Mary Baker Eddy menulis berbagai artikel, esai, dan surat mengenai Natal, yang semuanya dapat kita baca di buku berjudul Prose Works.Karya-karya tulis Mary Baker Eddy ini di kumpulkan dalam sebuah buku yang berjudul What Christmas Means to Me and Other Christmas Messages. Dalam suatu pembicaraan antar benua, penyembuh dan guru Ilmupengetahuan Kristen David Haughton dari Exeter, Inggris, berbincang tentang makna yang dalam serta pesan yang terkandung dalam karya-karya tulis tersebut. Suatu pesan yang tetap relevan saat ini, seperti ketika pesan itu ditulis.
Sungguh suatu berkat, David, membaca karya tulis Mary Baker Eddy ini beberapa bulan sebelum Natal, untuk mempersiapkan wawancara ini. Bukankah semua pesan itu benar-benar menggarisbawahi fakta bahwa kedatangan Kristus tidak terbatas pada suatu saat tertentu dalam satu tahun?
Ya, semua itu membuat saya berpikir tentang pesan yang disampaikan Ny. Eddy kepada kita dalam semua tulisannya: kelestarian Kristus. Saya terutama terkesan dengan apa yang dikatakannya dalamThe First Church of Christ, Scientist, and Miscellany: “Dalam Ilmupengetahuan Kristen, Natal mewakili apa yang sejati, mutlak dan abadi,—mewakili hal-hal yang berasal dari Roh, bukan dari zat” (hlm. 260). Bukankah ini sangat mendasar? Kristus tidak terbatas pada suatu masa tertentu.
Bagaimana pemahaman anda tentang Kristus?
Saya memahami Kristus sebagai keakuan rohaniah Yesus, sifatnya yang ilahi. Keakuan ini selalu ada—tidak hilang setelah Yesus meninggalkan dunia. Itulah sifat rohaniah dan sejati manusia, di mana keakuan kita yang sesungguhnya ditemukan. Terkadang tuntutan musim liburan Natal manjadikan kita lebih sulit berpegang kepada hal ini.
Begitu banyak saran agresif mengemuka di musim liburan itu, dan bahkan orang yang telah mempraktekkan Ilmupengetahuan Kristen selama bertahun-tahun bisa terjebak dalam hingar-bingar ini. Kita mendambakan untuk melihat sifat ilahi manusia, yang tidak pernah lahir dan tidak pernah mati—tetapi perhatian kita tertuju kepada hal yang lain. Tanggungjawab yang terlalu besar, terlalu sedikit uang, terlalu banyak kerabat, terlalu sedikit kerabat, dst.
Terkadang hal-hal tersebut memang penting. Tetapi satu-satunya jawaban terhadap semua kekhawatiran serta kesibukan ini, apa pun bentuknya, adalah mengingatkan diri sendiri dari saat ke saat akan makna Natal yang sesungguhnya—dimulai dengan melihat Natal dari dasar yang sama sekali bersifat rohaniah, alih-alih kebendaan.
Itu adalah saat untuk benar-benar mengasah kewaspadaan rohaniah kita, bukan?
Betul sekali. Karena komersialisasi musim liburan rasanya disodorkan kepada kita, sebetulnya kita dapat berpikir bahwa ada sesuatu “di luar” diri kita yang hendak merampas semangat Natal yang sebenarnya dari diri kita, merampas rasa damai dan itikad baik yang sejak semula menyatu dengan kita sebagai ide Allah yang sempurna, sebagai cerminanNya.
Ny. Eddy sangat berterus-terang mengenai pokok ini. Dia mengatakan bahwa “Natal mengingatkan akan anugerah Allah yang besar,” dan “bahwa suka-ria, ambisi buta, persaingan, serta upacara yang umumnya kita lakukan di musim Natal terasa sebagai ejekan insani yang merupakan tiruan akan penyembahan yang sesungguhnya dalam memperingati kedatangan Kristus” (Miscellany, hlm. 262).
Meskipun demikian, adalah baik untuk diingat, bahwa Ny. Eddy bukanlah seorang pertapa. Dia hanya menjadikannya sangat jelas dalam semua tulisannya mengenai Natal, bahwa kita perlu merenungkan makna Natal secara mendalam.
Bagaimana anda memaknainya?
Bagi saya, makna Natal bukanlah dalam kelahiran seorang bayi, melainkan “kebenaran yang agung tentang wujud rohaniah” (Mary Baker Eddy, Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, hlm. 33), yang diamalkan Yesus dan dibuktikannya. Itulah keselaluhadiran Kristus, Kebenaran, yang menjadikan kita merasa dikasihi serta didukung sepanjang tahap pengalaman insani kita.
Kita harus mempertanyakan semua yang disodorkan media kepada kita mengenai apa yang menentukan kabahagiaan ... yang menghasilkan Natal yang “sempurna,” yang tidak pernah dapat dicapai secara insani. Kita perlu meluangkan waktu—bahkan menuntutnya—untuk berkomunikasi dengan Allah secara khusuk.
Saya menyukai apa yang dikatakan Ny. Eddy berikut ini: “Bagi kesadaran yang dibangkitkan, bayi Betlehem telah meninggalkan kain lampinnya (lingkungan kebendaan) untuk bentuk serta kemolekan ideal ilahi ...” (Miscellany, hlm. 257).
Ya, dan “kain-kain lampin” paham kebendaanlah yang mempertahankan Natal pada tingkat perayaan insani, alih-alih saat untuk menyatakan sukacita yang besar atas keabadian serta keselaluhadiran Kristus—Juru Selamat dunia. Dan, sepanjang musim liburan ini kita perlu melakukan pergeseran yang terus-menerus dalam pikiran kita, karena budi fana—yang selalu menyarankan bahwa kita terpisah dari Allah—terus-menerus berusaha menyodorkan kasusnya.
