Saat itu tengah malam, dan saya sedang dalam penerbangan jarak jauh, ketika pilot mengumumkan, “Penumpang yang terhormat, kita baru saja melewati titik di mana kita tidak bisa kembali. Sekarang kita terbang ke tempat tujuan. Kita tidak akan—dan untuk alasan apa pun—tidak bisa kembali ke bandara di mana kita tinggal landas.”
Waktu itu saya tidak tahu bahwa kejadian kecil tersebut mengajarkan sesuatu yang akan sangat bermanfaat bagi saya beberapa waktu kemudian. Saya telah menjadi pelajar Ilmupengetahuan Kristen yang tekun. Sesudah itu, selama beberapa tahun, keluarga kami menghadapi berbagai tantangan, termasuk penyakit yang membuat kita tidak berdaya dan dianggap tidak bisa disembuhkan, cedera berat, radang paru-paru. Tetapi, dengan berdoa berdasar apa yang saya pelajari tentang Allah—kebaikanNya, kemahakuasaanNya, dan kasihNya yang tidak terbendung bagi anak-anakNya—setiap tantangan dapat diatasi. Selain itu saya mengikuti kelas penataran Pertama dalam Ilmupengetahuan Kristen, dan tidak lama kemudian membantu orang lain membuktikan kuasa doa dalam menyembuhkan. Waktu itu saya siap membaktikan hidup saya untuk menjadi penyembuh Ilmupengetahuan Kristen purna waktu.
Pada saat yang bersamaan, saya mulai mengalami rasa sakit yang tajam di tubuh saya bagian dalam. Rasa sakit tersebut mulai sering datang, setiap kali lebih parah daripada sebelumnya. Sebelumnya, saya merasakan ketidaknyamanan, tetapi tidak separah itu. Suatu hari, saat mengendarai mobil sewaan kurang lebih seribu mil dari rumah, saya mendapat serangan rasa sakit yang hebat, dan harus minggir dan berhenti. Saya sangat ketakutan ketika pikiran-pikiran tentang penyakit yang “berbahaya” dan “mematikan” menguasai pikiran saya. Saya ingat sempat berpikir, “Saya membaktikan diri untuk menyembuhkan orang lain, tetapi saya tidak dapat menyembuhkan diri sendiri. Saya telah cukup banyak memahami Allah dan tidak mungkin meninggalkan pemahaman tersebut, tetapi apakah saya cukup paham untuk menghadapi masalah ini?”
Nah, di tengah ketakutan yang hendak membelenggu itu, saya ingat kejadian di pesawat yang saya ceriterakan sebelumnya. Pengumuman bahwa “tidak ada titik balik” sungguh merupakan kabar yang baik bagi saya yang sedang menempuh perjalanan tersebut. Saya merasa bahagia dan aman. Saya merenungkan mengapa saat itu saya tidak takut—karena saya sangat menginginkan sampai ke tempat tujuan dan percaya bahwa Allah akan membimbing kami ke sana. Saya ingat saat itu berpikir bahwa hanya penumpang yang ingin kembali yang terlihat sedikit khawatir.
Merasa terhibur, saya berpikir, “Ini tidak berbeda.” Sekarang pun saya dapat merasa bahagia dan aman, melihat ke depan dan bergantung kepada doa untuk membawa saya kepada kesehatan dan kebebasan. Saya ingat kisah dalam Alkitab yang menceriterakan saat bani Israel sampai ke tempat di mana “tidak ada titik balik”—di depan mereka terdapat Laut Merah yang bergelora, di belakang mereka terdapat musuh yang mengejar (lihat Kel. bab 14). Apa yang dilakukan Musa, pemimpin mereka? Dia berpaling kepada Allah. Dan sesuai perintahNya, mereka terus maju. Ketika mereka melakukan hal tersebut, air laut membelah, dan setiap langkah maju mereka dilindungi Allah. Hal ini meyakinkan saya bahwa Allah akan melakukan hal yang sama atas keadaan yang saya hadapi.
