Ketika berpikir tentang kerajinanatau sifat rajin, yang terlintas di pikiran Anda mungkin dedikasi, ketekunan, kemantapan, kegigihan. Ini semua berkaitan dengan sifat pantang menyerah, terus berusaha dan meraih tujuan. Yang menarik adalah, kata kerajinan (deligence) berasal dari dua akar kata yang berarti “mengasihi” dan “memilih.” Ketika anda menyukai sesuatu, bukankah wajar untuk memilih hal tersebut, memberikan kepadanya semua yang kita memiliki dan menikmati setiap detik kita melakukan hal tersebut?
Seperti itulah Ilmupengetahuan Kristen bagi saya. Ketika saya memperoleh sekelumit saja pandangan mengenai kasih Allah yang begitu besar bagi anak-anakNya—dan benar-benar merasakannya—maka mengasihi dan memilih untuk mempraktekkan Ilmupengetahuan yang telah menunjukkan hal tersebut kepada saya, sangatlah wajar. Sejak awal saya mempelajari Ilmupengetahun tentang Kristus ini, saya belajar bahwa kasih Allah senantiasa hadir dan mahakuasa—manis, kuat dan cukup untuk memenuhi setiap kebutuhan manusia. Kepastian itulah yang memicu komitmen awal saya. Selanjutnya saya menyaksikan kepastian akan kasih Allah dalam penyembuhan—dari cedera tulang belakang, penyakit anak-anak yang membahayakan, dan depresi yang berat.
Jadi tidaklah mengherankan kalau saya mencintai Ilmupengetahuan ini, dan tanpa ragu-ragu memilihnya sebagai jalan hidup saya, dan saya menjadi pelajar yang rajin—penuh keingin-tahuan, tekun dan jujur dalam hidup dan mempraktekkannya secara konsisten, seperti yang diajarkan Yesus Kristus. Saat saya melakukan hal tersebut saya semakin rajin dan kepercayaan diri saya kepada Allah semakin berkembang. Keluarga kami mengalami banyak kesembuhan, dan saya juga mulai membantu orang lain melalui doa.
Tetapi kemudian saya mengalami kesulitan fisik—rasa sakit di tubuh bagian dalam, yang datang berulang kali, setiap kali semakin parah, dan tidak sembuh-sembuh juga. Saya berdoa dan terus berdoa. Minggu-minggu berlalu tetapi kesembuhan tidak juga datang. Saya tergoda untuk “melemparkan handuk” dalam hal “berdoa” dan minum obat saja.
Saat itulah saya belajar betapa kuatnya sifat rajin itu, dan mengapa demikian. Karena Allah yang sama, yang mula-mula memperlihatkan kepada saya sekelumit akan kasihNya yang besar, juga mendorong saya untuk memberikan komitmen kepada hal tersebut. Dan ketika iman saya pada kuasa Allah untuk menyembuhkan diuji, Allah menunjukkan bagaimana mempertahankan iman itu. Allah tidak pernah berputus-asa mengenai diri saya.
Beginilah ceriteranya. Suatu malam setelah mengalami gejala yang sangat menakutkan, saya merasa sangat lelah dan kecil hati. Sepertinya semakin “kuat” saya berdoa, rasa sakit itu semakin hebat. Saya tidak dapat tidur, oleh karena itu saya bangun dan pergi ke meja kerja saya. Sambil menjatuhkan diri di kursi, dengan putus asa saya berkata “berapa lama lagi, Tuhan?” Concord, sebuah program komputer yang memberikan kemudahan dalam mengakses bagian-bagian Alkitab dan karya tulis Mary Baker Eddy, terpampang di layar komputer saya. Saya memasukkan kata-kata tadi ke dalam kotak pencarian dan melakukan penelusuran. Saya terkejut ketika 21 kutipan dari Alkitab muncul. Beberapa tokoh Alkitab yang saya kenal bertanya kepada Allah berapa lama lagi Dia akan melihat saja atau “murka” atau melupakan umat manusia, dst. Empat ayat dengan lugas berbunyi: “Berapa lama lagi, Tuhan?” Untuk beberapa saat saya merasa terhibur karena mengetahui bahwa saya bukanlah satu-satunya orang yang mengajukan pertanyaan seperti itu.
