Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Hipnotisme. Allah tidak pernah manyarankan hal seperti itu

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 20 Oktober 2014

Aslinya diterbitkan di edisi 30 Juni 1997 majalah Christian Science Sentinel


Beberapa waktu yang lalu saya menyaksikan beberapa menit terakhir dari sebuah iklan di mana seorang pria mengatakan bahwa hipnotisme merupakan suatu cara yang menakjubkan untuk memecahkan masalah. Dia mengatakan bahwa hipnotisme bukan hanya suatu cara yang bagus untuk membantu orang berhenti merokok atau menurunkan berat badan, tetapi juga cara untuk membangun harga diri, bahkan untuk mengatasi rasa sakit. Pesan yang disampaikan adalah, bahwa hipnotisme merupakan kunci untuk mengendalikan pikiran dan tubuh.

Dengan anggapan bahwa ada pemirsa yang tidak percaya, khususnya mengenai pengendalian tubuh,  dia memberikan demonstrasi. Pembawa acara itu membelah sebuah lemon dan memeras airnya ke mulutnya. Kemudian kamera ditujukan ke muka si pembawa acara untuk memperlihatkan mukanya mengerut seperti yang dilakukan orang pada umumnya jika meneguk sesuatu yang asam. Dia memberikan sugesti bahwa para pemirsa di rumah akan memberikan reaksi yang serupa—mulut mereka akan berair disertai dengan mengerutnya bibir—meskipun tidak ada buah lemon yang menyentuh tubuh mereka. Bukti apa lagi yang diperlukan, untuk menunjukkan bahwa tubuh kita dipengaruhi oleh pikiran kita, begitulah argumentasinya. Jadi yang hanya kita perlukan untuk menjadi lebih sehat dan lebih bahagia, demikian dia menyimpulkan, adalah agar kita bersedia menerima semua kemungkinan yang ditawarkan hipnotisme.

Kita bisa dengan mudah mengatakan, “Ah, mengapa diributkan? Itu hanya sekedar hiburan!” Tetapi penghipnotis itu tidak melakukannya untuk sekedar hiburan.  Dia tidak menghadap ke kamera dan berkata, “Hai para pemirsa, saya hanya bercanda. Untuk masalah ini, anda tentu tidak benar-benar  ingin dikendalikan oleh saya ataupun orang lain. Anda harus bisa mengendalikan apa yang anda pikirkan.” Alih-alih, dia menyarankan justru yang sebaliknya. Komentarnya sebagai penutup ditujukan untuk meyakinkan pemirsa bahwa hipnotisme dapat membantu siapa saja—pada dasarnya mengatakan bahwa adalah baik untuk membiarkan orang lain mengatur pikiran kita.

Tentu saja, menjadi lebih sehat dan lebih bahagia dan meningkatkan kehidupan kita adalah tujuan hidup yang patut dimiliki. Pertanyaannya adalah, apakah hipnotisme merupakan cara untuk mencapai tujuan tersebut? Apakah hipnotisme suatu cara yang benar untuk mencapai sesuatu tujuan, apa pun itu? Orang yang dengan tegas ingin memerintahi pikirannya sendiri—meskipun terkadang hal itu terasa sulit—akan menjawab tidak, dan tidak akan mau dibujuk oleh penalaran apa pun. Mereka akan menolak untuk menyerahkan pengendalian yang sadar atas diri mereka sehingga dapat dimanipulasi secara mental.

Ada juga alasan penting untuk menolak hipnotisme dengan tegas. Ada hukum yang melarangnya! Dan Allah-lah pembuat hukumnya. Secara naluri, kita tanggap terhadap hukum Allah karena, seperti tertulis di Alkitab, hukum itu tertulis dalam budi dan hati kita. "Aku akan menaruh hukum-Ku dalam akal budi mereka," demikian firman Tuhan, "dan menuliskannya dalam hati mereka, maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku" (Ibr. 8:10). Hukum ilahi ini menjadikan kita mampu menyadari bahwa Allah adalah Semua, dan bahwa kita  sepenuhnya adalah milikNya; bahwa kita adalah anak-anakNya dan harus tunduk kepada pemerintahanNya.