Saat itu, pikiran saya kembali berada di pihak Allah. Saya kembali melihat ke depan. Kasih Allah bagi saya lebih berharga dari pada ketakutan serta rasa sakit yang digabungkan. Saya merasa aman.
Rasa sakit itu berhenti, dan saya meneruskan perjalanan saya (hotel saya sekitar 100 mil dari tempat itu), sementara itu saya berusaha sebaik-baiknya untuk menempatkan setiap pikiran saya di pihak Allah. Saya terbantu dengan memikirkan dua hal. Pertama, kisah saat Yesus dicobai Iblis di padang belantara (lihat Mat 4:1-11). Hal itu terjadi tepat saat Yesus mulai dengan misi penyembuhan yang ditugaskan Allah kepadanya. Dengan gigih Yesus menolak untuk menjadi pendengar—menjadi mitra atau jembatan—bagi setiap saran yang diajukan Iblis. Yesus tetap berpegang kepada apa yang diketahuinya tentang Allah, dan terus bertahan sampai Iblis kehabisan saran untuk menggoda, dan meninggalkannya.
Saya juga berpikir tentang penghiburan Yesus kepada ke-tujuhpuluh muridnya ketika mereka kembali penuh kegembiraan atas penyembuhan yang mulai mereka lakukan (lihat Lukas 10:17-19, versi King James). Yesus berkata kepada mereka: “Sesungguhnya Aku telah memberikan kuasa kepada kamu untuk menginjak ular dan kalajengking dan kuasa untuk menahan kekuatan musuh, sehingga tidak ada yang dapat membahayakan kamu.” Saya sadar bahwa Yesus bukan mengatakan bahwa ular dan kalajengking (yang bisa dianggap sebagai saran-saran halus bahwa Allah tidak mahakuasa), tidak akan mencoba membahayakan kita, melainkan tidak dapat membahayakan kita. Kata-kata Yesus itu meyakinkan saya akan kuasa yang dikaruniakan Allah kepada saya dan bahwa kejahatan tidak berkuasa.
Saat itu saya melihat bahwa rasa sakit serta ketakutan yang seakan membentuk keadaan saya, hanyalah sumpah-serapah ganda si pendusta (yang oleh Yesus disebut si jahat), yang mencoba menyangkal tekad saya mencapai tujuan dan Tuhan saya—menyangkal kebaikan serta kehadiranNya. Saya juga melihat dengan jelas, bahwa tepat di tengah perjuangan saya, Allah hadir dengan kepedulian serta kuasaNya. Tuhan telah menunjukkan kepada saya bahwa dalam perjalanan kita menuju kepada Allah “tidak ada titik balik” merupakan tempat yang sangat aman.
Sore itu saya memeriksa dengan saksama pengalaman tersebut. Saya mencatat tiga hal di buku catatan di dekat telepon:
- Hari itu setiap kejadian yang mencoba mengalangi kemajuan saya hanya mendorong kamajuan saya. Saya bahkan menjadi lebih kuat sekarang.
- Tepat di mana “si pendusta,” yang berkedok rasa sakit dan ketakutan berteriak, “Menyeramkan,” kasih Allah yang tidak terbendung menunjukkan bahwa saya aman.
- Ketika ada bisikan yang mengatakan, “saya tidak bisa menolong orang lain—saya tidak bisa menolong diri sendiri,” hukum akan Kasih ilahi telah menunjukkan kepada saya bahwa Allah bertanggung-jawab atas misi saya, dan saya hanya tanggap terhadap Allah saja.
Ini semua terjadi bertahun-tahun yang lalu. Rasa sakit itu tidak pernah kembali. Saya tetap bersuka-cita atas pelajaran yang sangat berharga yang saya petik dari pengalaman ini.
WESTPORT, CONNECTICUT, AS