Salah satu kutipan yang terlihat di layar komputer terasa sebagai suatu pertanyaan dari Allah yang “ditujukan kembali kepada si penanya.” “Hai pemalas, berapa lama lagi engkau berbaring?” demikian bunyinya (Amsal 6:9). Nah, saya merasa bahwa selama itu saya sudah sangat rajin, tanpa pernah bermalas-malasan dan saya tidak suka dikatakan sebagai pemalas. Walaupun demikian, saya juga merasa bahwa ini adalah pesan lembut yang datang dari Allah, dan saya perlu mencermatinya. Saat saya melakukannya, dua hal muncul dengan jelas dan terasa manis dalam pikiran saya.
Yang pertama terasa “hangat dan lembut”—suatu janji Alkitab yang saya sukai: “Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia” (Ibrani 11:6). Saya benar-benar merasa telah melakukan kedua hal tersebut, yaitu mengetahui dengan seluruh bagian dari wujud saya bahwa Allah ada, di sini, saat ini juga, dan bahwa Dia baik dan adalah Semua, dan saya percaya bahwa Dia akan menjawab doa saya dan menyembuhkan saya. Jadi apalagi yang perlu saya lakukan? Ini merupakan permohonan yang jujur dan dijawab langsung oleh Kasih, dengan membawa saya kembali ke bagian kedua dari Amsal yang saya sebutkan di atas.
Saya dituntun untuk berpikir lebih dalam mengenai pertanyaan: “Berapa lama lagi engkau berbaring?”
“Berbaring?” saya bertanya. Bukan saja saya tidak berbaring secara fisik tetapi saya juga merasa tidak berbaring secara mental. Selama ini saya dengan konsisten menyangkal setiap argumen yang datang (bahwa saya adalah segumpal zat, tunduk kepada kondisi kebendaan, diperintah oleh hukum kebendaan), dan menggantinya dengan fakta rohaniah yang merupakan kebalikannya, bahwa saya tidak bersifat kebendaan. Saya bersifat rohaniah, lengkap, dan kesempurnaan yang utuh adalah hukum bagi wujud saya.
Tetapi setelah berpikir dengan saksama mengenai doa-doa saya selama beberapa minggu itu, saya mulai melihat bahwa saya memulai doa saya dengan masalah—bukti kebendaan yang saya rasakan, dan kemudian melemparkan berbagai kebenaran kepada bukti kebendaan itu.
Sekarang saya melihat bahwa saya perlu memulai doa saya dengan Allah—dengan jalan keluarnya. Saya perlu memusatkan perhatian kepada kesemestaan Allah, satu-satu yang ada. Maka doa saya akan penuh suka cita atas kesempurnaan saya saat ini sebagai gambar Allah. Jika saya mulai dengan Allah dan tetap bersamaNya maka seluruh kesadaran saya akan tetap tinggal di dalam Dia. Dan hal itu membawa saya kembali kepada bagian akhir dari janji yang hangat dan lembut yang saya sukai: “... bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia.” Bukan hanya mereka yang mencari kesembuhan—tetapi juga mereka yang berusaha untuk hanya mengetahui kebaikanNya yang tidak terbatas, kemahakuasaanNya, di sini dan sekarang juga.
Saat berdoa malam itu, saya mengarahkan perhatian saya untuk mencari Dia (Kebenaran demi Kebenaran itu sendiri, Kasih demi Kasih itu sendiri, dan Hidup demi Hidup itu sendiri). Beberapa wawasan yang saya dapatkan malam itu telah dimuat dalam suatu kesaksian di majalah Sentinel (lihat “God’s law of love ends internal pain—Hukum Allah akan kasih mengakhiri rasa sakit di tubuh bagian dalam,” ChristianScience Sentinel, 27 November 2006). Saya melihat bahwa tidak ada sesuatu pun yang terpisah dari Allah, dan dengan itu datang kesadaran bahwa tidak ada sesuatu yang negatif yang dapat bertahan dan perlu disembuhkan. Saya melihat sekelumit kesemestaan Allah. Hal itu sangat menakjubkan—bukan proses yang melelahkan tetapi kesempatan manis untuk tetap berpegang kepada Kebenaran. Saya merasakan kedamaian batin yang mendalam dan kemudian tertidur. Rasa sakit pun hilang.
Malam itu saya belajar mengetahui bahwa sifat rajin berasal dari Allah. Karena alasan itulah maka kerajinan itu kokoh. Dia yang mula-mula menunjukkan kasihNya kepada saya tidak akan membiarkan saya berhenti mengasihi Dia.