Empat puluh tahun—waktu yang lama untuk menempuh perjalanan kurang dari limaratus kilometer. Tapi itulah waktu yang dihabiskan bani Israel di padang gurun Sinai sesudah mereka Hijrah keluar dari Mesir. Mengapa memerlukan begitu lama bagi mereka untuk menemukan Tanah Perjanjian?
Membaca dengan saksama kisah Alkitab itu memberi kita beberapa petunjuk. Sepanjang perjalanan itu, bani Israel terus mengeluh tentang kesulitan mereka. Dan alih-alih menyembah Allah yang telah membebaskan mereka dari perbudakan, mereka membuat gambar allah lain (lihat Keluaran 32: 1-6) meskipun telah banyak bukti tentang penjagaan Allah: Laut Merah terbelah, manna tersedia dengan cara ilahi, air menyembur dari batu karang. Apa lagi yang mereka butuhkan?
Dapat dikatakan orang-orang Ibrani itu mengembara di padang belantara yang jauh lebih pelik daripada pasir dan batu di sekeliling mereka. Mereka menaruh iman di dalam zat, bukan di dalam Allah, Roh yang tidak berhingga—suatu rasa percaya yang salah ditempatkan yang menghasilkan kebencian, keraguan, ketakutan, dan rasa tidak bersyukur. Di dalam gurun mental ini, tidak mengherankan bahwa mereka memerlukan waktu yang begitu lama untuk mendengar bimbingan ilahi yang akan memungkinkan mereka mencapai tujuan mereka!
Mary Baker Eddy, Penemu dan Pendiri Ilmupengetahuan Kristen, mendefinisikan konsep insani akan padang gurun dalam pengertian metafisiknya sebagai “kesunyian; keraguan; kegelapan.” Kemudian ia mengidentifikasinya secara rohaniah sebagai “spontanitas pikiran dan ide; serambi depan, tempat suatu paham yang kebendaan tentang segala hal lenyap dan paham yang rohaniah mengembangkan fakta-fakta yang agung akan kehidupan” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, hlm. 597).
Telah sangat bermanfaat bagi saya untuk secara aktif memindahkan pikiran saya dari penanggapan yang kebendaan dan fana akan padang gurun kepada sudut pandang yang berkuasa yang bersifat rohaniah dan sejati. Misalnya, di tempat tinggal saya di Afrika Selatan, ada perbedaan pendapat mengenai penggunaan lahan. Saya telah sangat tergoda untuk bereaksi dengan kebencian serta ketakutan, untuk mengembara di tanah gersang akan kepahitan dan tuduh-menuduh, terhadap pernyataan politik yang dilontarkan. Tetapi memahami sekilas pengertian rohaniah tentang padang gurun telah memaksa saya menantang pikiran ini—untuk menggunakan pemahaman saya tentang padang gurun sebagai suatu “serambi depan,” suatu tempat yang terbuka bagi pemahaman yang lebih diilhami secara ilahi tentang tanah, tentang manusia, dan tentang Allah.
Salah satu ajaran inti Ilmupengetahuan Kristen adalah bahwa di balik setiap obyek kebendaan dapat ditemukan suatu ide rohaniah yang unik dan permanen. Menanggapi pertanyaan, “Apakah batu itu bersifat rohaniah?” Ny. Eddy menjawab, “Bagi penanggapan kebendaan yang sesat, Tidak! tetapi bagi penanggapan rohaniah yang tidak bisa sesat, itu adalah suatu manifestasi yang kecil dari Budi, sejenis substansi rohaniah …” (Miscellaneous Writings 1883–1896, hlm. 27).
Sebagai keturunan rohaniah Allah, anak-anakNya tidak tinggal dalam zat; pemandangan mental kita yang sejati bukanlah batu dan debu. Jadi kita tidak dapat memiliki hak atas zat, demikian pula zat tidak dapat memiliki hak atas diri kita. Dengan secara aktif menumbuhkan penanggapan rohaniah kita—kemampuan kita yang dikaruniakan Allah untuk melihat ciptaanNya di mana pun kita berada—kita mulai kehilangan pandangan kita yang didasarkan pada zat tentang kesejatian dan melihat “fakta-fakta agung kehidupan.” Pandangan ilahi ini, yang bekerja di dalam kesadaran kita, memungkinkan kita membuang semua pemikiran “padang gurun” yang didasarkan pada zat—termasuk ketakutan, kemarahan, dan kejengkelan. Gurun di dalam pikiran dirubah menjadi taman-taman pikiran.
Suatu pengalaman baru-baru ini menunjukkan kepada saya kuasa rohaniah yang mendatangkan perubahan ini. Salah satu politisi kami menyampaikan suatu pidato yang sangat menghasut. Kebencian dan perpecahan rasial mewarnai kata-katanya, dan saya merasakan reaksi yang memecahbelah yang sama dalam bentuk kemarahan dan kebencian di dalam pikiran saya sendiri.
