Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Mengapa Mengampuni

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 14 November 2022


Bapa kami yang di Surga, terpujilah nama-Mu; 
Datanglah kerajaanmu, dan jadilah kehendakmu di bumi seperti di Surga.
Berilah kami setiap hari makanan yang kami perlukan untuk hari itu,
Ampunilah kesalahan kami padamu,
seperti kami juga mengampuni mereka yang bersalah kepada kami.
Lepaskanlah kami dari pencobaan, dan selamatkanlah kami dari kejahatan.
—Matius 6:9–13, Versi J.B. Phillips

Sekelompok besar orang berkumpul di salah satu rumah di sebuah kota pelabuhan yang kecil. Telah tersebar berita bahwa seseorang sedang berbicara dan memberikan pesan yang benar-benar menyentuh hati. Apakah yang dibicarakannya sehingga menimbulkan gejolak yang begitu besar? Pertobatan, kelahiran kembali, dan pengampunan. Tidak hanya itu, dia juga menyembuhkan. 

Tentu saya, orang itu adalah Yesus dari Nazaret. Dan kota itu adalah Kapernaum, di pantai Laut Galilea.  

Di antara orang di Kapernaum yang ingin bertemu Yesus terdapat seorang yang menderita kelumpuhan berat sehingga harus ditandu oleh empat orang. Tetapi ketika sampai di rumah di mana Yesus berada, ada begitu banyak orang sehingga mereka tidak bisa mendekati Yesus. Mereka pasti sangat mengasihi teman mereka yang lumpuh itu dan tahu bahwa dia dapat disembuhkan jika saja mereka dapat membawanya kepada Yesus. Jadi mereka naik ke atap membawa tandunya, membuka beberapa atap dan menurunkan teman mereka melalui pembukaan itu.  

Setelah semua upaya itu, apa yang dikatakan Yesus kepada orang lumpuh itu? “Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni!” (Markus 2:5). Mengapa Yesus berkata demikian? Mengapa dia berbicara tentang pengampunan kepada orang yang ingin sekali disembuhkan dari lumpuhnya? Memang, Yesus juga menyembuhkan orang itu. Tetapi mengapa dia terlebih dahulu meyakinkannya bahwa ia sudah diampuni?

Yesus tidak menerima kesaksian pancaindra tetapi melihat melampaui apa yang terlihat di permukaan. Bagi Yesus, sesuatu yang sejati haruslah seperti bagaimana Allah menciptakannya. Allah mengatakan bahwa semua yang diciptakan-Nya baik, dan itu mencakup manusia (artinya semua laki-laki dan perempuan) sebagai gambar dan keserupaan Allah. Ketika seseorang datang kepadanya untuk disembuhkan, Yesus tidak melihat manusia fana yang menderita seperti yang dilihat semua orang lain. Yesus tidak pernah menerima pandangan seperti itu. Dia melihat setiap orang sepenuhnya baik, mencerminkan kesempurnaan Allah. Pandangan teologi zaman itu adalah, manusia lahir dalam dosa. Kalau Yesus menerima pandangan yang keliru ini, dia tidak akan dapat menyembuhkan.

Penyembuhan rohaniah dalam Ilmupengetahuan Kristen adalah akibat dari melihat manusia yang sempurna, yang juga merupakan dasar dari pengampunan yang hakiki.

Kalau begitu, mengapa mengampuni? Karena pengampunan perlu sekali untuk melihat secara rohaniah, untuk menyembuhkan dan menemukan pembaharuan. Alkitab menunjukkan bahwa dalam hal ini Yesus tidak mempunyai pilihan. Dia tahu bahwa Allah sudah mengampuni orang itu, dan Yesus tidak dapat memberi kesaksian palsu terhadap sesamanya. Memahami hal ini, kita dapat melihat perlunya pertobatan dan pengampunan setiap hari ketika kita melihat atau mengalami sesuatu yang tidak sesuai dengan ciptaan Allah yang sempurna.

Saya dibesarkan di Jerman ketika Hitler berkuasa. Selama perang, kegiatan Ilmupengetahuan Kristen dilarang di Jerman. Ayah saya, yang adalah seorang penyembuh Ilmupengetahuan Kristen dan aktif di kegiatan gereja, dimasukkan ke dalam penjara, kemudian dilepaskan dan dipaksa menjadi tentara. Ketika berumur sepuluh tahun, saya harus masuk organisasi Pemuda Hitler. Semua orang muda harus masuk. Demikianlah hukumnya. Tetapi setelah ayah dipenjara, saya menolak untuk mengambil bagian dalam pertemuan-pertemuan atau berurusan dengan organisasi tersebut. Sebagai akibatnya, pada tahun-tahun terakhir perang, saya berada di kamp kerja paksa.