Nah, mungkin sekarang Firman yang pertama dari Sepuluh Firman Allah terlintas dalam pikiran kita—“Jangan ada padamu allah lain di hadapanKu” (Kel. 20:3). Hukum Allah ini menyatakan dengan sangat jelas bahwa pencipta manusia dan alam semesta tidak pernah berniat menyerahkan pemerintahan atas anak-anakNya, bahkan untuk sesaat pun, kepada budi insani atau budi yang dianggap mampu menghasilkan kebaikan. Alih-alih demikian Firman ini mengingatkan kita bahwa Allah selamanya tetap satu-satunya Budi yang maha-baik, maha-bijaksana, maha-bekerja. Oleh karena itu kita bisa hanya memiliki dan menyembah Budi yang ilahi.

Kemampuan untuk mengendalikan diri kita sendiri sepenuhnya dan dengan selaras merupakan akibat dari memiliki serta menyembah satu Budi saja—jadi akibat dari mengasihi kebaikan dan melakukan kebaikan; menjauhi materialisme dan menolak pikiran jahat. Inilah cara pengendalian diri yang benar, cara yang secara wajar kita lakukan saat berdoa dan membiarkan Kebenaran dan Kasih ilahi semakin banyak menetap di dalam pikiran kita. "Manusia hanya memerintahi diri sendiri dengan betul bila ia dipimpin dengan benar serta diperintahi oleh Khaliknya, Kebenaran dan Kasih ilahi," tulis Mary Baker Eddy, pengarang buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci (hlm. 106).

Namun demikian, jika tidak waspada, kita akhirnya kurang berpikir tentang Allah dan tidak melihat bahwa pandangan yang bersifat duniawi mengenai berbagai hal—kebalikan dari apa yang diciptakan serta diperintahi yang Ilahi—menina-bobokan kita, menghipnotis kita. Pandangan yang materialistis ini merupakan gambaran yang terbalik mengenai kesejatian. Menganggap bahwa Allah tidaklah semua dan bahwa kejahatan merupakan fakta hidup, memberikan sugesti bahwa hal-hal yang buruk akan terjadi; bahwa pada dasarnya kita adalah wujud jasmaniah, oleh karena itu Allah dan doa kita tidak banyak memberi hasil. Sebelum kita sadari, kita merasa tidak mempunyai pilihan selain menyerahkan kendali atas kesehatan serta kebahagian kita.

Dalam hal ini, sekali lagi doa—berpegang kepada hukum ilahi—menjaga agar kita tidak tersesat. Kita memulihkan pengendalian diri dan memeliharanya, manakala memahami bahwa Allah adalah kebaikan yang tidak berhingga dan senantiasa hadir, sehingga kejahatan tidak bisa memiliki kuasa atau kesejatian; dan bahwa kita sesungguhnya bukan wujud-wujud kedagingan, karena manusia adalah gambar Allah, Roh, bukan zat. Berpikiran rohaniah merupakan hal yang wajar bagi kita. Doa ini benar-benar membuat hidup kita berbeda, jauh berbeda. Hal itu membuat kita bersesuaian dengan sifat ilahi dan hukum keselarasan. Ini merupakan pemikiran yang benar-benar mendatangkan perubahan dan penyembuhan bagi kita.

Oleh karena itu, manakala ada sugesti bahwa hidup kita dapat ditingkatkan oleh hipnotisme, atau bahwa kita tidak dapat menghindar untuk menyerah kepada suatu pengaruh selain Allah, kebaikan, ingatlah bahwa itu hanya sugesti, dan Allah tidak pernah memberi sugesti seperti itu. Alih-alih demikian, pengaruh ilahi yang bekerja di dalam budi dan hati kita mengingatkan kita, “Jangan ada padamu allah lain di hadapan hadiratKu.”

Russ Gerber

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.