Ketika menjadi Pembaca Pertama di sebuah gereja cabang Ilmupengetahuan Kristen, pada suatu hari saya sakit pilek, tetapi saya membiarkannya dan tidak berdoa untuk mengatasinya. Tiba-tiba pada hari Jumat penyakit itu menjadi sangat parah sehingga saya merasa tidak yakin dapat membaca pada hari Minggu.
Kemudian saya menghubungi seorang penyembuh Ilmupengetahuan Kristen untuk berdoa bersama saya mengatasi keadaan tersebut. Penyembuh itu menjelaskan bahwa kami tidak akan berupaya memperbaiki suatu keadaan fisik melainkan bersama-sama berusaha mengalami lebih banyak kesejatian rohaniah. Bagi saya itu berarti saya harus lebih banyak memikirkan kebenaran wujud—pemahaman yang bersifat rohaniah dan ilmiah akan ciptaan Allah yang selaras dan tidak bercela—daripada memikirkan gejala penyakit itu. Saya dapat merenungkan banyak sekali ide yang menyembuhkan karena topik untuk Pelajaran Alkitab minggu itu adalah “Allah Satu-satunya Sebab dan Pencipta.”
Sementara itu di saat yang sama, saya telah mendoa dengan tekun mengenai identitas saya, dan mohon kepada Allah untuk menunjukkan bagaimana saya dapat melayaniNya dengan sebaik-baiknya dan menjadi pengaruh yang menyembuhkan bagi dunia. Penyembuh menganjurkan saya untuk merenungkan pernyataan Mary Baker Eddy dalam buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan ini: “Dengan ketaatan yang sabar kepada Allah yang sabar, marilah kita bekerja untuk dengan alat pelarut yang universil, yaitu Kasih, melarutkan batu keras kesesatan — kemauan diri sendiri, pembenaran diri sendiri, dan cinta diri — yang berperang melawan kerohanian dan merupakan hukum dosa dan maut.” (hlm. 242).
Saya sadar bahwa saya harus mengesampingkan ketakutan, kekhawatiran, perencanaan, dan ambisi saya dan berserah kepada suatu penanggapan yang lebih luhur akan rencana Kasih ilahi yang selaras, yang hari demi hari berkembang di hadapan setiap orang di antara. Pada hari Saptu malam, saya banyak berpegang kepada pemikiran tersebut. Keesokan harinya, saya sangat heran karena ketika bangun merasa nyaman dan segar, walaupun malam itu saya hanya tidur tiga jam. Meskipun demikian, saya masih merasa ada yang menyumbat di tenggorokan saya. Walaupun sulit untuk berbicara dengan jelas, pagi itu saya merasa harus melaksanakan tugas saya memimpin kebaktian hari Minggu.
Saya terus berdoa untuk berserah kepada tujuan Kasih yang lebih luhur bagi saya dan seluruh ciptaan—suatu doa yang indah yang mendatangkan ketenangan dan kedamaian bagi saya. Ketika memulai kebaktian, semua orang dapat melihat bahwa suara saya belum pulih 100%. Saya memutuskan untuk menujukan perhatian saya kepada pesan yang mengilhami yang disampaikan Khotbah Pelajaran minggu itu, bukan kepada suara saya. Ketika melakukan hal tersebut, saya merasakan kasih Allah secara lebih nyata. Diam-diam saya juga bersyukur untuk doa yang dipanjatkan semua orang yang hadir di kebaktian pagi itu.
Ketika nyanyian solo disajikan, terjadi sesuatu yang menakjubkan! Saya sama sekali hanyut dalam pesan rohaniah yang disampaikan nyanyian tersebut sehingga tidak sadar bahwa musik yang mengiringinya dimainkan dengan cara yang tidak saya sukai. Biasanya, dalam hati saya akan mengomel mengenai apa yang saya anggap musik yang kolot. Alih-alih demikian, saya menikmati pesan yang disampaikan dengan sangat indah oleh penyanyi solo. Ketika dia menyanyikan, “Bagaikan burung sesarang, / Bersama menyanyi” (Mary Baker Eddy, Poems, hlm. 6), saya berpikir mengenai sesama anggota gereja sebagai burung sesarang yang pagi itu datang berkumpul untuk merayakan penyembuhan Kristiani serta pemahaman yang lebih jelas akan kehadiran Kasih di dalam kehidupan kita.
Ketika nyanyian solo berakhir, saat saya berdiri untuk membaca Khotbah Pelajaran, Pembaca Kedua terlihat sangat tersentuh karena telah terjadi perubahan yang dramatis dalam suara saya. Saya telah sembuh dan dapat membaca dengan keras dan jelas.