa seakan saya “membuat kediaman di ujung laut,” Allah menyertai saya. Dan bahkan kalau saya bersikukuh bahwa kegelapan dapat melingkupi saya, dapat merampas sukacita saya dan keinginan saya untuk hidup, Allah mengetahui bahwa sebagai anakNya saya menetap di dalam penjagaanNya yang aman. Jadi, meskipun merasa depresi, saya dapat bersyukur kepada Allah atas keselaluhadiranNya, dan rasa syukur saya didasarkan pada kebenaran rohaniah, yang tidak pernah berubah. Hal itu tidak bergantung kepada keadaan.

Bersyukur kepada Allah ditengah penderitaan mental, tidaklah mudah. Tetapi saya sadar bahwa saya diminta untuk lebih bergantung kepada apa yang benar secara rohaniah dan kurang kepada apa yang terus-menerus dikatakan penanggapan lahiriah dan kebendaan sebagai yang benar. Saya diminta untuk mengikuti teladan Yesus Kristus. Di buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan, Ny. Eddy menulis: "Yang kita istilahkan penanggapan kebendaan hanya dapat melaporkan suatu paham yang sementara dan fana tentang segala hal, sedangkan penanggapan rohaniah hanya dapat memberi kesaksian tentang Kebenaran. Bagi penanggapan kebendaan, yang tidak sejati adalah yang sejati, sampai penanggapan itu dibetulkan oleh Ilmupengetahuan Kristen" (hlm. 298).

Saat itu, saya percaya bahwa penanggapan kebendaan mengatakan yang benar kepada saya dan bahwa depresi memiliki keabsahan. Tetapi saya sadar bahwa saya harus bersedia memperbaiki penanggapan kebendaan dengan penanggapan rohaniah, yang hanya “memberi kesaksian tentang Kebenaran.” Untuk melakukan hal ini saya perlu menyatakan bahwa satu-satunya penanggapan saya yang benar bersifat rohaniah, karena wujud saya yang sejati sebagai keserupaan Allah adalah rohaniah, bukan kebendaan.  

Selanjutnya, sesudah paragraf tersebut, Ilmupengetahuan dan Kesehatan menyatakan, “Penanggapan rohaniah, yang bertentangan dengan pancaindera kebendaan, meliputi intuisi, harapan, iman, pengertian, pengabulan, kesejatian." Jadi, bersandar kepada penanggapan rohaniah, bukanlah mengabaikan suatu masalah. Demikian juga hal itu bukan hanya berusaha melihat sisi yang baik dari berbagai hal. Hal itu mencakup jauh lebih banyak, ketika kita berpaling kepada Allah untuk menemukan apa yang benar.

Karena Allah adalah baik, Ia menciptakan ciptaanNya baik. Hal ini dengan jelas disiratkan dalam bab pertama Alkitab. Dan kita baca di kitab Habakuk “Mata-Mu terlalu suci untuk melihat kejahatan” (1:13). Karena Allah hanya membuat hal-hal yang baik, dan hanya mengetahui kebaikan, Ia tidak pernah bisa menciptakan depresi. Dengan bernalar secara rohaniah, saya dapat menyimpulkan bahwa keadaan mental tersebut tidak datang dari Allah dan karena itu tidak bisa memiliki kuasa atau kesejatian yang seakan dimilikinya.

Saya ingat nabi Elia di Alkitab, yang juga mempunyai pengalaman terbebani depresi. Ia merasa sendirian, mengira bahwa ia adalah satu-satunya nabi yang patuh kepada Allah, dan hidupnya terancam. Ia ingin menyerah, dan bertanya kepada Allah apakah ia boleh mati.

Kitab 1 Raja-raja memberitahu kita bahwa ketika Elia tidur di bawah pohon arar seorang malaikat membangunkannya dua kali dan menyuruhnya makan. Setiap kali Elia bangun dan melihat roti dibakar di batu-batu yang panas dan sekendi air, dan ia pun makan dan minum. Sesudah itu ia pergi ke Horeb, gunung Allah, di mana ia mendengar “bunyi angin sepoi-sepoi basa.”

Kisah ini menghibur saya, karena bahkan keputus-asaan Elia yang dalam tidak dapat menghalangi malaikat itu berbicara kepadanya atau mencegah Elia mendengar apa yang dikatakan malaikat. Elia memerlukan malaikat dan saya pun demikian. Elia tidak bisa mengalahkan depresi itu tanpa bantuan ilahi, begitu pun saya. Hanya kuasa Allah, malaikat-malaikatnya, atau pikiran-pikiranNya, yang dapat menghiIangkan kesedihan yang seakan menguasai saya dan mendatangkan terang.  