Di saat Natal saya selalu memikirkan kisah dalam Injil Lukas tentang Marta dan Maria (lihat Lukas 10:38-42). Yesus sedang berkunjung, dan Maria duduk manis di kaki Yesus sambil mendengarkannya—mendengarkan kebenaran tentang Allah serta keakuan rohaniah manusia yang disampaikan Yesus. Tetapi kakaknya, Marta, mengeluh kepada Yesus karena Maria tidak membantu menyiapkan pesta. Lalu Yesus memberinya teguran yang lembut: “Marta ... hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.”
Hal itu mengajarkan kepada saya bahwa kita harus menentukan prioritas kita, tidak peduli budaya yang ada di sekitar kita. Ada tekanan untuk membeli hadiah lebih banyak, bergaul lebih banyak. Untuk “melakukan” lebih banyak hal.
Saya menyadari bahwa itu adalah “merayakan Natal dengan cara Marta!” Betapa akan jauh lebih bermanfaat musim liburan kita, jika kita tidak lagi “melakukan” melainkan “menjadi.” Maka kita akan “merayakan Natal dengan cara Maria.”
Itu bagus, David. Dan, bukankah mengharapkan suatu Natal kebendaan yang sempurna yang membuat kita tetap berada dalam cara pikir Marta? Mempermasalahkan dan mengkhawatirkan hal-hal yang “sepele” alih-alih merenungkan ide yang benar mengenai Natal?
Saya ingin kembali kepada “Suatu Aturan untuk Motif dan Perbuatan” di Buku Pedoman Gereja di mana Ny. Eddy mengatakan bahwa kita “…setiap hari harus berjaga dan mendoa agar dilepaskan dari semua yang jahat,” dan daftar hal-hal jahat yang ditulisnya mencakup “dipengaruhi secara sesat” (hlm. 40). Betapa mudahnya pikiran manusia dipengaruhi—dan seringkali tanpa sadar—mengenai apa yang menghasilkan Natal yang sempurna.
Tekanan paham materialisme di dunia ini berusaha membuat kita percaya bahwa semua jawaban kita temukan dalam zat. Menjelang Natal setiap tahun, hal ini mungkin muncul dalam bentuk membanding-bandingkan: Apakah orang lain lebih bahagai daripadaku? Apakah mereka memiliki lebih banyak kerabat dariku? Lebih banyak teman? Lebih banyak uang?
Melihat apa yang dilakukan orang lain bukanlah keadaan mental yang bermanfaat menjelang Natal—atau kapan pun. Shakespeare membuat pernyataan yang menakjubkan ini, “Membanding-bandingkan itu menjijikkan.” Dan itu benar. Pemikiran yang suka membanding-bandingkan sesungguhnya merampas perasaan damai serta kasih yang ditunjukkan Yesus kepada kita, karena kita mulai dari sudut pandang yang fana dan insani. Kita memiliki setiap hak untuk mengalami sukacita di hari Natal, baik kita dikelilingi orang lain atau tidak.
Fakta yang sederhana adalah, kasih-Kristus hadir di mana-mana, dan itulah yang memberi kepuasan.
Menurut saya, jika kita mulai dan bertahan dengan sudut pandang yang rohaniah, maka dengan sendirinya kita akan mengalami “Natal dengan cara Maria” yang anda bicarakan. Seakan pikiran kita duduk di kaki Yesus, seperti adik Marta, Maria, ... mendengarkan untuk mendapatkan ilham.
Seperti itulah. Dan sebagian besar dari “bagian yang terbaik” yang dibicarakan Yesus kepada Maria adalah melihat fakta bahwa setiap orang menyatakan sifat ilahi Allah, yang dimanifestasikan dalam Kristus. Ke situlah Yesus membimbing kita—kepada keakuan sejati setiap orang. Dan karena sifat ilahi Kristus ini selalu hadir, kita tidak menjalani Natal sebagai peristiwa yang terjadi sekali dalam setahun, tetapi kita merayakan kehadiran Kristus yang berkesinambungan, lengkap.
Saya menyukai kata-kata dalam syair John Greenleaf Whittier yang terdapat di Buku Nyanyian Ilmupengetahuan Kristen(No. 170):
Boleh kau tahan, kawanku
Segala lambang Natalmu!
Bahagialah yang tiap hari
Rayakan Natal di hati.
Itulah hakikat dari pemahaman abadi tentang Natal. Bukan tentang bayi yang lahir di palungan; melainkan tentang sifat ilahi Allah yang dinyatakan Yesus—keakuan manusia yang bersifat Kristus.
David, semua yang anda katakan, telah secara indah merintis jalan untuk maju—melampaui musim liburan Natal itu sendiri, melampaui penanggalan, dan tahun baru ...
Setiap hari, kita mendengarkan suara yang dinyatakan Allah kepada kita, yang datang dalam perenungan yang hening. Saya menganggap saat-saat seperti itu sebagai saat-saat puncak gunung. Dalam pikiran kita mendaki gunung, dan berkomunikasi dengan Allah.
Pikiran-pikiran itu tidak datang dalam hingar-bingar “kesibukan” gempa, angin, dan api. Tidak datang jika kita menjadi pusat perayaan, atau tidak diundang ke perayaan. Juga bukan datang dengan menaruh lebih banyak hadiah di bawah pohon Natal.
Pikiran-pikiran itu datang dalam keheningan pemikiran yang menyatakan manusia-Kristus yang adalah kesejatian setiap orang di antara kita. Inilah “anugerah agung” Allah yang dibicarakan Mary Baker Eddy—anugerah yang diberikan kepada kita sepanjang tahun.