Suatu cedera yang saya alami saat menjalankan tugas membuat saya harus pensiun dari Angkatan Kepolisian kota New York dan menjadikan saya cacat selama dua belas tahun. Saya mendapat perawatan di rumah sakit terbaik, yang dilengkapi dengan fasilitas untuk melakukan berbagai tindakan, termasuk operasi dan rehabilitasi. Sayangnya, setelah mendapatkan perawatan medis selama tiga tahun, para ahli bedah tulang mengatakan saya akan selamanya cacat karena patah tulang kaki yang derita sangat parah.
Sebetulnya saya telah mengalami kemajuan: mula-mula kedua kaki saya di gips, lalu saya menggunakan kursi roda, kemudian menggunakan tongkat ketiak, dan akhirnya dengan dua tongkat biasa dan penyangga di kedua sepatu saya. Seperti dikatakan salah seorang dokter, saya patut bersyukur. Pada awalnya dokter mengatakan kaki kiri saya mungkin harus diamputasi, dan saya mungkin tidak akan dapat berjalan lagi. Tetapi ternyata saya dapat berjalan lagi—meskipun terseok-seok dan dengan susah payah, dibantu kedua tongkat itu. Untuk hal tersebut saya berterima kasih kepada para dokter yang telah bekerja begitu lama dan tekun untuk mengupayakan kesembuhan.
Lalu, lima tahun kemudian, masih tetap dibantu kedua tongkat dan penyangga di sepatu saya, saya tergilincir dan jatuh di jalan yang tertutup es. Dokter saya menganjurkan agar saya pindah dari kota New York ke daerah yang memiliki iklim sedang sepanjang tahun. Ketika dia memperingatkan, bahwa jika saya jatuh lagi ada kemungkinan saya harus menggunakan kursi roda seumur hidup, isteri saya dan saya memutuskan sudah saatnya kami pindah. Musim panas berikutnya kami pindah ke Kalifornia.
Akhirnya saya dapat berjalan dengan lebih baik sehingga bisa mendapatkan pekerjaan baru. Tetapi salah satu akibat yang menyedihkan dari cedera itu adalah, saya terus menerus menanggung rasa sakit. Setiap hari saya minum aspirin, obat penenang, dan penghilang rasa sakit. Saya sulit tidur, dan bangkit dari tempat tidur di pagi hari merupakan suatu perjuangan.
Suatu pagi, ketika berdiri, saya diserang rasa sakit yang sangat hebat, sehingga terjatuh lagi di tempat tidur. Saya mencucurkan air mata. Lalu kemarahan serta kebencian muncul atas tragedi ini yang telah menjadikan saya cacat dan harus menyudahi karir saya di angkatan kepolisian. Selama hidup saya adalah seorang atlit dan merasa bangga akan kesanggupan saya menahan rasa sakit. Tetapi yang saya alami saat itu terasa terlalu berat. Saya mengambil pistol saya yang ada di bawah tempat tidur. Selagi saya memegang pistol itu, saya mendengar isteri saya berbicara dengan lembut, “Ada cara yang lebih baik.” Saya memandang wajahnya yang lembut dan penuh kasih dan bertanya, “Cara yang bagaimana?” Dia menjawab, “Engkau telah mencoba segala cara, mengapa tidak mencoba Ilmupengetahuan Kristen?” Kami berbincang selama beberapa menit; lalu dia memberi saya buku ajar Ilmupengetahuan Kristen, Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci karangan Mary Baker Eddy.
Sepanjang hidupnya isteri saya adalah seorang pelajar Ilmupengetahuan Kristen. Tidak lama setelah kami bertemu, dia mengatakan bahwa dia adalah seorang pelajar Ilmupengetahuan Kristen, dan dia percaya bahwa Allah adalah Kasih dan kami semua adalah anak-anakNya yang terkasih. Saya mengatakan kepadanya, bahwa Allah saya adalah senapan saya, tongkat saya, dan perisai saya, dan menyarankan agar dia tidak mempengaruhi saya untuk mengikuti agamanya. Pada awal perkawinan kami, saya membaca beberapa bagian dari buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan, tetapi menganggap ajarannya tidak sesuai dengan pemikiran saya dan karena itu saya tidak melanjutkan membaca.