Saya bersandar kepada fakta rohaniah bahwa Allah, Budi, mendukung dan memelihara saya sebagai anakNya. Saya melihat bahwa ini bukan lagi pertempuran perorangan saya sebagaimana itu juga bukan pertempuran perorangan Elia. Itu adalah pertempuran Allah, dan Ia akan memberi saya malaikat-malaikat yang saya perlukan.

Ketika saya berusaha untuk bersyukur kepada Allah atas kehadiran, kuasa, dan kasihNya yang tetap, saya dapat berpikir cukup jernih untuk berdoa. Beberapa hari kemudian kegelapan mental itu pun sirna. Dengan hilangnya kegelapan dan munculnya suatu pemahaman yang kuat akan kesatuan saya dengan Allah sebagai anaknya yang rohaniah, datanglah suatu pemahaman yang penting. Saya melihat bahwa kegelapan mental tidak memiliki kuasa untuk merubah apa pun yang benar tentang Allah atau tentang saya sebagai ideNya yang rohaniah.

Kegelapan itu tampaknya sangat berkuasa. Kegelapan itu seakan telah mengancam untuk merubah segalanya—kecintaan saya pada hidup, sukacita saya, kedamaian saya, kemampuan saya untuk memberi sumbangan kepada dunia. Tetapi ancaman itu tidak terlaksana. Dan mengapa hal itu tidak dapat merubah terang menjadi kegelapan adalah karena depresi tidak memiliki kuasa untuk merubah kebenaran tentang Allah atau kebenaran tentang anak Allah. Setiap ancaman yang gelap dan jahat bukanlah kuasa yang sesungguhnya. Ilmupengetahuan Kristen membantu saya melihat bahwa Allah itu mahakuasa, Semua-dalam-semua. Betapa pun kegelapan hendak meyakinkan kita bahwa Allah tidak hadir atau bahwa kita terlalu terlelap secara mental untuk mendengar suaraNya atau bahwa bagaimana pun juga kita dapat berhenti menjadi anakNya, hal itu tidak memiliki kemampuan untuk menjadikan satu pun dari semua itu benar.

Menjadi jelas bagi saya bahwa saya telah terus menyatakan sifat Allah meskipun menghadapi tantangan ini. Misalnya, saya telah menyatakan kecerdasan Budi ilahi yang esa dengan melakukan pekerjaan saya dengan bijaksana; saya menyatakan kekuatan Roh ilahi dengan bersikukuh pada kebenaran wujud dan tidak menyerah secara mental kepada kesedihan.

Kita tidak berhenti menjadi anak Allah hanya karena pandangan kebendaan tentang hidup mengatakan dengan gigih bahwa tidak ada harapan bagi masalah yang kita hadapi. Sifat-sifat ilahi dan rohaniah yang kita nyatakan dan kebaikan yang kita miliki sebagai anak Allah adalah abadi. Semua itu tidak pernah pudar, karena Allah adalah Hidup abadi. Saya mulai melihat bahwa seberapa banyak pun depresi yang saya rasakan, tidak dapat merugikan saya atau merubah diri saya. Saya ada karena Allah ada. Dalam identitas saya yang sejati saya mencerminkan sifat Allah yang lengkap.

Saya pun sadar bahwa sebenarnya saya merasa takut akan kematian. Bukan takut mati secara jasmaniah tetapi secara mental. Saya takut bahwa ada suatu keadaan atau orang atau tempat yang dapat mencegah saya dari menjadi diri saya sendiri atau dari memberi sumbangan saya kepada dunia.

Kesedihan itu pernah mencoba untuk kembali, tetapi ketika itu terjadi saya merasa kuat karena saya tidak lagi takut bahwa kejahatan memiliki kuasa atau dapat melakukan sesuatu untuk merubah sifat rohaniah saya. Saya mengetahui kebenaran mengenai diri saya sebagai anak Allah. Saya tahu bahwa sebagai keturunanNya saya hanya dapat menyatakan sukacita dan kepuasan dan bahwa kejahatan sama sekali tidak memiliki kuasa untuk meyakinkan saya tentang hal yang sebaliknya. Saya sembuh, dan beban mental yang berat itu tidak muncul lagi.

Allah mendukung kita pada saat-saat gelap hari-hari kita—dan selalu mendukung kita. Kebenaran membawa terang.

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.