Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Segala keperluan manusia?

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 1 Februari 2013

Diterjemahkan dari Christian Science Sentinel, edisi 19 November 2012


“Kasih ilahi senantiasa telah memenuhi dan selalu akan memenuhi segala keperluan manusia.” Pernyataan dari buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci karangan Mary Baker Eddy tersebut (hlm. 494) adalah salah satu favorit saya. Saya telah mengenalnya sejak kecil (pernyataan tersebut terpampang di dinding gereja yang saya hadiri pertama kali), dan dengan memikirkan pernyataan tersebut saya sering terhibur saat menghadapi berbagai situasi.

Namun, suatu hari, saya mendengar pernyataan tersebut dibacakan dalam suatu kebaktian gereja dan saya tersentak. “Apa sesungguhnya maksud pernyataan itu?” saya bertanya-tanya. Keperluan manusia tampaknya begitu banyak dan sangat beragam. Bagaimana mungkin ada jaminan bahwa semuanya akan dipenuhi?

Lalu tiba-tiba saya sadar akan sesuatu yang sebelumnya belum pernah saya lihat dengan jelas. Sesungguhnya, dalam kesejatian Roh tidak ada keperluan! Dalam buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan, Ny. Eddy memberikan definisi berikut tentang Allah: “AKULAH AKU yang agung; yang maha mengetahui, maha melihat, maha bekerja, mahabijaksana, maha pengasih, dan abadi; Asas; Budi; Jiwa; Roh; Hidup; Kebenaran; Kasih; segala substansi; kecerdasan” (hlm. 587).

Jika Allah benar-benar maha mengetahui, maha melihat, maha bekerja, mahabijaksana, maha pengasih, bagaimana mungkin ada keperluan yang tidak dipenuhi? Kalaupun ada hal yang demikian, bukankah itu memutar-balikkan seluruh definisi mengenai Ketuhanan yang sama sekali baik dan maha mengetahui? Di dalam Allah yang sempurna, persediaan dan permintaan haruslah senantiasa seimbang dengan sempurna. Bahkan sebelum ada keperluan, pastilah sudah ada persediaannya (karena itu kita dapat mempercayai janji yang menakjubkan dalam kitab Yesaya 65:24: “Maka sebelum mereka memanggil, Aku sudah menjawabnya”). Dan hal ini haruslah benar setiap saat, di dalam seluruh keabadian.

Seluruh penalaran ini mengingatkan saya kepada kejadian yang saya alami beberapa tahun yang lalu, ketika saya berpikir telah menghadapi suatu keperluan yang sama sekali tidak mungkin dapat dipenuhi. Waktu itu saya bekerja sebagai penulis di sebuah majalah niaga, yang meliput topik-topik bisnis yang terkadang bersifat teknis dan seringkali tidak saya pahami.

Di tahun pertama saya bekerja, editor pelaksana menugaskan saya untuk mendampinginya menghadiri suatu konperensi yang berlangsung satu minggu di Mexico City. Beliau memahami topik yang kami liput jauh lebih baik daripada saya, dan karena itu, kami berdua dapat menulis liputan yang bagus. 

Tetapi tahun berikutnya, ketika konperensi yang sama diselenggarakan lagi, editor saya memutuskan untuk mengirim saya sendiri. Saya merasa agak khawatir, tetapi ia meyakinkan bahwa saya dapat melakukannya. Ia memberikan daftar pembicara dalam konperensi tersebut, dan menandai pembicara yang perlu saya ikuti. “Dengarkan saja pembicara-pembicara yang saya tandai, dan buatlah catatan yang saksama mengenai pembicaraan masing-masing,” katanya. “Anda akan dapat melakukannya dengan baik.”   

Saya melakukan sesuai dengan yang dikatakannya dan kembali ke kantor hari Senin sesudah konperensi itu, siap menulis laporan di dalam batas waktu yang ketat. Ketika saya hendak memulai, editor itu menghampiri meja kerja saya. “Saya yakin Anda akan membuat tulisan yang menarik,” katanya. Lalu ia meninggalkan saya, sambil menambahkan, “Utamakan pembicaraan ....,” dan dia menyebut nama salah satu pembicara utama. “Itu yang paling penting. Selama Anda memiliki catatan tentang pembicaraan tersebut, Anda memiliki semua yang Anda perlukan.”