Beberapa minggu setelah saya berusaha membaca lagi Ilmupengetahuan dan Kesehatan sesuai anjuran isteri saya, saya diserang rasa sakit yang sangat hebat, sehingga saya melempar buku itu dan memberitahu isteri saya dengan kata-kata yang sangat kasar, pendapat saya tentang agamanya. Isteri saya hanya mengambil buku itu dan mengatakan, “Kamu tidak membacanya dengan benar. Yang kamu inginkan hanyalah kesembuhan fisik.” Saya menjawab: “Selama bertahun-tahun saya menderita. Saya layak mendapat kesembuhan. Mengapa saya harus menderita seperti ini?” Isteri saya menjawab, “Kamu harus melupakan diri sendiri dan mencari tahu tentang Allah serta perhubunganmu dengan Allah.” Kemarahan saya hampir-hampir meledak lagi, tetapi ketika saya memandangnya dan merasakan kasihnya yang dalam, saya tahu bahwa saya harus berusaha sekali lagi. Saya harus mendapatkan jawaban atas teka-teki ini. Apakah Allah benar-benar ada—kalau memang demikian, siapakah Dia? Dan siapakah saya, dan mengapa keadaan saya bisa berantakan seperti ini?
Saya membuka buku ajar itu dan membaca kalimat pertama yang menakjubkan yang ditulis Ny. Eddy di bab Pendahuluan: “Bagi orang yang bersandar kepada yang tidak berhingga, yang memelihara segala-galanya, masa kini melimpah-limpah berkatnya” (hlm. vii). Sebelumnya saya telah membaca kalimat tersebut tanpa menyadari maknanya. Tetapi kali ini berbeda. Kata-kata itu menjadi hidup penuh makna. Selama duabelas tahun saya telah bersandar kepada para dokter, rumah sakit, terapi fisik, kursi roda, tongkat ketiak, tongkat biasa, penyangga, dan obat-obatan. Sekarang tiba saatnya untuk bersandar kepada sesuatu yang jauh lebih besar daripada sarana kebendaan dan kemauan insani. Saya diliputi rasa damai yang sangat kuat; saya tahu bahwa apa yang saya cari akan dinyatakan kepada saya.
Ketika saya membaca dan membaca lagi halaman demi halaman buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan, saya menjadi lupa waktu. Apa yang sebelumnya terasa membingungkan dan tidak jelas menjadi sangat jelas. Alkitab, buku ajar itu, dan kamus, terus-menerus menemani saya. Pembelajaran ini, pencarian ini, memberikan suka cita setiap hari. Pikiran saya mulai menetap pada yang tidak berhingga, yang memelihara segala-galanya, sementara setiap pembelajaran serta pencarian membawa curahan Kebenaran. Pemahaman bahwa Allah adalah Ibu-Bapa, adalah Kasih yang sempurna, dan pemahaman akan perhatianNya yang lembut bagi semua anak-anakNya—termasuk diri saya—mulai memasuki kesadaran saya. Kebenaran bahwa Allah adalah Semua, dan bahwa anak-anakNya yang terkasih mencerminkan kesempurnaanNya yang ilahi, menjadi suatu fakta yang dapat saya rasakan secara nyata.
Kapan tepatnya kesembuhan terjadi tidak pernah saya ketahui. Kristus mengisi hari-hari saya dengan suka cita dan damai, sehingga waktu seakan berlalu begitu saja. Suatu pagi ketika saya sedang bercukur di kamar mandi sambil bersenandung nyanyian no 139 dari Buku Nyanyian Ilmupengetahuan Kristen (“Kasih ada di sisiku”), saya sadar ada sesuatu yang berbeda. Tidak ada rasa sakit! Saya berteriak penuh suka cita ketika isteri saya lewat dan saya berkata kepadanya bahwa saya telah sembuh. Sambil berpegangan tangan, kami berlutut dan dengan rendah hati memanjatkan syukur kepada Allah atas berkat tersebut. Masa yang tragis karena menjadi cacat itu hanyalah sebuah mimpi. Dengan tekun mempelajari Ilmupengetahuan dan Kesehatan, pemahaman tentang kesatuan saya dengan Allah telah ditunjukkan kepada saya.
