Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Suatu pandangan baru tentang keadaan normal

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 28 Mei 2021

sentinel, edisi 19 APRIL 2021 


Kita menginginkan kepastian di dalam hidup kita. Oleh karena itu lumrah kalau kita mendengar orang berkata dengan gentar tentang suatu keadaan “normal baru.” Baik ini timbul karena ketidaksabaran untuk kembali kepada keadaan “normal” atau suatu kekhawatiran bahwa tidak mungkin kembali kepada keadaan “normal” yang lama, kita perlu bertanya, Apakah sesungguhnya keadaan “normal” itu? Dapatkah ada suatu keadaan “normal” yang pasti dan secara konsisten bersifat baik?  

Mary Baker Eddy, dalam karya-karya rintisannya tentang kerohanian serta penyembuhan, mengetengahkan apa yang oleh beberapa orang dianggap sebagai pandangan yang agak bersifat tidak konvensional tentang sifat ajeg atau konsisten. Pencarian kata normal dalam karya tulisnya yang luas menunjukkan berbagai konsep yang tampaknya beliau anggap sebagai fakta yang mendasar dalam kehidupan: Kesehatan adalah normal. Keselarasan adalah normal. Kebaikan adalah normal. (Lihat, misalnya, Miscellaneous Writings 1883–1896, hlm. 200.) 

Memandang keadaan di sekeliling kita dan melihat berita yang beredar, orang mungkin tidak sampai kepada  kesimpulan yang sama. Sesungguhnya, di dalam kehidupannya sendiri, Ny. Eddy menghadapi berbagai penyakit, kehilangan, serta kesulitan. Namun demikian, dia belajar untuk tidak memandang pengalaman-pengalaman tersebut dengan kepasrahan, melainkan dengan suatu keyakinan rohaniah bahwa kesehatan, keselarasan, serta kebaikan, sesungguhnya adalah normal, wajar, dan tidak terhindarkan. Keyakinan ini didasarkan pada suatu pemahaman bahwa kebaikan merupakan definisi untuk Allah. Ia menulis bahwa Allah adalah Asas ilahi—kebaikan yang konsisten, universal, tidak berubah—dan bahwa identitas setiap orang di antara kita bersifat rohaniah, diciptakan dalam gambar Allah, seperti dinyatakan dalam Alkitab. Memahami bahwa Asas hanyalah bersifat baik dan merupakan satu-satunya sebab, maka kesimpulannya adalah bahwa semua yang berasal dari Asas haruslah baik dan kebaikan itu haruslah merupakan satu-satunya kesejatian. Jika kebaikan yang tidak berubah adalah satu-satunya fakta akan wujud, dan kita masing-masing sesungguhnya bersifat rohaniah, maka penyakit, ketidakselarasan, kecelakaan, dan ketidakadilan tidak memiliki tempat dalam ciptaan rohaniah ini. Inilah  keadaan “normal baru” untuk kita perhitungkan!  

Mengakui serta memahami Allah, kemudian hidup dalam ketaatan kepada Asas ilahi, merubah kita secara total. Hal itu membawa harapan serta kesembuhan. Penanggapan kita tentang apa yang normal bergeser—bukan dari yang moderat kepada yang ekstrim atau dari yang buruk kepada yang lebih buruk, tetapi dari pandangan bahwa kebaikan itu tidak pasti kepada sudut pandang bahwa kebaikan itu sejati, aman, dan dapat dipergantungi.  Kita diperbaharui setiap hari, tetapi kebaharuan ini tidak bergejolak atau mengganggu melainkan membawa kedamaian dan kestabilan kepada kehidupan kita. 

Kesehatan adalah normal. Keselarasan adalah normal. Kebaikan adalah normal.  

Yesus Kristus mendorong para pendengarnya untuk memiliki pandangan yang baru tentang keadaan normal. Banyak di antara orang yang disembuhkannya, orang-orang yang bisa saja berserah untuk hidup dengan rasa sakit atau ketidakmampuan (suatu normal baru yang sangat tidak diinginkan), mendapati bahwa mereka tidak hanya utuh secara fisik, tetapi hati mereka dibangunkan dan diangkat. 

Yesus mendorong orang untuk tidak lagi puas dengan menjalani hidup untuk diri sendiri saja, hanya bekerja keras untuk hidup saja. Dalam kata-kata seorang pengikut ajaran Yesus, Rasul Paulus, “Jangan biarkan dunia sekelilingmu merubahmu sesuai cetakannya sendiri” (terjemahan bebas dari Roma 12:2, J.B. Phillips, The New Testament in Modern English). Kata-kata serta teladan Yesus menantang para pengikutnya, termasuk kita, supaya “saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu,” dan “Sembuhkanlah orang sakit; bangkitkanlah orang mati; tahirkanlah orang kusta; usirlah setan-setan. Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma” (Yohanes 15:12; Matius 10:8).

Kasih ini menghadapi ujian yang seberat-beratnya ketika Yesus bersedia menghadapi dan mengalahkan penyaliban. Kebangkitannya dari maut memutarbalikkan konsep dunia tentang keadaan normal. Hal itu menempatkan murid-muridnya di jalan yang baru. “Kebangkitannya,” tulis Ny. Eddy, “adalah kebangkitan mereka juga. Hal itu membantu mereka mengangkat dirinya sendiri serta orang lain dari kelambanan rohaniah serta kepercayaan buta tentang Allah, menjadi sadar akan kemungkinan yang tidak berhingga” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, hlm. 34).

Kebangkitan Yesus memerlukan waktu tiga hari. Para muridnya memerlukan waktu lebih lama. Yesus bertemu dengan mereka beberapa kali dalam kurun waktu berhari-hari sesudah kebangkitannya. Yesus menghibur mereka, menasihati mereka. Meskipun begitu, Petrus kelihatannya masih belum yakin benar akan kemampuannya sendiri untuk meneruskan pekerjaan Yesus. Dia kembali lagi kepada kebiasaan normal yang lama—dia pergi menjala ikan. Tetapi Kristus tidak membiarkannya mengalami kurang dari kebangkitan penuh dari “kelambanan rohaniah serta kepercayaan buta.” Yesus yang telah bangkit terus menasihati Petrus sampai dia bersedia menerima pandangan yang sepenuhnya baru tentang hidup, suatu keadaan “normal” yang sepenuhnya baru, dan peran barunya dalam berbagi penyembuhan Kristus dengan dunia. “Apakah engkau mengasihiku?” Yesus bertanya kepadanya. Ketika Petrus mengiyakan, Yesus berkata, “Berilah makan kepada domba-dombaku” (terjemahan bebas dari Yohanes 21:17, 18, Eugene Peterson, The Message). 

Ketika kita bangun menyadari kesejatian bahwa Hidup dan Kasih adalah Allah, kita menemukan kelangsungan serta kestabilan suatu keadaan normal yang sesungguhnya, yang diciptakan Allah, tepat di sini bersama kita, sama sekali tidak terputuskan, tidak peduli apa yang seakan terjadi di sekeliling kita. Kita semakin memahami bagaimana kita dapat mengalami keadaan normal—bukan keadaan normal yang “kembali kepada keadaan kebendaan kita yang terjadwal secara teratur” melainkan keadaan normal yang bersifat rohaniah yakni mengalami dan menyatakan Kasih ilahi yang selalu hadir dan meliputi semuanya, dan bebas dari diri. 

 Linda Kohler, Penulis Tamu untuk Kolom Editorial 

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.