Ia pergi, dan saya duduk di kursi dengan sangat galau. Saya ingat nama itu, dan ingat juga bahwa banyak orang kelihatannya sangat berminat untuk mendengarkan pembicaraannya. Tetapi saya tidak menghadiri pembicaraan tersebut. Editor saya tidak menandai pembicaraan tersebut untuk saya liput. Setidaknya saya pikir begitu. Saya memeriksa kembali daftar yang diberikannya, lalu saya menyadari apa yang telah terjadi. Ia menorehkan tanda di antara dua nama. Dan saya salah memilih pembicara yang harus saya liput.

Maka saya menghadapi sesuatu yang tidak ada jalan keluarnya. Sudah pasti saya tidak ingin harus pergi ke atasan saya mengatakan bahwa saya tidak meliput pembicaraan terpenting dalam konperensi tersebut—itu berarti saya telah membuang-buang waktu serta dana perusahaan, selama seminggu menghadiri konperensi di Mexico City. Tetapi di lain pihak, saya tidak mungkin bisa menulis liputan itu tanpa catatan mengenai pembicaraan tersebut.

Saya berpikir, saya akan berdoa mengenai hal ini. Tetapi ada suara kecil penuh ketakutan dalam pikiran saya yang mengatakan: “Keadaan ini tanpa harapan. Tidak ada gunanya berdoa. Tidak ada yang dapat menolong Anda sekarang.”

“Tidak!” demikian suara yang berontak di dalam pikiran saya. “Percayakah engkau kepada Allah? Jika engkau percaya kepada Allah, tidak ada keadaan yang tanpa harapan. Memalingkan pikiran kepada Allah, adalah selalu benar.”

Maka itulah yang saya lakukan. Saya duduk diam dan berpaling sepenuh hati kepada Allah. “Saya mohon,” saya berdoa dengan sungguh-sungguh, “Saya tahu Engkau mengetahui jawabannya. Tunjukkanlah apa yang harus saya lakukan.” Saya melakukan hal tersebut selama beberapa menit, memaksakan diri untuk berpikir tentang Allah dan kasihNya yang tidak berubah-ubah bagi saya, alih-alih mengkhawatirkan tenggat waktu yang semakin dekat.

Tiba-tiba seorang rekan yang ruang kerjanya di sebelah saya berdiri di depan meja saya sambil memegang setumpuk kertas. “Saya dengar Anda menghadiri konperensi di Mexico City,” katanya. “Seseorang mengirimkan kepada saya teks dari beberapa pidato yang disampaikan. Apakah ini dapat membantu Anda?”

“Ya!” saya menjawab hampir berteriak. Saya mengambil berkas itu dan mulai membalikkan halaman-halamannya dengan cepat. Betul sekali, pidato yang saya perlukan ada di situ. Tetapi kemudian, sesudah rekan saya kembali ke ruang kerjanya, hati saya kembali kecewa. Teks itu dalam bahasa Spanyol. Konperensi tersebut diselenggarakan dalam dua bahasa, dan tentu saja terjemahan dalam bahasa Inggris tersedia saat itu; tetapi terjemahan itu tidak ada dalam berkas tersebut. Saya dapat membaca hal-hal yang sederhana dalam bahasa Spanyol, tetapi tidak cukup untuk memahami pembicaraan yang begitu rumit, dan sudah pasti tidak dalam waktu singkat yang masih tersisa.

Tetapi saat itu saya merasa yakin bahwa Allah menjaga saya. Maka saya pun kembali berdoa, sekali lagi menenangkan pikiran saya dan berpaling sepenuhnya kepada Dia.

Tiba-tiba rekan saya kembali lagi. “Saya pikir,” katanya, “materi pembicaraan dalam pidato tersebut sangat rumit, tetapi saya memahaminya dengan baik. Apakah akan bermanfaat jika saya membacanya dengan cepat dan menandai hal-hal yang paling penting?”