Mengapa sebelumnya usaha saya membaca buku ajar tersebut tidak memberikan hasil? Mungkinkah, seperti kata isteri saya, saya hanya mencari kesembuhan? Atau mungkin saya membaca buku itu dengan pikiran yang penuh penyangkalan. Apa pun motif saya sebelumnya, ketika saya mengesampingkan keakuan diri dan benar-benar mencari dengan jujur dan tekun, kebenaran yang membebaskan semua orang menjadi nyata bagi saya, dan hal itu berlaku juga bagi setiap orang yang secara jujur mencari Kebenaran.
Mantan perwira polisi ini, yang diberitahu dokter bahwa dia mungkin tidak akan bisa berjalan lagi selamanya, sekarang berlari tiga sampai empat mil setiap hari. Setiap kali memulai kegiatan tersebut, saya bersyukur kepada Allah untuk kasihNya, untuk kuasa serta kehadiranNya, dan saya berdoa agar dibimbing untuk melakukan apa pun yang akan memuliakan namaNya. Dari pengalaman ini saya belajar mengetahui bahwa Allah adalah Semua-dalam-semua. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah pemahaman bahwa Allah tidak pernah melupakan kita. Kitalah yang menjauh dariNya. Kita hanya perlu berpaling kepadaNya lagi untuk merasakan kasihNya yang abadi.
Saya bersyukur kepada Allah untuk Kristus Yesus, yang telah menunjukkan kepada kita jalan Kristus, jalan Kebenaran dan Hidup. Setiap hari rasa syukur saya semakin besar kepada Pemimpin kita, Ny. Eddy, yang telah berbagi dengan seluruh umat manusia ilham ilahi Ilmupengetahuan Kristus, melalui buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan.
Keanggotan di Gereja Induk maupun gereja cabang, demikian juga mengikuti kelas penataran di bawah seorang guru Ilmupengetahuan Kristen yang berwenang, telah memberikan berbagai saluran untuk pertumbuhan rohaniah serta memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai kuasa kebenaran. Saya merasa sangat beruntung dapat mengajar di Sekolah Minggu, berbakti sebagai anggota Dewan Penyelenggara di gereja saya, dan saat ini menjadi Pembaca Pertama di sebuah cabang Gereja Kristus, Ahli Ilmupengetahuan.
JOHN P. ONDRAK
Canoga Park, Kalifornia, AS
Dengan suka cita yang besar serta rasa syukur yang dalam kepada Allah Ibu-Bapa kita, saya membenarkan kesaksian suami saya. Kesembuhannya terjadi persis seperti yang diceriterakannya dan bersifat permanen.
Ketika saya dipanggil untuk datang ke rumah sakit, pikiran pertama yang datang kepada saya adalah untuk segera mengakui keselalu-hadiran Allah dan mengetahui bahwa tidak sedetik pun suami saya berada di luar kasihNya yang merangkul semuanya.
Ketika tiba di rumah sakit, dokter meminta saya menandatangani formulir yang isinya memberi izin kepada mereka untuk melakukan tindakan apa pun yang dianggap perlu untuk menyembuhkan suami saya. Karena saya dibesarkan di lingkungan Ilmupengetahuan Kristen, saya sama sekali tidak tahu mengenai kebijakan serta prosedur rumah sakit. Tanpa bersuara saya berdoa agar Allah membukakan mata saya untuk melihat apa pun yang perlu saya lihat. Doa saya terjawab, karena dalam tulisan yang kecil, di akhir formulir tersebut tertulis kata-kata “Izin untuk melakukan amputasi.” Saya mengatakan kepada dokter, bahwa saya tidak dapat mengizinkan mereka melakukan hal tersebut. Saya pun diberi formulir lain yang tidak mengandung pernyataan seperti itu. Saya menandatangani formulir tersebut, dan kemudian suami saya dibawa ke ruang operasi.
Saya sangat bersyukur menyaksikan penyembuhan yang menakjubkan ini. Melihat suami saya kembali dapat berlari, naik sepeda, berdansa, dan berjalan tanpa pincang atau cacat apa pun setelah bertahun-tahun menjadi invalid dan sangat menderita, merupakan bukti bagi saya bahwa “bagi Allah segala sesuatu mungkin” (Mat. 19:26).
NANCY J. ONDRAK