Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Memberi perhatian kepada “lampu merah”

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 18 Juni 2020

Aslinya diterbitkan di edisi 22 Juni 2020 majalah Christian Science Sentinel


Bertahun-tahun yang lalu, ketika sedang berkendara pulang larut malam dari rumah teman, saya mengurangi kecepatan saat mendekati perempatan jalan yang sudah saya kenal. Di situ ada lampu lalu-lintas yang saat itu sedang berubah menjadi merah. Saya dapat melihat bahwa tidak ada kendaraan dari segala penjuru, jadi kelihatannya saya tidak perlu berhenti dan duduk menunggu sampai lampu berubah menjadi hijau. Meskipun demikian, begitu saya sampai di perempatan itu, saya berhenti secara otomatis. Saya duduk di mobil, benar-benar sendirian di kegelapan, menatap lampu merah itu dan merasa agak konyol. Jelaslah, saya tidak mampu memaksakan diri untuk menerobos lampu merah, bahkan dalam keadaan tersebut. Hal itu membuat saya berpikir.

Di dunia kita sehari-hari, kita mengenal berbagai macam hukum. Ada hukum yang dibuat orang, seperti hukum berlalulintas, yang dapat dirubah dan kadang-kadang diabaikan. Ada juga yang terkadang disebut hukum alam, seperti gravitasi, yang tidak bisa dirubah atau diabaikan. Jika kita melompat dari pohon, gravitasi menarik kita ke bawah, bukan ke atas atau ke samping, dan mau tidak mau kita jatuh ke tanah. Ada juga yang kadang-kadang disebut sebagai hukum susila, yang terdapat dalam setiap masyarakat, yang mengatur perhubungan dan tingkah laku kita satu sama lain. 

Hukum-hukum susila, sebagaimana hukum-hukum alam seperti gravitasi, tidak bisa diabaikan dengan berhasil. 

Alkitab menyatakan kepada kita bahwa Allah adalah Bapa kita dan bahwa kita adalah anak-anakNya yang sangat dikasihiNya. Hukum-hukum yang dibuat manusia adalah cerminan akan pentingnya menunjukkan kasih kita kepada Allah dan satu sama lain dengan menyatakan kerjasama dan kejujuran dalam interaksi kita. Hukum-hukum seperti itu memberi kita bimbingan dan dapat memperingatkan kita terhadap sesuatu yang berpotensi membahayakan. Hukum-hukum tersebut menuntut kita bertindak dengan menghormati keselamatan serta kesejahteraan sesama, termasuk orang yang sama sekali asing bagi kita. Kepatuhan kita kepada hukum-hukum seperti itu, bahkan kalau terasa tidak nyaman atau kelihatannya tidak perlu, merupakan sisi penting dari watak kita. 

Beberapa orang mungkin menganggap ajaran agama tentang kesusilaan sebagai hukum-hukum yang dibuat manusia dan dapat kita patuhi atau abaikan sesuka kita, dengan konsekuensi nyata tidak lebih dari yang ditimbulkan kalau kita menerobos lampu merah ketika jalanan kosong dan tidak ada orang yang melihatnya. Tetapi banyak pemikir serius berpendapat bahwa hukum-hukum susila yang ditemukan dalam Alkitab sesungguhnya didasarkan atas hukum-hukum rohaniah Allah dan adalah pernyataan tentang aturan untuk membuktikan kerajaan Allah di bumi, yang tidak dapat kita abaikan atau tafsirkan kembali sesuka kita. Meskipun untuk sementara waktu kelihatannya tidak demikian, hukum-hukum susila, sebagaimana hukum-hukum alam seperti gravitasi, tidak bisa kita abaikan dengan berhasil.  

Mungkin dalam kehidupan kita, ada kalanya kita dapati diri kita di “lampu merah” susila, yakni saat-saat ketika kita perlu berhenti dan menanyakan kepada diri sendiri beberapa pertanyaan: “Apakah arah yang saya tuju sekarang ini benar-benar suatu ide yang bagus? Bagaimana kiranya tindakan saya akan berakibat kepada orang lain?” Di buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, Mary Baker Eddy memberikan nasihat ini: “Dalam suatu dunia yang berdosa dan bersifat berhawa nafsu, yang terburu-buru mengejar suatu perkembangan kekuasaan yang lebih besar lagi, maka bijaksanalah untuk mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh: budi insani atau Budi ilahikah yang mempengaruhi kita” (hlm. 82-83). Bagi saya ini berarti kita harus bertanya kepada diri sendiri apakah pikiran serta pendapat insani atau bimbingan ilahi yang memotivasi kita.  

Kita semua adalah anak-anak Allah yang dikasihiNya, dan Dia senantiasa beserta kita, membimbing kita masing-masing. 

Ajaran Yesus Kristus memberi banyak bimbingan tentang sifat Allah dan hukum-hukumNya. Khotbah di Bukit yang disampaikan Yesus dan banyak ajarannya yang lain membantu kita memahami hukum-hukum Allah dan berkat yang kita dapat dengan menghormati, mengasihi, dan mematuhi hukum-hukum itu. Beberapa dari  ajaran ini bisa dianggap sebagai lampu merah—peringatan-peringatan yang lembut tetapi tegas untuk berhenti dan berpikir serta berdoa mengenai rencana dan tindakan kita. Lampu-lampu merah ini adalah pernyataan akan penjagaan Allah yang melindungi kita dari kesalahan-kesalahan yang timbul karena kurang berpikir panjang maupun perbuatan salah yang disengaja.

Rasul agung Kristiani, Paulus, memberi kita lampu merah yang terkenal dalam Alkitab di dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, dengan menganjurkan mereka untuk berpikir dengan hati-hati mengenai perilaku mereka. Dia memperingatkan, “Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya” (Galatia 6:7). Logika dari penalaran ini jelas. Jika kita menanam bawang, kita tidak berharap memanen buah stroberi. Dan jika kita “menanam” ketidakbaikan kepada orang lain, maka hal itu tidak akan membuahkan kebahagiaan bagi mereka atau bagi kita. Jika kita “menanam” ketidakjujuran, hal itu tidak pernah akan tumbuh menjadi keberhasilan yang sejati.    

Lampu merah kesusilaan memberi kita perlindungan terhadap kesalahan serta “belokan yang salah”. Terkadang lampu merah kesusilaan mungkin menunjukkan perempatan yang tidak terduga, di mana, kalau kita sungguh-sungguh berdoa untuk mendengarkan bimbingan Allah, kita mungkin dibimbing untuk berbelok di tikungan dan menemukan hidup kita maju ke arah yang baru dan lebih baik. Dalam kehidupan saya, yang meliputi beberapa masa yang sulit dan keputusan yang merubah hidup saya, secara konsisten saya mendapati bahwa doa yang mendengarkan dengan saksama bimbingan Allah telah membawa saya kepada pilihan-pilihan yang bijak dan hasil yang baik bagi saya dan anggota keluarga saya. 

Kita semua adalah anak-anak Allah yang dikasihiNya, dan Dia senantiasa beserta kita, membimbing kita masing-masing. Kita akan mendengar dan memahami bimbinganNya kalau kita berhenti untuk mendengarkannya dengan hati yang terbuka dan keinginan tulus untuk melakukan apa yang benar.

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.