Berdoa tentang berbagai tantangan, termasuk perang, benar-benar bermanfaat.
Suatu cerita yang mengesankan tentang penghentian perang antara dua negara mengandung pelajaran yang menarik untuk masa sekarang ini. Dalam cerita ini, yang tertulis di Alkitab dalam Kitab Raja-raja yang Kedua, ditunjukkan bahwa setiap orang—baik yang menindas maupun yang ditindas—dikelilingi oleh tentara Allah berupa “kuda dan kereta yang berapi” (lihat bab 6:8-23). Wahyu rohaniah ini, yang diberitakan oleh nabi Elisa, merupakan jaminan keselamatan bagi semua, karena sebelumnya Elisa telah melihat bahwa wahyu rohaniah telah mendatangkan penyelesaian (lihat 2 Raja-raja 2:12).
Dalam Kitab Perjanjian Baru, Yesus Kristus membuktikan keselamatan lebih daripada orang lain, dengan mengakui bahwa hidup ada di dalam dan berasal dari Allah. Pengakuannya yang teguh bahwa semua wujud yang sejati ada di dalam Allah, mencakup akibat yang wajar berupa fakta, bahwa apa pun yang tidak menyerupai kebaikan Allah yang tidak berhingga, sesungguhnya tidak bisa merupakan kesejatian. Yesus membuktikan pengendalian Allah dalam peristiwa yang separah-parahnya dan dengan demikian meniadakan anggapan bahwa suatu keadaan tertentu dapat menghentikan kemahakuasaan Allah, Kasih ilahi. Pemahamannya tentang Allah menghancurkan kesesatan, kepercayaan bahwa Kasih bukanlah yang memegang kendali. Yesus melihat kesesatan ini bukan sebagai suatu kesejatian, atau bahkan suatu kuasa yang lebih kecil yang bersifat sementara, melainkan sebagai suatu tipuan yang secara keliru dipercayai.
Kalau kejahatan dan zat memiliki kesejatian, seperti yang dinyatakan kedua hal tersebut, Yesus tidak akan bisa berjalan dengan aman di antara mereka yang bermaksud menghancurkannya, memberi makan dan menyembuhkan orang banyak, atau membangkitkan orang mati, termasuk dirinya sendiri dari kubur.
Tidak terhitung banyaknya orang yang juga telah membuktikan konsep-konsep rohaniah ini—baik secara sederhana maupun dengan cara yang lebih dramatis—termasuk Penemu Ilmupengetahuan Kristen, Mary Baker Eddy. Dia menulis, “Tidak ada kesaksian di hadapan penanggapan kebendaan yang dapat menutup mata saya terhadap bukti yang ilmiah bahwa Allah, kebaikan, adalah di atas segala-galanya” (Miscellaneous Writings 1883–1896, hlm.277).
Ilmupengetahuan Kristen menjelaskan bahwa kesanggupan untuk mengenal Allah berasal dari Allah, dan pengenalan ini merupakan penanggapan rohaniah kita. Tidak ada gambaran kebendaan yang dapat mencegah kita untuk memahami atau mengalami apa yang diketahui penanggapan rohaniah kita. Tetapi yang pasti, gambaran kebendaan tidak dapat menahan pemikiran rohaniah.
Suatu fatamorgana di jalan menghilang karena itu adalah suatu ilusi, tidak pernah sedetik pun sejati. Demikian pula, suatu perubahan pikiran dari ketakutan menjadi ilham yang kudus, menunjukkan bahwa gambaran kebendaan apa pun bukan merupakan substansi yang menurutnya dimilikinya. Sudah jelas, bahwa “ukuran” fatamorgana, sama tidak sejatinya, seperti pernyataannya bahwa hal itu sejati.
Semua ini sangat berkaitan dengan bagaimana kita berdoa secara efektif tentang tantangan global. Hipnotisme tentang perang, kalau tidak dihadapi secara rohaniah dan berani, akan menyatakan telah berhasil menipu kita. Jadi kita dengan gigih mempertahankan pikiran kita agar tidak disusupi penanggapan apa pun akan ketidakberdayaan, kesia-siaan, atau kekalahan. Peperangan jenis ini—yakni menghancurkan secara mental setiap pernyataan yang berani menentang pengetahuan dan kesemestaan Allah—adalah satu-satunya cara untuk mengatasi konflik dan perang. Bahwa pendekatan seperti ini efektif sudah terbukti. Jadi keperluan kita adalah menggunakan cara yang paling berkuasa ini untuk menyelamatkan semua.
