Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Ditebus melalui Kristus

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 28 Mei 2021

Aslinya diterbitkan di edisi Juni 2021 majalah The Christian Science Journal


Suatu kasih yang tulus untuk Yesus Kristus adalah awal yang baik untuk mengikutinya. Tetapi kita tidak dapat berhenti di situ kalau kita ingin mengalami kerajaan surga serta keselarasannya di bumi. Ilmupengetahuan Kristen sangat menghormati sosok Yesus. Tetapi masih sangat banyak lagi yang dapat dilihat dari kehidupannya. Makna kehidupannya ditemukan dalam Kristus abadi yang ditunjukkan Yesus sebagai identitasnya yang sejati dan sebagai hal yang menunjukkan identitas kita yang sejati. Kristus ini adalah penyataan Kasih ilahi yang berbicara kepada kesadaran individual kita dan dinyatakan dalam pengalaman individual kita. Seperti ditunjukkan dalam contoh berikut ini, tidak ada yang lebih wajar daripada merasakan kasih Kristus dan menyatakan kasih tersebut, sifat Kristus kita, dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita dapat terbebas dari memandang orang lain—atau dipandang oleh orang lain—dengan ketakutan, kecurigaan, atau penghinaan.  

Salah satu pengikut Yesus yang paling jelas memahami hal ini adalah Paulus. Dia berkhotbah dengan kepastian yang menakjubkan, “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Galatia 3:28). Dalam menyampaikan pesannya kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi, Paulus mengatakan bahwa tujuan Allah adalah untuk menunjukkan bahwa “Kristus ada di tengah-tengah kamu” (Kolose 1:27). Paulus mengetahui, dari pengalamannya yang mendalam, bahwa tidak ada yang mengawang-awang tentang identitas rohaniah kita, seperti halnya tidak ada yang dapat diandalkan dalam dasar kebendaan akan identitas.

Paulus menjadikan jelas bahwa maksud Allah, “yang telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan memanggil aku oleh kasih karunia-Nya, berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi”. Ucapan tersebut diakhiri dengan mengesankan, “maka sesaatpun aku tidak minta pertimbangan kepada manusia” (Galatia 1: 15, 16).

Paulus bukannya tidak menghormati suatu kelompok manapun. Dari pemahaman yang paling tinggi akan kasih, dia mengakui dasar untuk memperoleh kembali identitas rohaniah semua orang, bahwa sesungguhnya mereka itu tinggal di dalam Kristus—suatu identitas yang tidak pernah dibentuk oleh hal turun-temurun yang kebendaan atau dihalangi oleh sejarah fana. 

Berkat kehidupan Yesus yang unik, Kristus tidak bisa lagi tersembunyi dari pandangan orang ataupun disamarkan oleh pemahaman kebendaan tentang identitas yang telah diajarkan untuk kita percayai. Kita dapat memisahkan diri dari persepsi seperti itu dengan bertumbuh dalam pengertian rohaniah. Menemukan identitas rohaniah kita membebaskan kita dari apa yang akan menggambarkan kita dengan keliru. Hal itu membebaskan kita untuk hidup menebar berkat.  

Beberapa tahun yang lalu, teman saya, seorang mahasiswa muda dari Timur Tengah, mendapat kesempatan untuk belajar di sebuah sekolah di Eropa. Setelah beberapa bulan di sana, pada suatu pekan dia menghubungi saya melalui Skype, penuh kesedihan. Sehari sebelumnya, dia tersesat saat pergi untuk memenuhi suatu janji. Ketika dia mendatangi beberapa orang dan dengan sopan minta petunjuk jalan (dia memakai jas dan dasi), mereka segera meninggalkannya atau berteriak menghinanya, mengatakan kepadanya untuk “pulang kembali ke negerinya.”   

“Mereka hanya melihat kulit saya yang gelap, rambut saya yang hitam, dan mata saya yang hitam,” katanya dengan sedih. Dia merasa bahwa mereka semua mempunyai anggapan yang sama: Anda adalah seorang teroris.  

