Setelah menjadi pelajar Ilmupengetahuan Kristen, saya seringkali mengkritisi keadaan dan orang-orang di sekeliling saya. Saya merasa paling benar dan lebih tinggi dari orang lain, karena menganggap pengertian saya tentang Ilmupengetahuan Kristen telah memberi saya hak istimewa untuk bisa mendalami segala sesuatu, dan menemukan sumber dari masalah yang terjadi—baik itu masalah pemerintahan, komunitas saya, gereja saya, kerabat-kerabat dekat, dan masih banyak lagi.
Pembenaran diri mengalangi saya berdoa untuk memecahkan dan menyembuhkan masalah yang saya lihat. Demikianlah, secara sadar atau tidak sadar, saya terus mencari “kejelekan” orang lain. Jumlah orang yang saya anggap kurang baik bahkan cukup besar. Sama sekali tidak terpikir oleh saya bahwa alasan saya mengkritisi orang lain adalah untuk menjadikan mereka terlihat kecil atau tidak berharga supaya saya terlihat lebih baik dibandingkan mereka.
Saya tidak menyadarinya waktu itu, tetapi saya mempunyai dua pandangan yang berbeda mengenai ciptaan: Di sisi yang “fana”, saya menempatkan orang-orang yang saya anggap tidak bermoral dan tidak sempurna. Dan di sisi yang “rohaniah”, saya menempatkan Allah dan beberapa orang yang saya anggap bermoral baik.
Lalu, suatu hari, saat sedang bekerja, tiba-tiba saya sakit parah. Dada saya terasa sakit sekali, seperti dihantam palu. Saya hampir-hampir tidak bisa berdiri atau bernafas. Sebagai pelajar Ilmupengetahuan Kristen, saat menghadapi keadaan seperti itu, saya merasa wajar dan nyaman untuk bersandar kepada Allah guna mendapatkan pertolongan dan kesembuhan. Maka saya menelepon seorang penyembuh Ilmupengetahuan Kristen, dan dengan segera dia mulai berdoa untuk saya. Dalam waktu yang singkat sekali, rasa sakit itu hilang sama sekali.
Meskipun demikian, dalam beberapa minggu, rasa sakit itu datang lagi. Dan kali ini sakitnya jauh lebih parah. Sambil berlutut, saya menelepon penyembuh itu lagi untuk mendapatkan pertolongan. Sekali lagi dia berdoa, dan seperti sebelumnya, rasa sakit itu hilang setelah beberapa menit.
Beberapa bulan berlalu tanpa gangguan. Serangan yang saya alami sebelumnya saya anggap sebagai kenangan yang mulai memudar. Tetapi suatu hari, saat berada di rumah, datang serangan yang ketiga, yang jauh lebih hebat. Bahkan saat terbaring di lantai, mulut saya mengeluarkan darah dan saya hampir tidak bisa bernafas. Saya tidak ingin mati, tetapi kelihatannya saya juga tidak akan hidup.
Isteri saya, yang saat itu berada di bagian lain dari rumah kami, jauh dari tempat saya berada, merasakan bahwa ada masalah dan dengan segera menemukan saya. Dia melihat betapa gawat keadaan saya saat itu, dan karena saya tidak bisa berbicara, dengan cepat dia menelepon penyembuh, minta bantuan untuk saya.
Setelah menelepon, isteri saya membawa pesan dari penyembuh untuk saya. Dia mendekati saya dan berkata, “Mungkin engkau tidak menyukai apa yang dikatakan penyembuh, tetapi dia berkata bahwa engkau harus memaafkan semua orang yang kau hakimi.”
Dengan serta merta saya tahu bahwa itu adalah pesan dari Allah karena hal itu terasa sebagai kebenaran yang sangat mengena di hati saya. Sesungguhnya, hanya Allah yang dapat memberi pesan seperti itu untuk disampaikan penyembuh kepada saya—karena semua pikiran saya yang penuh kritik terhadap orang lain tidak pernah saya utarakan, hanya tersimpan rapat-rapat, demikianlah pikir saya. Sementara masih tergeletak di lantai dalam kesakitan, saya merasa lega mendengar pesan Allah yang disampaikan lewat penyembuh, dan saya percaya sepenuhnya bahwa Allah menyelamatkan saya di tempat itu, saat itu juga.