Sekali lagi saya hampir saja berteriak penuh sukacita, “Ya!”

Tidak lama kemudian, dia mengembalikan teks tersebut kepada saya, dengan banyak kalimat yang sudah digarisbawahi. Relatif mudah bagi saya untuk menerjemahkan bagian-bagian penting yang tidak terlalu banyak tersebut, dan kemudian saya dapat menggunakan kalimat-kalimat tersebut sebagai kerangka liputan saya, dan melengkapinya dengan catatan yang saya buat dengan saksama selama konperensi berlangsung.

Maka dalam waktu singkat liputan saya selesai dan atasan saya merasa puas. Tetapi kemudian, saat memikirkan kembali pengalaman tersebut, saya sadar bahwa saya perlu memahami hal itu dengan lebih baik. Apa yang sesungguhnya terjadi saat itu? Sungguh menggoda untuk berpikir bahwa Allah telah “menemukan” cara yang menakjubkan untuk memenuhi keperluan saya. Tetapi benarkah begitu? Pernahkah saya menjadi manusia tak berdaya yang duduk di kantor menghadapi kehampaan yang besar, dan Allah dengan penuh kebaikan hati mengulurkan tanganNya untuk mengisi kehampaan itu?

Tidak, tentu saja tidak. Sebagai pelajar Ilmupengetahuan Kristen sepanjang hidup saya, saya tidak menerima pemikiran tentang Allah yang memandang kepada umat manusia dan memutuskan untuk menolong mereka kalau mereka memohonNya. Saya tahu bahwa Allah senantiasa bekerja sebagai Allah. Sebagaimana fakta tentang matematika senantiasa benar, baik saat saya memikirkannya atau tidak, dan seperti keselarasan dalam musik selalu ada, baik saat saya bermain musik atau tidak, demikianlah Allah senantiasa adalah Allah, baik saat saya memohon kepadaNya ataupun tidak.

Demikianlah di kantor waktu itu, mungkin saya merasa berpaling kepada Allah agar membantu saya memenuhi suatu keperluan. Tetapi sesungguhnya yang terjadi adalah, saya mengakui baik kehadiranNya maupun kesempurnaan ciptaanNya. Karena saya sadar, bahwa sebagai ciptaanNya, saya pun pasti sempurna dan lengkap. (Bagaimana mungkin Allah yang maha mengetahui dan maha pengasih menciptakan sesuatu yang lain?). Ketika saya meluangkan waktu untuk mengakui kemahakuasaanNya, maka suatu dusta—anggapan yang tidak sejati bahwa dapat ada saat ketika Allah tidak lagi menjadi Allah dan membiarkan suatu keadaan yang tidak selaras muncul—tiba-tiba lenyap.  Hal itu tidak pernah ada sejak awal, dan kesediaan saya untuk memalingkan pikiran kepada Allah telah menghapus perasaan bahwa saya mempunyai keperluan, seperti halnya menyalakan lampu menghapuskan tidak adanya terang di ruang yang gelap.

Sebetulnya tidak pernah ada keperluan di dalam pengalaman saya ataupun orang lain—baik hari itu maupun kapan saja. Allah bukan hanya dapat memenuhi keperluan kita—itulah yang  dilakukanNya, senantiasa dan selamanya. Saya tidak mengatakan bahwa selalu mudah berpegang teguh kepada pernyataan seperti itu. Terkadang perasaan bahwa kita mempunyai keperluan terasa sangat sejati dan menggebu-gebu. Tetapi kita selalu dapat bersyukur mengetahui bahwa tidak peduli betapa agresif hal tersebut mencoba menyatakan diri, tetap saja hal itu tidak sejati.

“Kasih ilahi senantiasa telah memenuhi dan selalu akan memenuhi segala keperluan manusia.” Itu suatu fakta—dan kenyataannya yang tidak berubah-ubah memberkati kita setiap saat, baik kita memintanya atau tidak. 

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.