Jika tantangan-tantangan yang dihadapi seluruh dunia saat ini terlihat besar, hal itu tidak perlu menghentikan kita untuk berpikir jernih, tanpa takut, secara rohaniah. Ini terjadi dalam pengalaman seorang teman saya yang masih muda. Pria itu tinggal di negara yang diduduki sebuah negara tetangga beberapa tahun yang lalu. Ada saat-saat, ketika selama berminggu-minggu, pemboman hanya berhenti selama tidak lebih dari tiga atau empat jam. Di siang hari, teman saya membaca semua buku yang bisa dibacanya, mencari jawaban tentang makna hidup. Ketika malam tiba, dia mengisi waktunya berpikir secara medalam tentang ide-ide yang telah dibacanya. Setelah berminggu-minggu menjalani hidup seperti itu, pada suatu hari dia berhasil mengirim email kepada saya dan menulis, “Jika kita memiliki iman, dapatkah pada waktu yang sama kita gemetar ketakutan pada kegilaan ini? Maksud saya, saya harus secara harfiah mempercayakan diri saya kepada Allah. Saya tidak berpikir seperti ini untuk meyakinkan siapa pun. Tetapi dengan pikiran ini saya telah mulai merasa hidup.”
Kehancuran yang terjadi di sekeliling teman saya sangat parah sehingga suatu penanggapan akan hidup yang fana dan kebendaan mulai kehilangan maknanya. Seperti yang memang harus selalu terjadi, semakin ketidakselarasan seakan membesar, hal itu bukan benar-benar menjadi lebih sejati, melainkan malah mulai kehilangan keabsahannya. Di tengah-tengah semua kehancuran itu, ketika teman saya merasakan suatu penanggapan akan hidup yang tidak dapat dibendung, dia mengetahui bahwa perasaan tersebut hanya dapat datang dari Allah.
Ketika akhirnya gencatan senjata diumumkan, keesokan harinya teman saya pergi ke perpustakaan umum, tempat dia bekerja, untuk membantu membersihkan puing-puing. Dalam waktu kurang dari satu jam orang berdatangan bukan hanya untuk membantu, tetapi juga untuk melihat-lihat buku!
Dalam segala zaman, orang telah mengalami kepastian bahwa tidak ada yang dapat memisahkan mereka dari Allah, Kasih, Hidup. Dan kerena mereka tidak bisa dihalangi untuk merasakan kehadiran Allah, mereka mulai menerima bahwa kejahatan tidak mampu mengendalikan hidup mereka. Senada dengan hal ini, baru-baru ini saya mendengar suatu kesaksian yang disampaikan pada suatu pertemuan kesaksian Rabu sore (yang diadakan setiap minggu di gereja-gereja Ilmupengetahuan Kristen secara tatap muka dan kadang-kadang online) tentang seorang pria yang keyakinannya akan kesejatian Allah tumbuh, alih-alih berkurang, ketika dia bertugas di medan perang.
Dalam pengalaman saya saat ini dengan teman-teman yang tinggal di wilayah yang sedang mengalami perang, berkali-kali saya dipalingkan dari perasaan tidak berdaya kepada kepastian akan pengendalian Allah atas semua. Pemalingan tersebut bukan sesuatu yang dapat saya lakukan sendiri. Itu adalah Kristus, pesan surgawi tentang kebenaran dan kasih, yang meyakinkan saya akan kehadiran serta kuasa Kasih. Tidak mengherankan, bahwa teman-teman saya itu kemudian bercerita kepada saya tentang suplai, keamanan, kesempatan baru, dan bahkan saat-saat penuh kegembiraan, yang datang dengan tidak terduga.
Sangatlah menghibur mengetahui bahwa kita dipalingkan untuk merasakan kesatuan kita dengan Allah. Saya mengatakan kita “dipalingkan” karena kita tidak berpaling sendiri, melainkan diangkat oleh keselaluhadiran kuasa Kasih yang menyelamatkan. Seperti para nabi di Alkitab, kita dapat mengetahui bahwa Allah menyelamatkan semua. Allah itu tidak berubah, di sini dan sekarang juga, di mana pun kita ada, apa pun yang kita hadapi. “Allah beserta kita” semua, adalah satu-satunya Allah yang ada.