Ada ungkapan lama, "Tuhan, kiranya kata-kata hamba hari ini terasa manis, karena esok hari mungkin hamba harus memakannya." Ini merupakan suatu nasehat yang baik, terutama di era Internet, ketika ucapan kita dapat beredar hampir secepat pikiran. Dan ucapan itu dapat memicu tindakan yang dramatis, bahkan terkadang berbahaya.
Ketika Terry Jones, pendeta The Dove World Outreach Center di Florida, menyelenggarakan aksi membakar Al Quran di bulan Maret, hasilnya adalah reaksi berantai yang penuh kekerasan. Di Afganistan, setelah terjadi protes selama empat hari, setidaknya 22 orang meninggal, termasuk tujuh pegawai Perserikatan Bangsa-Bangsa (“Terry Jones: How his Quran burning helps the Taliban," The Christian Science Monitor, 4 April 2011). Dan Afganistan bukan merupakan satu-satunya negara yang terkena dampak tindakan Terry Jones.
Jones pun tidak sendiri dalam pandangannya tentang Islam. Ketakutan dan kebencian terhadap orang Muslim semakin tumbuh di Amerika Serikat dan Eropa. Hal ini dipicu oleh rumor yang beredar di Internet dan ketidakmampuan orang untuk memisahkan kegiatan politik dari kepercayaan keagamaan. Demikian pula ketakutan serta kebencian orang Muslim terhadap orang Kristen, terutama di Timur Tengah, dikipasi oleh orang-orang yang ingin mengambil keuntungan politik dari keadaan tersebut. Yang sangat diperlukan adalah melucuti kebohongan tentang kebencian dan ketidaktahuan ini, dengan cara mengangkat pikiran kepada keluarga Allah yang lebih luas, di mana sejarah kebendaan dengan penalarannya tentang kebencian, ketidaktahuan, dan kekejaman yang belum tersembuhkan—ketergantungannya kepada manipulasi politik, dan seluruh pemikiran fana—tidak mempunyai tempat. Penalaran seperti itu sangat merugikan semua penganut agama serta kepercayaan dan menghalangi umat manusia untuk melakukan kerja sama yang memberkati dunia yang sangat memerlukan penyembuhan.
Membuktikan kesatuan kita sebagai keluarga Allah memerlukan keberanian moral dan rohaniah dari semua pihak—bukan hanya orang Kristen dan Muslim, melainkan orang Yahudi dan kelompok lainnya juga. Memahami bahwa kasih Allah mencakup semua orang, bahkan orang yang tindakannya mungkin kita benci, membantu menguatkan pemahaman ini dan mengangkat pikiran kita kepada doa dan rasa kasih sayang.
Godaan untuk memecah-belah demi kepentingan politik atau bahkan hanya sebagai komentar sekilas dalam suatu pembicaraan, dapat terasa menarik. Godaan tersebut dapat ditiadakan dengan pertanyaan berikut: "Akankah saya mengatakan hal ini mengenai saudara saya dalam keluarga Allah?" Mengajukan pertanyaan itu dalam hati saat membaca berita atau mendengarkan pembicaraan orang, membantu kita untuk lebih menujukan pikiran ke arah penyembuhan.
Alkitab memberikan banyak contoh tentang perubahan pikiran ini. Mungkin yang paling menakjubkan dialami orang yang sekarang dikenal sebagai Paulus, yang semula dengan keji memusuhi orang Kristen. Perubahan yang dialaminya dalam perjalanan ke Damaskus menunjukkan kuasa Kristus yang luar biasa—menunjukkan kasih Allah kepada semua laki-laki dan perempuan ciptaanNya, dan kebaikan yang dapat mereka lakukan jika berjalan di jalan yang benar.
Setelah mengalami perubahannya itu, Paulus melakukan perjalanan ke seluruh wilayah Romawi. Dalam perjalanan itu, Paulus bertemu dengan orang-orang yang menganut kepercayaan-kepercayaan lain, dan menasehatkan kepada gereja-gereja Kristen yang masih muda bagaimana menghadapi keadaan seperti itu. Meskipun terkadang tulisannya sangat blak-blakan, dia mengikuti ajaran Yesus, dan tidak pernah menganjurkan untuk menggunakan kebencian atau pemusnahan sebagai jalan keluar. Malahan dia menulis, "Kasih itu sabar, kasih itu ramah…. Kasih tidak menyukai kejahatan melainkan bersukacita dalam kebenaran…. Kasih tidak pernah gagal" (1 Kor. 13:4, 6, 8, New International Version).
Di zaman di mana kelihatannya kesabaran sulit didapat, kita tidak selalu bersedia untuk bersiteguh dalam doa. Meskipun demikian keteguhan untuk melihat apa yang benar—yakni, bahwa Allah yang satu memerintahi semua orang setiap waktu—telah membantu Paulus mengatasi berbagai cobaan. Bahkan pada akhir hidupnya, keyakinannya akan kebenaran tersebut tidak goyah. Dia berusaha agar pikirannya terus tertuju kepada Allah yang satu, yang mempersatukan semua bangsa.
Memelihara pandangan ini dalam keluarga, masyarakat, gereja, dan tempat ibadah lainnya merupakan suatu disiplin rohaniah yang penting untuk menyembuhkan masalah yang lebih luas di negara kita dan akhirnya di dunia kita. “Kasihilah Musuh-Musuhmu," suatu esai dalam karya tulis Mary Baker Eddy, Miscellaneous Writings 1883–1896, menyatakan: “Kasih bukan memenuhi rasa keadilan insani melainkan rakhmat ilahi…. Kita harus mengasihi musuh-musuh kita dengan seluruh penyataan yang kita gunakan dalam dan untuk mengasihi teman-teman kita; kita bahkan harus berusaha untuk tidak menyingkapkan kesalahan mereka, melainkan berbuat baik kepada mereka setiap ada kesempatan" (hlm. 11). Dalam pekerjaannya sebagai penemu dan pendiri Ilmupengetahuan Kristen, Ny. Eddy memiliki banyak kesempatan untuk mempraktekkan hal tersebut, dan dia melakukannya tanpa takut dan dengan baik.
Hukum ilahi Kasih yang dibuktikan Ny. Eddy, dapat dibuktikan oleh semua orang, bukan hanya oleh orang Kristen, dan hukum itu dapat menyembuhkan setiap aspek pengalaman insani. Itulah hukum yang mempertahankan bumi dalam orbitnya, namun juga membimbing anak yang hilang pulang. Orang-orang yang menjadi pengikut Ny. Eddy, ditakdirkan untuk menjadi penyembuh di dalam kehidupan mereka sendiri dan di dunia. Pandangan rohaniah dan kasih mereka dapat meniadakan apa pun yang memecah-belah umat manusia dalam kubu-kubu yang berlawanan. Dengan menolak godaan untuk membenci, mereka membantu menurunkan kebencian dari takhtanya di dunia ini. Dengan menegaskan kuasa Kasih ilahi yang tidak dapat gagal, mereka bergabung dengan Kristus dalam menyelamatkan dunia.