Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Apakah Allah membimbing kita dalam hal-hal yang berkaitan dengan perasaan hati?

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 9 Februari 2022

Aslinya diterbitkan di edisi Februari 2021 majalah The Christian Science Journal


Pernahkah anda bertanya-tanya apakah orang yang tepat yang akan mendampingi kita seumur hidup akan muncul? Bagaimanakah anda akan mengenali orang ini? Memang sudah pasti ada layanan perjodohan dengan daftar pertanyaan untuk mempertemukan orang-orang yang memiliki selera dan minat yang sama. Tetapi bagaimana anda tahu dalam hati anda bahwa orang itu jodoh yang tepat untuk anda?

Anda dapat mohon bimbingan Allah. Di iklim pergaulan sosial saat ini mungkin hal ini terdengar konyol. Ada suatu persepsi bahwa oleh permainan nasib beberapa orang ditakdirkan untuk mendapatkan kebahagiaan dan kepuasan, sedangkan yang lain, meskipun bukan karena kesalahan mereka, berakhir untuk hidup sendiri dan kesepian. Budaya populer juga hendak membuat kita percaya bahwa diperlukan belahan jiwa agar hidup kita lengkap. Tetapi daripada mengikuti pemahaman yang salah tersebut, kita dapat berpaling kepada Allah dan mendengarkan, melalui apa yang disebut Ilmupengetahuan Kristen sebagai “penanggapan rohaniah,” kepada apa yang diberitahukan Allah kepada perasaan hati kita.

Penanggapan rohaniah melihat sifat-sifat rohaniah, alih- alih penampakan lahiriah—sifat-sifat seperti kecerdasan, kebaikan hati, pengendalian diri, tidak mementingkan diri sendiri, sukacita, humor, dan terutama kasih kepada Allah. atau kebaikan. Dalam 1 Korintus 2:9, kita baca: “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.” Selanjutnya, surat Paulus berbunyi, “Kita tidak menerima roh dunia, tetapi roh yang berasal dari Allah, supaya kita tahu, apa yang dikaruniakan Allah kepada kita” (1 Korintus 2:12).

Alkitab menyatakan bahwa Allah adalah “kasih,” dan Ilmupengetahuan Kristen menggunakan kata-kata Kasih dan Allah sebagai sinonim. Akan sulit membayangkan Kasih ilahi bersifat tidak menentu dan tidak terduga, eksklusif alih-alih inklusif. Kita dapat mendengarkan intuisi rohaniah, atau pikiran-pikiran dari Kasih ini—yang pasti baik—untuk membimbing kita. Dan penanggapan rohaniah ini membantu kita untuk melihat bahwa kita sudah memiliki semua yang kita perlukan untuk menjalani kehidupan yang memuaskan.

Kita memiliki semua yang diperlukan karena Allah menciptakan setiap orang di antara kita dan menjaga kita. Ilmupengetahuan Kristen menjelaskan bahwa setiap orang berasal dan merupakan pernyataan, dari Allah, dan oleh karena itu kita masing-masing mencakup semua sifat serta kemampuan yang membuat kita lengkap. Kita membaca di buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, karangan Penemu dan Pendiri Ilmupengetahuan Kristen, Mary Baker Eddy: “… dalam wujud yang universil, ide-ide Allah lengkap sempurna dan senantiasa dinyatakan, karena Ilmupengetahuan memperlihatkan ketidakberhinggaan serta kebapaan dan keibuan Kasih” (hlm. 519).

Ketika masih duduk di bangku SMP dan SMU, saya tidak pernah berkencan. Tidak menghadiri pesta akhir SMP, tidak juga menghadiri pesta akhir SMU. Tetapi Ketika masuk Perguruan Tinggi dan mengambil jurusan musik, saya mulai paham bahwa anak laki-laki sebetulnya juga manusia, seperti saya. Saya mengetahui bahwa seorang mahasiswa baru yang bermain terompet sedang belajar mempersiapkan konser yang pernah dimainkan kakak laki-laki saya ketika di SMU. Saya sudah mengetahui musik pengiringnya oleh karena itu saya mengetuk pintu tempat dia berlatih dan menawarkan untuk memainkan bagian pianonya. Seorang gadis pemalu seperti saya, memerlukan keberanian untuk mengetuk pintu itu, tetapi itu merupakan langkah baru bagi saya untuk belajar berbagi. Sesudah siswa itu dan saya meragakan konser itu, saya mengiringi beberapa pemain terompet yang lain, salah satunya memiliki teman sekamar yang menjadi pacar saya yang pertama.

Bahkan sesudah itu, sesudah saya pindah ke salah satu dari sepuluh Perguruan Tinggi terbaik, kehidupan social saya masih terbatas. Saya mempunyai pacar-pacar lain, tetapi saya tahu saya belum siap untuk menikah.

Sesudah lulus dari Perguruan Tinggi, saya berkarir dan terlibat dalam kegiatan gereja cabang Ilmupengetahuan Kristen setempat. Saya sibuk dengan kegiatan saya dan secara lahir berhasil, tetapi saya sampai pada suatu titik di mana saya bertanya-tanya apakah saya akan pernah bertemu seseorang yang akan menikah dengan saya. Akhirnya saya memutuskan untuk berdoa mengenai hal tersebut.