Karena saya tahu bahwa dia adalah anak muda yang baik dan lembut, maka ceritanya itu sangat mengganggu saya. Seluruh kisahnya seakan mengatakan bahwa dia akan selamanya menjadi korban dari persepsi salah yang menyakitkan dan penggambaran yang sama sekali keliru. Tetapi kejadian berikutnya membuktikan bahwa hal itu sama sekali tidak benar. 

Hari itu kami berbicara banyak tentang Allah, suatu topik yang disukai teman saya. Di akhir pembicaraan kami, dia bertanya apakah saya bersedia berdoa. Keesokan harinya dia harus bepergian ke ibu kota negeri yang sedang dikunjunginya dan merasa khawatir akan menghadapi lebih banyak permusuhan.  

Dalam mempraktekkan Ilmupengetahuan Kristen, pada suatu saat kita belajar bahwa kita tidak dapat menawar fakta bahwa wujud yang sejati bersifat rohaniah—meskipun hal itu kelihatannya tidak bisa dipahami dari sudut pandang yang sepenuhnya bersifat kebendaan. Karena ini adalah Ilmupengetahuan, maka Asasnya tidak dapat ditawar lalu masih bisa dibuktikan. Dasar penyembuhan dalam Ilmupengetahuan Kristen ada dalam beralih melampaui pandangan yang kebendaan tentang hidup untuk menemukan bahwa Allah adalah satu-satunya Hidup yang pernah ada dan akan ada. 

Gambaran yang kebendaan tidak pernah merupakan akhir dari suatu kisah. (Ini tidak ditulis dengan asal-asalan, atau tanpa kesadaran yang jelas akan ketidakadilan serta kejahatan yang mengerikan yang dihadapi begitu banyak orang.) Akhir dari semua kisah adalah bahwa Kristus menebus kita. Dan meskipun kita tidak selalu melihat hasil tersebut saat ini, bahwa hal tersebut terjadi dalam kehidupan bahkan satu orang—atau banyak orang, sebagaimana ditunjukkan di berbagai kesaksian penyembuhan yang dimuat di majalah ini—adalah bukti bahwa, seperti hukum matematika, hal itu berlaku bagi semua orang.

Melihat identitas teman saya sebagai bersifat kebendaan akan berarti menyangkal siapa dia sesungguhnya. Penjelasan saya yang sederhana kepadanya bahwa Kristus bukanlah suatu istilah untuk hal yang bersifat denominasi, melainkan manifestasi dari Kasih yang menunjukkan identitas kita yang sebenarnya, sangat membuatnya gembira. Menjalani kebenaran ini, dengan langkah demi langkah yang sederhana, berarti kebebasan dari identifikasi yang keliru. Itu berarti kesempatan, harapan, dan kehormatan yang lebih luas. Itu berarti berdamai sepenuhnya dengan bagaimana Allah menciptakan kita—dan mengetahui bahwa keakuan kita yang sejati dapat dilihat secara rohaniah dan diakui orang lain juga.

Keesokan harinya teman saya mengirim email mengatakan bahwa ketika turun dari bus di ibu kota, seorang nenek yang mungil melihat bahwa teman saya terlihat bingung dan bertanya apakah dia bisa membantu. Setelah menunjukkan jalan kepada teman saya, nenek itu berkata, “Anda seperti cucu saya! Ceritakanlah tentang dirimu. Dari mana asalmu? Mengapa kamu berkunjung ke negeri kami?” Nenek itu kemudian bercerita tentang cucunya. Dia mengakhiri pembicaraannya dengan mengatakan, mendekatlah supaya saya dapat memberimu pelukan perpisahan.” Setiap orang yang ditemuinya hari itu memperlakukannya dengan baik—dan pengalamannya itu, kecuali untuk beberapa kejadian langka, terus berlanjut. 

Suatu keselarasan yang kudus harus menandai pertemuan kita dengan orang lain. Ini tidak perlu merupakan pengecualian yang langka. Bahkan yang lebih penting, sejarah insani kita tidak dapat merintangi kebebasan ini. 

