Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Menggunakan hak kita untuk berpikir secara rohaniah

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 29 September 2021


“Saya takut kehilangan hak-hak saya!” Seorang teman menyayangkan berbagai peraturan, kebijakan, dan undang-undang yang dipertimbangkan, atau diberlakukan, untuk mengelola penyebaran virus corona. Para pimpinan perusahaan, pegawai pemerintah, dan otoritas kesehatan—berdasarkan penilaian mereka tentang cara menangani suatu pandemi—telah menyarankan atau mengharuskan pembatasan sosial, penggunaan masker, vaksinasi, karantina, pemeriksaan terhadap penyakit, dan banyak lagi. 

Kebanyakan orang bersedia bekerja sama dengan upaya-upaya untuk menjaga kesehatan dan keamanan semua orang. Tetapi beberapa orang, seperti teman saya, khawatir bahwa peraturan yang semakin ketat akan mengancam kebebasan bergerak, pemerintahan sendiri atas tubuh, dan kebebasan memilih perawatan kesehatan, jauh ke masa depan. 

Dalam doa saya sendiri untuk mendukung kesejahteraan masyarakat dan mempertahankan kedaulatan atas hidup serta tubuh saya, saya mendapat bimbingan dengan mengingat bahwa kita memiliki hak rohaniah yang tidak dapat diganggu-gugat di bawah pemerintahan Allah. Mary Baker Eddy, Penemu dan Pendiri Ilmupengetahuan Kristen, menjelaskan, “Allah telah mengaruniakan kepada manusia hak-hak yang tidak pernah dapat dilepaskannya, dan di antaranya adalah pemerintahan diri sendiri, akal budi, dan hati nurani” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, hlm. 106). Pemerintahan diri sendiri, akal budi, dan hati nurani bukanlah harta manusia yang bersifat sementara yang tunduk kepada aturan-aturan masyarakat, kebijakan perusahaan, atau undang-undang negara. Karena berasal dari Allah, hak-hak tersebut tidak bisa dikenai sanksi insani. Semua itu diberlakukan oleh keputusan ilahi dan selamanya menjadi milik kita untuk kita gunakan dan nikmati. 

Kehidupan Yesus Kristus adalah teladan yang tertinggi akan bagaimana karunia ini digunakan. Diilhami Allah, Yesus menolak godaan untuk melihat dirinya sendiri—atau orang lain—sebagai wujud yang ringkih yang kebebasannya dapat disangkal atau dirampas. Menghadapi kesewenang-wenangan penyakit, misalnya, Yesus tidak menerima bahwa penderitaan tidak dapat dihindari, atau mencari cara untuk mengelolanya. Yesus menyembuhkan penyakit dengan menegaskan hak manusia akan kesehatan di bawah penjagaan Allah. 

Menghadapi ketidakadilan, Juruselamat tidak menggunakan cara-cara hukum, politik, atau militer untuk mempertahankan diri. Yesus menemukan keamanannya dalam mempercayai Allah, yang adalah kebaikan dan Kasih, dan di saat yang sama, dia menggunakan haknya yang kudus untuk memaafkan alih-alih membenci, memberkati alih-alih menyalahkan dan membalas kebencian dengan kasih. Tidak membiarkan pelecehan dan penindasan dunia menggelapkan pikirannya, Yesus menyuarakan kebenaran kepada ketidaktahuan dan menguasai kejahatan dengan kuasa Allah, Kebenaran dan Kasih yang tidak berhingga, dan terkadang bahkan membuat orang yang berdebat menentang penalaran rohaniahnya berpihak kepadanya. 

Bahkan ketika menghadapi siasat-siasat licik dan keji untuk membunuhnya—melalui manuver-manuver politik, jebakan-jebakan teologis, dan pengadilan yang curang—Yesus menanggapi semua itu dengan pengetahuannya yang dalam tentang Allah. Ketika Petrus menggunakan kekuatan senjata untuk melindungi gurunya dari tentara yang datang untuk menangkapnya, Yesus memerintahkan, “Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya” (Mat. 26:52). Dan ketika orang banyak ingin menjadikannya raja, sepertinya agar Yesus memimpin perlawanan terhadap Roma, dia menolak upaya-upaya untuk menciptakan kepemimpinan serta pengendalian perorangan itu (lihat Yoh. 6:15).  

Dalam kesempatan lain yang sangat menarik, petinggi Romawi Pilatus dengan tidak sabar melontarkan ancaman kepada Yesus, “Tidakkah Engkau tahu, bahwa aku berkuasa untuk membebaskan Engkau, dan berkuasa juga untuk menyalibkan Engkau?” (Yoh. 19:10). Sang Guru tidak gentar. Dia menyadari bahwa hak yang melekat kepadanya adalah karunia Allah—tidak tunduk kepada kemauan Pilatus melainkan dipertahankan oleh Bapanya, Tuhan langit dan bumi. Pemahaman ini memberinya ketenangan dan keberanian untuk menjawab, “Engkau tidak mempunyai kuasa apa pun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas” (Yoh. 19:11). 

Yesus disalib, tetapi dia tidak kalah. Dia memahami bahwa musuh sesungguhnya terhadap kebebasan serta keadilan adalah mentalitas fana, yang kemudian diidentifikasi dalam Alkitab sebagai budi yang kedagingan (lihat Roma 8:6, 7). Penanggapan fana ini menyatakan diri sebagai kebencian, prasangka, sifat mementingkan diri sendiri, ketamakan, gila kekuasaan, dan ketakutan. Menggunakan kuasa Allah—dan menegaskan hak istimewanya untuk bernalar, hidup, dan mengasihi di bawah penguasaan Allah—Yesus melenyapkan maksud jahat itu dan keluar dari kubur hidup-hidup. 