Sesudah perang, ketika keluarga kami berkumpul kembali, saya perhatikan bahwa ayah sangat ramah terhadap salah satu tetangga yang dulu aktif sebagai anggota Nazi. Saya tidak bisa menerima sikap ayah dan memberitahunya. Seingat saya ayah bertanya apakah saya berpikir mempunyai hak untuk menentukan siapa yang pantas atau tidak pantas menjadi anak Allah. Dengan tegas ayah mengatakan kepada saya bahwa jika saya ingin memahami diri saya sebagai ciptaan Allah yang sempurna, saya harus melihat setiap orang seperti itu, tanpa kecuali. Saya harus mengampuni.

Saya ingat berkata kepada ayah, “Jadi ayah akan berkata kepada saya bahwa ayah mengampuni Hitler.” Ayah menjelaskan bahwa dia sama sekali tidak memaafkan terror yang terjadi di bawah pemerintahan Nazi, dan bahwa mereka yang bertanggungjawab harus dihukum. Tetapi itu tidak menghilangkan keperluan individual kita untuk mengampuni dan melihat setiap orang sebagaimana Allah melihatnya.

Kira-kira lebih dari 20 tahun kemudian saya memiliki keluarga sendiri. Saya dan istri memiliki tiga anak laki-laki dan ingin mengadopsi seorang anak perempuan. Prosedur adopsi tersebut memerlukan pemeriksaan psikologis terhadap istri saya dan saya. Sesudah pemeriksaan itu, psikolog mengatakan bahwa secara mengherankan saya hanya memiliki sedikit bekas luka mental dari pengalaman saya di masa perang. Mula-mula saya senang mendengarnya. Tetapi semakin saya merenungkan hal itu, semakin saya bertanya-tanya mengapa saya harus memiliki bekas luka.

Ketika memeriksa pikiran saya, saya sadar, bahwa sesudah bertahun-tahun, saya masih suka mendapat mimpi buruk tentang perang, dan kadang-kadang, saya membayangkan apa yang akan saya lakukan kepada salah satu penjaga kamp jika bertemu dengannya. Saya sadar bahwa pikiran-pikiran tersebut tidak rasional, dan saya memutuskan untuk berdoa dengan tulus dan sistematis agar bebas dari bekas luka mental yang masih tersisa. 

Doa saya terfokus pada dua hal. Yang pertama adalah upaya saya untuk melihat bahwa dalam kesejatian Allah, di dalam kerajaan-Nya, tidak pernah terjadi peperangan atau akibat-akibatnya. Biarlah saya jelaskan: Saya sadar bahwa perang yang saya alami sesungguhnya adalah bagian dari “mimpi akan kehidupan kebendaan,” seperti disebut di buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci (Mary Baker Eddy, hlm. 14). Dan suatu mimpi tidak bisa meninggalkan bekas luka pada kesejatian. Jika di malam hari saya bermimpi dikejar segerombolan gajah, sesudah bangun saya tidak akan mencari jejak-jejak kaki gajah di karpet kamar tidur saya. 

Jika saya ingin memahami diri saya sebagai ciptaan Allah yang sempurna, saya harus melihat setiap orang seperti itu, tanpa kecuali. Saya harus mengampuni.

Yang kedua, saya sekarang memiliki kematangan rohaniah untuk melihat perlunya mengampuni tanpa syarat. Saya tidak konsisten kalau mengatakan bahwa saya bebas dari akibat perang dan di saat yang sama memendam kebencian terhadap orang-orang yang terlibat dalam pengalaman perang. Mengampuni adalah prasyarat untuk terbebas dari bekas luka yang tersisa. Saya merenungkan doa Yesus bagi mereka yang menganiaya dan menyalibkannya: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34).

Mengampuni komandan kamp, para penjaga, dan banyak lagi yang lain ternyata lebih mudah daripada perkiraan saya. Menjadi jelas bagi saya bahwa semua orang yang terlibat telah memainkan peran yang menutupi identitas mereka yang sesungguhnya yang dikaruniakan Allah.

Saya ingat mempertanyakan seberapa tulus saya mengampuni. Setelah banyak berdoa, saya memutuskan bahwa sebagai ujian, saya bertanya kepada diri sendiri apakah saya dapat mengasihi orang-orang itu. Saya hampir terkejut ketika jawabannya adalah saya dapat mengasihi mereka. Saya melihat, bahwa sebagai anak Allah, setiap orang sepenuhnya layak untuk dikasihi.

Di dalam Doa Tuhan, Yesus mengajar para pengikutnya untuk berdoa: “Ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (Mat. 6:12). Di buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan, Mary Baker Eddy, yang menemukan Ilmupengetahuan Kristen, memberikan apa yang dipahaminya sebagai “makna rohaniah Doa Tuhan,” dan untuk kalimat tersebut dia memberikan tafsiran berikut: “Dan Kasih dicerminkan dalam kasih” (hlm. 16, 17). Di sini Kasih yang diawali dengan huruf besar adalah nama untuk Allah. Karena kita selalu dihibur dan dirangkul oleh Kasih ilahi ini, dan sebagai cerminan Allah kita tidak pernah terpisah dari Kasih ini, maka wajarlah bagi kita untuk secara aktif mencerminkan Kasih tersebut dan mengasihi setiap orang, tidak peduli bagaimana kita telah diperlakukan.