Meskipun saya dibesarkan dalam Ilmupengetahuan Kristen, saya juga tumbuh di suatu kota, yang saat itu, secara aktif bekerja untuk mencegah orang berkulit berwarna tinggal di kota itu. Karena diajari untuk mengasihi kebenaran wujud yang dinyatakan dalam Alkitab, maka prasangka yang dibuat manusia atau pola penindasan sosial tidak pernah menyembunyikan kebenaran abadi itu dari diri saya. Berbagai pengalaman menegaskan hal ini—yang pertama ketika sebagai mahasiswi yang sedang mengunjungi kota besar, saya berhadapan dengan dua pria yang menghentikan saya ketika sedang berjalan di tempat yang sepi. Pikiran saya yang pertama adalah, “Mereka tidak dapat melihat saya dengan salah, demikian juga saya terhadap mereka.” Di belakang pemikiran tersebut ada keyakinan bahwa wujud kita yang benar dan rohaniah dapat terlihat di sini dan sekarang juga dan tidak terasa mengancam atau terancam. Saya dibiarkan pergi setelah mengatakan bahwa Alkitab memberi kita hak untuk saling mengasihi sebagai anak-anak Allah.  

Kita selalu dapat lebih menekankan fakta bahwa kerohanian yang merupakan pembawaan kita adalah semua yang dapat terlihat dan diakui tentang diri kita sendiri maupun orang lain. Hukum Allah yang dinyatakan dalam Alkitab meyakinkan kita, “Yang sekarang ada dulu sudah ada, dan yang akan ada sudah lama ada; dan Allah mencari yang sudah lalu” (Pengkhotbah 3:15). Kata-kata ini memiliki arti yang sangat kuat ketika kita menyadari bahwa semua itu merujuk kepada fakta bahwa hidup saat ini juga bersifat rohaniah sebagaimana dinyatakan dalam bab pertama kitab Kejadian. Laki-laki dan perempuan yang diciptakan Tuhan tidak memiliki satu pun unsur yang berlawan-lawanan atau bersifat konfrontatif, dan tidak ada unsur yang perlu diubah. Allah memelihara wujud kita yang rohaniah dan penyataannya serta pengakuannya yang benar. Setiap pengalaman penyembuhan dalam Ilmupengetahuan Kristen membuktikan, sampai taraf tertentu, bahwa identitas kita yang sejati tidak bisa berubah. 

Ada banyak ide yang kita pahami sebagai tidak bisa berubah atau diubah. Kebenaran rohaniah tidak berubah karena waktu, penindasan, atau ajaran yang keliru. Kebaikan dan kasih tetap bertahan meski semua hendak berusaha menghancurkannya. Dan, tentu saja, matematika diperintahi oleh hukum yang pasti. Dengan kepastian yang sama, kita dapat menantang asumsi bahwa kita pernah diciptakan kembali sebagai manusia fana untuk kemudian menderita karena cara kita diciptakan. Identitas kita yang dikaruniakan Tuhan selalu aman dan tetap seperti angka dalam hukum matematika.  

Dasar penyembuhan dalam Ilmupengetahuan Kristen ada dalam bergeser melampaui pandangan kebendaan tentang hidup untuk menemukan bahwa Allah adalah keseluruhan Hidup yang pernah ada atau akan ada.  

Di mana pun kita berada, dan apa pun yang telah kita lalui, faktanya adalah bahwa sesungguhnya kita adalah seperti apa yang diciptakan Allah, dan kita dapat menyatakan wujud kita sebagai yang diciptakan Allah. Ini bukan hanya hak kita yang terbesar, tetapi satu-satunya dasar yang langgeng untuk kemajuan yang sesungguhnya bagi umat manusia.   

Suatu kali, ketika bekerja di luar negeri, saya ditugaskan untuk bertemu dengan seorang ulama dari suatu masjid yang besar. Dia dikenal dan diakui untuk keberaniannya menentang kelompok radikal. Saya merasa ciut ketika mengetahui penugasan tersebut. Saya akan menjadi satu-satunya perempuan dan orang Kristen di antara banyak laki-laki Muslim, dan juga seorang warga negara Amerika di wilayah yang saat itu, cukup memusuhi Amerika.  

Saya diberi tahu bahwa pertemuan itu akan direkam dalam video, tetapi saya tidak pernah diberitahu maksud sesungguhnya dari pertemuan itu—meskipun saya tidak pernah merasakan adanya itikad buruk. (Saya menerka bahwa alasan pertemuan itu mungkin untuk memberi saya pandangan yang lebih jelas tentang Islam dan mereka berharap saya kemudian akan menyampaikan hal itu kepada orang lain.) Meskipun demikian, bagi saya sangatlah jelas, bahwa kebaikan yang sesungguhnya bisa dihasilkan pertemuan tersebut hanya bila persepsi kami tentang identitas masing-masing diluhurkan melampaui pandangan insani.  