Saya membuka buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan saya (yang saya pelajari bersama Alkitab) dan membuka- buka halaman di bab Daftar Istilah dengan Keterangannya. Di sana saya menemukan definisi metafisika untuk pengantin laki-laki, yang berbunyi: “Pengertian rohaniah; kesadaran yang murni, bahwa Allah, Asas ilahi, menciptakan manusia sebagai ide rohaniahNya sendiri, dan bahwa Allah adalah satu- satunya kekuasaan yang mencipta” (hlm. 582). Sejak saat itu, saya tahu bahwa pengertian rohaniah—suatu pemahaman yang lebih dalam tentang Allah—adalah apa yang sesungguhnya saya inginkan. Kilasan akan wawasan tersebut merupakan titik balik bagi saya, dan saya membuang sepenuhnya gagasan bahwa saya perlu menikah agar bisa bahagia.

Kita dapat mendengarkan intuisi atau pikiran dari Kasih ilahi, untuk membimbing kita.

Tidak lebih dari satu atau dua minggu sesudah mendapatkan pencerahan tersebut, seorang pria muda mulai datang ke gereja, dan kami menjadi teman baik. Saya juga berhubungan kembali dengan teman-teman sewaktu mahasiswa dengan menjawab kartu-kartu ucapan Natal yang sudah lebih dari satu tahun tidak saya tanggapi. Sekarang, kalau saya melihat kembali ke belakang, minggu-minggu itu adalah waktu ketika saya belajar mengasihi dan menjadi lebih pengasih.

Pertemanan saya dengan pria muda di gereja semakin akrab. Dan selama beberapa bulan kemudian, seorang teman lama dari organisasi Ilmupengetahuan Kristen di mana saya menjadi anggota ketika masih mahasiswa, yang telah pindah ke negara bagian lain dan setahun sekali menelpon untuk menanyakan kabar saya, Kembali untuk kunjungan singkat. Hampir pada waktu yang sama teman baru saya menyatakan cintanya kepada saya dan teman lama saya melamar saya.

Peristiwa yang tidak disangka-sangka ini membuat saya langsung berpaling kepada Alkitab untuk mendapatkan bimbingan, dan saya menemukan kisah tentang Ribka. Kejadian 24 menceritakan bagaimana Abraham mempercayai Allah untuk mendapatkan istri bagi anaknya, Ishak. Menurut ceritanya, Abraham mengirim hamba yang paling dipercayainya ke kota Nahor, dan hambanya itu bersandar kepada penanggapan rohaniah untuk membantunya memilihkan istri bagi Ishak. Kepercayaan Ribka kepada Allah begitu besar sehingga dia tidak memerlukan waktu untuk membuat keputusannya, dan dia bersedia pergi dengan segera dengan hamba itu.

Kisah Alkitab ini sangat berkesan bagi saya bukan hanya karena lamaran yang tidak disangka-sangka itu, tetapi juga karena menyangkut jarak yang begitu besar. Calon suami saya tinggal di Texas, dan saya di Wisconsin (sekitar 1.200 mil dari Texas). Pengalaman Ribka memberi saya keberanian untuk menempuh jarak tersebut guna menemuinya dan teman-temannya. Pernikahan itu berarti saya akan meninggalkan semuanya dan orang-orang yang saya kenal—saya akan pergi ke suatu tempat di mana saya benar-benar tidak mempunyai kenalan selain calon suami saya. Tetapi saya melakukannya, karena dalam hati saya tahu bahwa itu adalah bimbingan Allah.

Perjalanan saya ke Texas sama sekali tidak terasa tergesa-gesa atau melelahkan. Pada akhir minggu itu, yang berlangsung selama tiga hari, kami bertunangan dan telah menemukan sebuah rumah untuk dibeli. Saya pulang untuk menyiapkan segala sesuatu berkaitan dengan perubahan itu, dan beberapa bulan kemudian kami menikah. Teman baik saya berkata dia merasa bahwa hal seperti itu akan terjadi, dan dengan penuh kasih mendukung kami. Rasanya kami semua dalam hati tahu apa yang harus dilakukan.

Saat ini, suami saya dan saya telah menikah berpuluh- puluh tahun, dan kami mempunyai anak-anak dan cucu- cucu. Selama tahun-tahun itu saya terus belajar untuk lebih bersifat tidak mementingkan diri sendiri, berbagi, dan lebih mengasihi. Pertemanan yang kami nikmati, rasa saling menghargai yang semakin besar selama bertahun- tahun, dan tekad untuk menghadapi masalah hidup bersama-sama, lebih penting daripada perbedaan pendapat yang kadang-kadang terjadi. Kami mengasihi Allah lebih dahulu, lalu bimbingan penanggapan rohaniah kami mengambil alih dan hal-hal yang menakjubkan pun terjadi, yang tidak hanya bermanfaat bagi suami saya da saya tetapi juga keluarga kami dan orang lain.

Dan penanggapan rohaniah yang sama dari Allah yang telah membimbing saya adalah milik yang melekat pad anda juga, dan akan memberkati anda sama seperti hal itu memberkati saya dan keluarga saya.

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.