Doa menyelamatkan saya. Saya mendapati diri saya bersedia dan mampu membungkam perasaan ini, dan menolak godaan untuk berpikir bahwa itu dibenarkan. Mengetahui bahwa Allah adalah Budi ilahi—pencipta kita semua yang penuh kasih dan baik hati—saya memahami bahwa pendapat dan reaksi negatif adalah teriakan untuk menarik perhatian (clamor) dari sudut pandang manusia fana. Saya tahu bahwa kata claim (menuntut) dan clamor (teriakan untuk menarik perhatian) berasal dari akar kata bahasa Latin yang sama, clamare, yang berarti “berteriak.” Pengetahuan yang sedikit ini mematahkan tarikan yang menghipnotis itu, yakni teriakan, kebencian dan kemarahan yang telah menggoda untuk saya rasakan.
Ketika saya berdoa, saya memikirkan kata lain—pengambilalihan,yang merujuk kepada penyerahan hak kepemilikan properti yang eksklusif. Segera saya menyadari bahwa eksklusivitas tidak ada hubungannya dengan ciptaan Allah. Dia adalah Kasih yang meliputi semuanya. Dia tidak pernah dibatasi, tidak pernah terbagi oleh pagar-pagar atau batas-batas. Bagi saya ini berarti bahwa ide-ideNya tidak saling terpisah, dan tidak ada kekacauan manusia fana untuk disuarakan atau didengar.
“Milikku dan milikmu adalah istilah-istilah yang usang dalam Ilmupengetahuan Kristen yang mutlak,” tulis Ny. Eddy, “di mana dan dengan apa persaudaraan manusia yang universal dinyatakan dan harus dibuktikan” (Miscellaneous Writings, hlm. 318). Saya menyadari bahwa tuntutan ini ditujukan kepada kita sekarang, bukan suatu saat di masa depan ketika pengalaman “padang gurun” kita sudah berlalu. Kita dapat segera keluar dari setiap pengalaman padang gurun dan berpindah ke “spontanitas pikiran dan ide” yang dikaruniakan Allah kepada kita.
Dengan menyadari hal ini, suatu perasaan yang dalam akan Kasih Tuhan mengalir ke dalam pikiran saya. Bukan suatu upaya yang lemah untuk merasakan pertemanan yang penuh kasih persaudaraan atau meraba-raba di dalam gelap untuk menemukan kehadiran insani yang menghibur, tetapi keselaluhadiran Kasih ilahi yang adalah Allah—yang merangkul semuanya, tidak dapat dihalangi, mutlak.
Kasih yang meresapi ini menguasai perasaan saya, dan saya dipenuhi kedamaian yang menakjubkan. Semua perasaan yang telah membuat kesadaran saya bak gurun pasir sirna. Saya bisa melihat politisi tersebut sebagai anak dari Allah yang esa dan bersifat universal. Sebagai ciptaan Kasih dia tidak bisa menganjurkan sesuatu pun yang tidak digariskan oleh Bapanya—dan sebagai ciptaan yang sama, saya tidak bisa bereaksi seperti manusia fana.
Taman mental saya berbunga lebat, dan saya benar-benar lupa tentang pidato yang bernada negatif itu. Dua hari kemudian, suami saya berkomentar tentang pidato lain dari politisi yang sama. Kali ini pidatonya bersifat mempersatukan berbagai ras dan isinya logis, bahkan sampai mengatakan bahwa setiap kelompok di negeri kami mempunyai peran yang harus dimainkan! Tentu saja, saya tidak tahu persis apa yang menyebabkan posisinya melunak. Tetapi perubahan yang luar biasa ini terasa seperti transformasi suatu padang gurun, kemunculan suatu oasis di gurun pasir. Hal itu meyakinkan saya, bahwa melalui doa kita dapat menolak setiap pendapat dan reaksi yang bersifat fana dan merubah setiap “tanah gersang” menjadi suatu tempat berlabuh yang penuh kedamaian.
Sejak saat itu saya bertekad untuk mendengarkan setiap tetes ilham di setiap pengalaman padang gurun yang saya hadapi—dan untuk demikian menghargai dan merawat setiap tetesnya sehingga akan tumbuh menjadi banjir kasih Tuhan yang tidak terhentikan, yang menghanyutkan setiap tanda kegersangan serta ketandusan. Secara teratur saya bertanya kepada diri sendiri, “Apakah saya menghuni suatu gurun akan reaksi manusia fana, atau taman yang terdiri dari sifat-sifat Allah?” Dan saya menantikan lebih banyak saat-saat padang gurun, ingin sekali melihat semua sifat Kasih bermekaran di mana-mana.
Tidak seorang pun di antara kita mengembara di suatu tanah gersang yang bersifat mental. Kita semua ada di bawah bimbingan serta penjagaan Allah. Apa lagi yang kita butuhkan?