Ketika saya mulai berdoa, kata-kata rasul Paulus datang di benak saya: “Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu” (Kolose 3:11). Saya tahu bahwa tidak menerima firman tersebut akan merugikan semua pihak. Sekali lagi, ini sama sekali bukan berarti tidak menghormati salah satu pihak, seperti juga menanggapi sifat-sifat yang dinyatakan seseorang—lebih dari menanggapi penampilan fisik seseorang—bukan berarti tidak menghormati orang itu. Dengan menghormati kebenaran yang abadi, yang berlaku bagi semua, dan yang bersifat rohaniah tentang diri kita, kita akan dapat melihat satu sama lain dengan jelas—tanpa dibebani sejarah insani.  

Pada suatu saat dalam pertemuan itu, saya tidak lagi berpikir tentang lingkungan fisik kami. (Dan saya percaya yang lainnya begitu juga, seperti ternyata dari video yang kemudian saya lihat.) Kekudusan telah mengangkat kami di atas sejarah, ras, tempat, jender, usia, kebangsaan. Apa yang saya alami dalam pertemuan hari itu tidak pernah pudar maknanya bagi saya. Hal itu memberi saya suatu kepastian yang tenang bahwa perbedaan yang dibuat manusia, kecurigaan, atau ketakutan bukanlah suatu harga mati.   

Mary Baker Eddy, penemu Ilmupengetahuan ilahi akan wujud seperti dinyatakan dalam Alkitab dan yang dipraktekkan sepenuhnya oleh Yesus, bekerja tanpa lelah untuk membuat jelas sifat palsu manusia fana dan identitas kita yang sebenarnya di dalam Kristus. Dia menulis dalam karya utamanya, Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, “Insafilah hal ini, hai manusia fana, dan berusahalah dengan sungguh-sungguh untuk mencapai keadaan rohaniah manusia, yang ada di luar segala keakuan yang kebendaan” (hlm. 476).  

Meskipun saat ini ada banyak tantangan besar, ciptaan Allah tidak berubah, seperti hukum matematika tidak berubah ketika seseorang, karena ketidaktahuan atau kesesatan, memberi jawaban yang salah. Tetapi untuk membetulkan jawaban itu, kita harus kembali kepada hukum-hukum yang memerintahi matematika. Demikian juga, kita perlu kembali kepada dasar yang satu tentang identitas: “Kristus adalah semua, dan di dalam segala sesuatu.” Tidaklah terlalu awal, atau meminta terlalu banyak, untuk mengandalkan kebenaran yang menyelamatkan ini. Bagaimanapun juga, sejak zaman Alkitab, kebenaran ini telah dipraktekkan. Dan kitapun dapat mempraktekkannya juga. 

Sangatlah menghibur untuk mengetahui bahwa kita selalu memiliki lebih dari usaha kita sendiri untuk membantu kita. Kita memiliki Kebenaran itu sendiri, yakni Allah. Dengan rendah hati dan dengan berani berpegang pada dasar yang rohaniah, kita mendapati bahwa pengelompokkan kebendaan mulai meluangkan tempat bagi keindahan, keindividuilan, dan nilai kita yang dikaruniakan Allah. Seperti yang dinyatakan Ny. Eddy dengan begitu meyakinkan, “Kebenaran, yang menantang kesesatan atau zat, ialah Ilmupengetahuan, yang menghilangkan paham yang palsu dan memimpin manusia ke dalam paham yang benar akan ke-aku-an dan Ketuhanan; dan dalam paham itu, yang fana tidak mengadakan yang baka, demikian juga yang kebendaan tidak mengadakan yang rohaniah, melainkan di sanalah kelihatan keadaan hakiki laki-laki dan perempuan dalam kecemerlangan wujud abadi dan kesempurnaannya, dan keadaan itu tidak berubah dan tidak dapat diubah-ubah” (Kesatuan Kebaikan, hlm. 42–43).

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.