Ketika saya di kamp saya telah menerima cambukan yang kejam karena berbicara tidak pada giliran saya. Dokter kamp telah meramalkan bahwa bekas luka yang ditimbulkannya akan tetap seumur hidup saya. Karena bekas luka itu ada di punggung, saya tidak terlalu mengindahkannya. Karena itu saya sangat terkejut ketika pada suatu hari mendapati bahwa setelah menemukan kebebasan mental dari kebencian yang masih tersisa dan setelah dapat mengampuni dengan sepenuhnya, bekas-bekas luka fisik tersebut juga hilang sama sekali. Bekas-bekas luka itu sudah ada selama 20 tahun lebih. 

Saya menyadari bahwa saya tidak akan pernah mengalami kesempurnaan saya sendiri sebagai anak Allah jika saya memendam pikiran-pikiran yang penuh kebencian atau celaan terhadap siapa saja. Ibaratnya, jika saya menendang sesama keluar dari kerajaan Surga, saya akan jatuh keluar bersamanya.

Seringkali, yang menghambat kita dari mengasihi tanpa syarat adalah merasa benar sendiri. Saya berkali-kali sadar bahwa tidak selalu penting menegaskan bahwa kita yang benar. Kita jauh lebih diberkati dengan menyatakan dan mengasihi kebaikan yang ada pada orang lain.

Kadang-kadang, kita juga perlu memaafkan diri kita sendiri untuk kesalahan yang kita buat di masa lalu yang mungkin menjadi beban saat ini. Ini jauh lebih mudah jika kita ingat betapa besarnya kasih Allah yang maha-pengampun kepada kita. Hanya ada satu hal yang dapat kita lakukan terhadap suatu kesalahan, yakni memperbaikinya. Kesalahan diperbaiki satu persatu setiap kali. 

Adalah penting untuk benar-benar jujur dengan diri kita sendiri, dan mendeteksi serta menghadapi setiap pikiran atau perilaku berdosa atau sesat yang masih tersisa. Mengapa mempertahankan beban yang berlebih? Itu hanya memperlambat kita. Pengampunan Tuhan tidak melewatkan keperluan untuk membersihkan tindakan kita sendiri.

Ny. Eddy membuat pernyataan yang sangat kuat ini dalam pidato yang disampaikan di gerejanya pada tahun 1895: “Tanpa mengetahui dosa-dosanya, dan pertobatan yang begitu kuat sehingga menghancurkan dosa-dosa itu, tidak seorang pun adalah atau dapat menjadi seorang Ahli Ilmupengetahuan Kristen” (Miscellaneous Writings 1883—1896, hlm. 107).

Pertobatan adalah penting sekali. Begitu kita sudah sepenuhnya bertobat untuk suatu pikiran atau tindakan—artinya melihat apa hal itu sesungguhnya dan meninggalkannya—tidaklah produktif untuk menyalahkan diri sendiri dan terus mengingat-ingat suatu kesesatan. Begitu kita sudah bertobat untuk suatu kesesatan, kita mengalami pembaharuan. Kita diperbaharui untuk menyatakan apa yang sesungguhnya selalu merupakan diri kita. Dan kesesatan atau perilaku yang salah sesungguhnya tidak pernah merupakan bagian dari diri kita. 

Merujuk kepada zaman Yesus, Ny. Eddy menulis: "Seperti dahulu kala, sekarang pun tanda-tanda dan mujizat dilakukan dalam penyembuhan penyakit jasmaniah secara metafisis; tetapi tanda-tanda itu hanyalah untuk membuktikan asal ilahi penyembuhan ini – untuk menunjukkan kesejatian pengutusan yang lebih luhur akan kekuasaan Kristus, yaitu menghilangkan dosa dunia”  (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 150). Saya mendapati bahwa bermanfaat untuk berdoa setiap hari bagi diri saya sendiri dan mengetahui bahwa saya hanya bisa berpikir sebagaimana Allah membuat saya berpikir dan berbuat sebagaimana Allah menyebabkan saya berbuat. Apakah ini meliputi bagaimana saya berpikir tentang komunitas atau dunia? Betul sekali.

Dalam beberapa hal umat manusia seakan lumpuh seperti orang di Kapernaum itu. Suatu komitmen bersama untuk mengampuni akan menjangkau jauh menuju penghancuran perlawanan dunia terhadap solusi damai, dan kita semua akan menyaksikan kebebasan yang lebih besar

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.