“Engkaulah Allahku”! (Mazmur 143:10). Ketika membaca kalimat ini pada suatu hari, saya terkejut menyadari betapa dalam makna yang terlontar dari Alkitab. Mungkin saya telah membacanya berkali-kali dalam hidup saya dan telah diilhami dan dihibur oleh kalimat tersebut. Yang pasti saya mempercayainya dan menerimanya. Tetapi, kali ini berbeda. Saat itu saya mengetahui Allah sebagai Allah saya, pencipta alam semesta yang senantiasa hadir dan mahakuasa, dan karena itu pencipta saya, yang mengasihi saya, menjaga saya dengan lemah lembut, dan mengetahui siapa saya! Itu adalah suatu kedekatan dengan-Nya yang mencakup kehidupan abadi, kesehatan yang sempurna, dan kedamaian yang lengkap. Hal itu terasa seakan suatu tabir telah disisihkan, memberi suatu kilasan sementara akan keadaan surgawi yang dibicarakan Rasul Yohanes di Kitab Wahyu di mana dia melukiskan penglihatannya tentang langit yang baru dan bumi yang baru.
Dalam Ilmupengetahuan Kristen, kita belajar menyatakan perasaan akan kehadiran Allah ini melalui bahasa yang digunakan atau tersirat di Alkitab dan ditegaskan dalam buku ajar Ilmupengetahuan Kristen, Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci karangan Mary Baker Eddy. Secara khusus, Ny. Eddy merujuk kepada Allah sebagai “Asas; Budi; Jiwa; Roh; Hidup; Kebenaran; Kasih” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 587). Jadi, Allah bukanlah Wujud yang misterius, tidak dapat diketahui, dan jauh, tetapi dapat diidentifikasi dan diketahui dan senantiasa hadir. Mengetahui Allah melalui sinonim-sinonim untuk Allah ini membawa pencerahan tentang makna kehadiran Allah bagi kita. Kita melihat Asas termanifestasi sebagai hukum ilahi; Budi sebagai kecerdasan serta kearifan yang penuh kasih; Hidup sebagai kehidupan serta kegiatan abadi, tidak terbelenggu oleh keterbatasan kebendaan; dan sebagainya.
Namun, bahkan selagi kita berusaha memahami istilah-istilah untuk Allah tersebut, keinginan hati kita yang mendasar untuk mengenal Allah sebagaimana Yesus Kristus mengenal-Nya—sebagai Abba, atau Bapa—tidak berkurang. Yesus terus-menerus berkomunikasi dengan Allah, dan sangat mengasihi Bapa kita sehingga melakukan segala sesuatu untuk menyenangkan-Nya. Yesus mendedikasikan hidupnya untuk melayani Allah dan akhirnya menyerahkan hidupnya, menunjukkan bahwa kasihnya kepada Sang Bapa mencakup dan dimanifestasikan dalam kasih bagi sesama—sesungguhnya bagi seluruh umat manusia. Yesus demikian menyadari kesatuannya dengan Allah sehingga dia bisa melaksanakan pekerjaan yang diberikan oleh Sang Bapa untuk diselesaikan.
Mempelajari serta merenungkan secara mendalam ajaran-ajaran serta karya Yesus, menunjukkan bahwa misinya adalah untuk menunjukkan kesatuannya dengan Allah dan menjadi teladan untuk kita ikuti dalam setiap jalannya. Yesus tidak menetapkan suatu bentuk penyembahan yang bersifat ritual, melainkan mengajarkan kepada kita siapa Allah itu, dan bagaimana kita juga dapat mengetahui kesatuan kita sendiri dengan Allah dan berkenan kepada-Nya dengan melakukan pekerjaan penyembuhan yang dijanjikan Yesus dapat kita lakukan juga.
Saya memahami Allah sebagai Kasih yang tidak berhingga, senantiasa sadar akan setiap orang di antara anak-anak-Nya dan mengasihi mereka.
Bagaimanakah kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang Allah ini? Mempelajari Alkitab dalam terang Ilmupengetahuan dan Kesehatan mempersiapkan pikiran kita untuk mudah menerimanya. Tetapi upaya belajar saja tidak cukup untuk menunjukkan kedekatan Allah setiap saat. Sebagaimana mengolah tanah, mempersiapkannya untuk benih yang ditabur, pertumbuhan tanaman dicapai oleh sifat bawaan dari biji itu, dengan demikian keinginan untuk memahami Allah dengan lebih baik, dengan rendah hati menundukkan pikiran kepada yang ilahi, adalah suatu bentuk doa di mana kita menyerahkan suatu penanggapan yang terbatas tentang kehidupan untuk identitas rohaniah bawaan kita. Inilah Allah yang bekerja di dalam diri kita “baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya” (Filipi 2:13), dan dengan demikian kita menjadi sadar akan ciptaan Allah yang sempurna dan tempat kita yang unik dalam ciptaan itu.
Meskipun ilham sesaat yang saya peroleh ketika membaca “Engkaulah Allahku” itu hanya berlangsung beberapa waktu, selama hari-hari serta minggu-minggu berikutnya hal itu tidak pernah meninggalkan pikiran saya ketika saya merenungkan maknanya. Saya memahami bahwa Allah adalah Kasih yang tidak berhingga, senantiasa sadar akan setiap orang di antara anak-anakNya dan mengasihi mereka melampaui segala sesuatu yang dapat dilukiskan definisi insani semata, dan saya merasa sepenuhnya dirangkul dalam Kasih tersebut.
Pemahaman akan sifat ilahi ini dan rasa kedekatan dengan Kasih yang tetap ada dalam diri saya memunculkan pemahaman akan makna menjadi gambar dan keserupaan Allah, sebagaimana dijelaskan dalam bab pertama Kitab Kejadian. Ini bukan konsep yang abstrak, bukan semata idealisme insani, melainkan suatu pemahaman tentang Asas yang universal dan idenya, yang tersedia bagi siapa saja. Ini adalah kebenaran yang fundamental dan dapat dibuktikan tentang sifat kesejatian—meyakinkan, menghibur, dan praktis dalam segala segi kehidupan kita.
Saat yang merubah kehidupan seperti itu datang kepada kita masing-masing ketika kita berdoa untuk menerima apa yang selalu ditunjukkan Kristus kepada kita. Kita tidak dapat memaksakan atau mendapatkan semua itu melalui intelektualisme, doktrin, atau ajaran keagamaan. Semua itu datang di saat yang hening ketika konsep tentang ciptaan yang terbatas dan kebendaan menyerah kepada penanggapan ilahi atau rohaniah—“kesanggupan yang sadar dan tetap untuk memahami Allah” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 209), yang kita miliki.
Warren Berckmann, Penulis Tamu untuk kolom Editorial