Dengan segera saya melihat dalam pikiran saya gambar dari orang-orang yang perlu saya bebaskan dari penjara penghakiman saya yang keji. Saya “tersenyum” kepada mereka satu per satu ketika kenangan mengenai mereka satu per satu muncul di benak saya. Dengan tulus saya menjangkau ke lubuk hati saya dan menemukan sumber kasih serta pengampunan Allah yang dalam—bukan hanya bagi mereka yang saya hakimi, tetapi juga bagi saya yang telah menghakimi mereka. Saya mematuhi perintah Yesus, “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:39).
Sementara saya membersihkan dan membebaskan hati saya dari setiap pikiran gelap yang penuh celaan, rasa sakit serta penderitaan itu mulai surut sebanding dengan berkat yang saya panjatkan bagi setiap orang di antara mereka. Ketika sampai di akhir daftar mental saya, saya tidak merasa sakit dan menderita lagi. Saya bangkit berdiri—sembuh sama sekali.
Saya yakin sepenuhnya bahwa saya telah sembuh, bukan hanya karena tubuh saya berfungsi normal, tetapi juga karena hati dan semangat saya merasa bebas, sarat dengan kasih yang murni. Penghakiman yang bersifat tidak bermoral, yang dibalut pembenaran diri, tidak lagi tinggal dalam pikiran saya. Karena bukan lagi bagian dari diri saya, pikiran gelap terebut tidak lagi memiliki akibat yang disangkakan ada serta kendali atas tubuh saya.
Selain kebebasan fisik yang menakjubkan yang saya alami, selama dua minggu sesudah peristiwa itu saya merasakan suka cita yang murni mengalir di dalam diri saya. Allah telah mengubah secara radikal pandangan saya mengenai diri sendiri dan orang lain. Baik rasa sakit maupun gejala fisik itu tidak pernah kembali.
Penemuan rohaniah yang saya dapatkan mengenai pentingnya pengampunan bergema dalam kata-kata masyhur seorang pakar teologi Kristen, Lewis B. Smedes: “mengampuni adalah membebaskan tawanan dan menemukan bahwa tawanan itu adalah diri kita sendiri.”
Dan nabi Yeremia menulis, “Bersihkanlah hatimu dari kejahatan, hai Yerusalem, supaya engkau diselamatkan!” (Yeremia 4:14). Bagi saya, itu menggambarkan apa sesungguhnya arti dari pengampunan itu.
Sikap serta perilaku orang-orang yang diampuni mungkin berubah atau mungkin juga tidak, tetapi pengampunan tidak menyertakan syarat bahwa orang lain harus berubah. Kita tidak lagi menderita karena kata-kata atau tindakan orang lain ketika sebab dari serangan itu telah ditiadakan dalam diri kita. Seperti ditunjukkan Yesus kepada Petrus, ketika bertanya berapa kali dia harus mengampuni saudaranya, “Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Matius 18:22). Yesus tahu bahwa pengampunan adalah pembersihan hati yang terus-menerus agar mencerminkan kasih Allah yang tidak berhingga.
Pengampunan adalah pekerjaan suci, menyerahkan pendapat serta pandangan kita kepada Allah, dan membiarkan Allah, kasih ilahi bekerja di dalam diri kita, membuangkan pembenaran diri serta merasa baik sendiri. Itulah pekerjaan yang diberkati untuk merasakan bahwa keselalu-hadiran mesra Allah, Ibu-Bapa kita, membanjiri hati kita dengan berkat yang lembut bagi setiap orang dan semua orang di antara kita.
Banyak orang yang menginginkan Mary Baker Eddy celaka. Tetapi dalam artikelnya yang berjudul “Love your enemies (Kasihilah musush-musuhmu),” dia menulis, “ ‘Kasihilah musuh-musuhmu’ adalah sama dengan ‘Anda tidak mampunyai musuh.’ ” Selanjutnya di artikel yang sama dia menulis, “Saya senang menggandeng orang yang tidak mengasihi saya, dan berkata kepada mereka, ‘Aku mengasihimu, dan tidak akan dengan sengaja melukaimu’ ” (Miscellaneous Writings 1883–1896, hlm. 9, 11–12).
Bukankah perasaan Ny. Eddy ini ukuran yang sesungguhnya bagi pengampunan? Bersediakah kita mengatakan, “Aku mengasihimu,” kepada orang yang tidak menyukai atau memahami kita, atau kepada mereka dengan siapa kita enggan berteman?
Ya—Allah dapat merubah watak kita—dan kesehatan kita. Hanya diperlukan keinginan yang murni untuk membiarkan Allah membersihkan dan mengubah hati kita.