Sekarang ini kita diberi kesempatan untuk menggunakan hak ilahi kita di bawah hukum Allah, terutama ketika kekhawatiran massal tentang penularan menjadikan keputusasaan, rasa tertekan, dan ketakutan akan masa depan, seakan normal. Tetapi kejahatan bukanlah kekuatan yang seakan dimilikinya. Setiap tuntutan budi fana akan kuasa dan kendali adalah buatan kesia-siaan serta ketidaktahuannya sendiri, tidak pernah merupakan kebenaran yang didukung kesejatian rohaniah. Yesus berkata tentang iblis (nama lain untuk budi yang kedagingan), bahwa “di dalam dia tidak ada kebenaran,” dan menambahkan, “Apabila ia berkata dusta, itu sesuai dengan wataknya; sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta” (Yoh. 8:44, menurut Alkitab bahasa Inggris). 

Meskipun kita dapat sangat tergoda untuk merasa takut atau putus asa saat menghadapi pengaruh-pengaruh yang menekan pikiran serta tindakan kita, sejatinya hanya ada satu Allah, satu kuasa, yang memerintahi semuanya. Ilmupengetahuan Kristen menjelaskan: “Asas yakni Allah hadir di mana-mana dan mahakuasa. Di mana juapun Allah ada, dan di samping Dia tidak ada sesuatu yang hadir atau berkuasa” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm.473 ). Allah memelihara ciptaanNya dalam kesehatan, kebebasan, dan kesetaraan yang abadi. Di dalam Kerajaan Allah tidak ada budi yang menghancurkan atau tujuan gelap untuk menguasai kita. 

Ilmupengetahuan Kristen mengidentifikasi penampakan kejahatan yang bekerja dalam pengalaman insani sebagai akibat dari magnetisme hewani—kepercayaan bahwa suatu kekuatan yang berlawanan dengan Allah, Budi yang tidak berhingga, ada untuk berbuat jahat melalui sarana serta keadaan kebendaan. Kepercayaan yang menghipnotis ini bukanlah sesuatu untuk ditakuti, melainkan suatu dusta untuk diketahui, disingkapkan, dan ditolak, sebagai kesesatan yang adalah dirinya yang sebenarnya. Semua kemalangan—penularan massal, kekurangan, rasa sakit, kediktatoran, diskriminasi, ketidakadilan, ketakutan—adalah gejala-gejala magnetisme hewani. Bagi pikiran yang memahami kemahakuasaan Allah, hal-hal tersebut dibuktikan tidak berkuasa. 

Allah telah mengaruniai setiap orang dengan hak ilahi yang tidak dapat dilepaskan untuk hidup sehat, kuat dan bebas. 

Dalam mengajar para muridnya agar waspada terhadap dusta magnetisme hewani yang sewenang-wenang, Yesus menasehatkan kita agar “cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati” (Mat. 10:16 ). Ular melambangkan penalaran kebendaan jenis apa saja yang menyangkal kemahakuasaan Allah. Misalnya, saran fana menganggap virus sejati dan membuat rencana untuk mengelolanya. Penjelasan dan penegasannya mungkin terdengar meyakinkan bagi pemikiran kebendaan. Tetapi semua itu timbul dari logika insani semata-mata, yang berbelit-belit dan akan menjadikan pikiran bingung dan percaya kepada suatu kekuasaan di samping Allah. Jika tidak dilawan secara rohaniah, penalaran kebendaan ini dapat membuat orang yang mempercayainya merasa tidak berdaya, putus asa, sakit, dan takut. 

Tetapi kita tidak perlu menderita! Allah telah mengaruniai setiap orang dengan hak-hak rohaniah yang tidak pernah dapat dilepaskan untuk hidup sehat, kuat, dan bebas. Pengaturan Allah tentang pemerintahan diri sendiri, akal budi, dan hati nurani—dan juga setiap hak lain yang bersifat ilahi—memberi setiap orang di antara kita kemampuan untuk tetap tenang di tengah kekacauan, pengendalian diri dalam menghadapi agresi, kesehatan di hadapan penyakit, dan pengetahuan saat menghadapi ketidaktahuan atau itikad buruk. 

Jika merasa diserang oleh sudut pandang yang kebendaan, kita dapat mempertahankan ketenangan dan penguasaan dengan cara menjadikan apa yang kita dengar dan lihat tidak bersifat pribadi, dan memahami bahwa tantangan yang utama selalu bukanlah orang, lembaga, atau badan usaha, melainkan magnetisme hewani yang menyatakan memiliki kuasanya sendiri. Jika kita menyadari kemahakuasaan Allah, maka tuntutan magnetisme hewani ditolak dan dijadikan tidak bisa mencederai. Ancaman hilang, ketakutan lenyap, rasa tersinggung menguap, kesehatan dipertahankan, dan kedamaian pikiran tetap terjaga. 

Sebagai anak-anak Allah, setiap orang di antara kita memiliki hak yang dikaruniakan Allah untuk berpikir dan bernalar secara rohaniah. Menghadapi yang kita persepsikan sebagai tantangan terhadap kebebasan, termasuk kekhawatiran akan kebijakan pemerintah, kita dapat menanganinya tanpa takut dengan pengertian yang dalam akan kemahakuasaan dan kemahahadiran Allah. Kita dapat mendengarkan bimbingan Allah, bernalar dengan kebenaran rohaniah, dan bertindak dengan nurani yang diilhami Kasih melalui cara-cara yang mendatangkan kesembuhan. Kita dapat menggunakan hak kita yang asli untuk melihat bahwa Allah memegang kendali, dan percaya bahwa Kebenaran dan Kasih yang baka selalu memiliki keputusan terakhir—dan sesungguhnya satu-satunya keputusan yang ada.

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.