Ketika masuk dinas ketentaraan Amerika Serikat, saya berpaling kepada Ilmupengetahuan Kristen seperti belum pernah saya lakukan sebelumnya. Mungkin belum pernah saya bergantung kepada pengertian akan kedudukan rohaniah saya sebagai gambar dan keserupaan Allah, seperti ketika belajar di Infantry Officer Candidate School (OCS—Sekolah Calon Perwira), di Fort Benning, Georgia, AS.
Selama enam bulan mengikuti pendidikan tersebut, prestasi saya gemilang. Saya dipilih menjadi ketua kelas, dan yang mengesankan, ditunjuk untuk menjadi ketua Dewan Kehormatan, yang menerapkan Kode Kehormatan yang sangat ketat seperti yang berlaku di West Point. Saya lulus di bulan September dengan peringkat 1 di kelas saya. Selanjutnya saya juga belajar beradaptasi dengan suhu Georgia Selatan yang bisa mencapai sekitar 38 derajad Celcius.
Di pos saya, saya bergabung dengan perkumpulan Ilmupengetahuan Kristen, yang terdiri dari 12 prajurit dan rohaniwan senior Ilmupengetahuan Kristen. Kebaktian dan diskusi diadakan pada hari Minggu siang. Kebaktian-kebaktian tersebut bagi saya menjadi saat-saat yang sangat berharga, sarat dengan kerohanian serta ketenangan, di tengah-tengah lingkungan Angkatan Darat yang tidak begitu saya kenal.
Pada akhir masa pelatihan, kami diangkut dengan truk ke lapangan tembak untuk latihan terakhir agar kami lebih terbiasa dengan jenis artileri coilless. Senjata tersebut diciptakan pada Perang Dunia kedua dan juga digunakan di perang Korea. Setiap senjata dapat menembakkan proyektil besar sepanjang 105 mm dan ditangani tiga orang: dua orang untuk memasang proyektil dan seorang lagi untuk menembakkannya. Hari itu saya berperan sebagai penembak, yang bertugas menarik kabel yang akan menembakkan proyektil. Proyektil tersebut akan terlempar ke depan, tetapi berbeda dengan senjata artileri yang konvensional, senjata coilless juga menghasilkan tekanan ke belakang agar senjata berat tersebut tidak bergerak mundur.
Kelompok saya berada di pos no lima, dari sepuluh pos yang berada di lapangan tembak tersebut. Melalui pengeras suara, perwira lapangan tembak memerintahkan kelompok kami untuk mulai menembak.
Tiba-tiba saya merasakan dengan jelas suatu bimbingan ilahi yang mendesak agar saya meninggalkan pos saya, dan hal itu saya lakukan. Dari menara, perwira lapangan tembak memerintahkan saya untuk kembali dan menembak. Saya terus berjalan, dan saat itu saya sudah melewati jarak yang dapat dijangkau letupan belakang yang dahsyat. Perwira itu memerintahkan saya untuk kembali, tetapi saya terus berjalan menjauh. Perwira itu meneriakkan kata-kata yang sangat ditakuti: “Calon perwira Jareo, kembali ke senjata anda. Ini adalah perintah langsung!” Tidak mematuhi perintah langsung adalah suatu pelanggaran yang sangat berat; saya tahu bahwa saya dapat dihadapkan ke pengadilan militer dan dihukum.
Ketika sampai di bawah menara, saya berhenti dan melihat kepada perwira itu. Saya mendengar kata-kata ini keluar dari mulut saya dengan pelan tetapi jelas: “Senjata itu tidak boleh digunakan. Saya rasa senjata itu retak. Perwira itu memerintahkan rekan saya yang ada di pos lima menarik kabel untuk menembakkan proyektil.
Salah satu teman yang bertugas memasang proyektil melakukan perintahnya. Ketika menarik kabel, senjata itu meledak. Terlihat kilatan dahsyat di samping serta belakang saat senjata itu meledak. Serpihan-serpihan kecil logam berhamburan di seluruh lapangan tembak melewati kepala para calon perwira dan pelatih. Banyak di antara ketujuh puluh lima anggota OCS dan pelatih cedera meskipun mereka duduk di kursi yang disediakan di tempat yang jauh melampaui batas letupan belakang.
Lalu, hening. Semuanya diam.
Tanpa berkata apa-apa, saya kembali dan duduk di salah satu kursi. Tidak ada yang menghampiri saya. Perwira yang ada di menara tidak mengatakan sesuatu, atau kehilangan kata-kata. Saya merasa yakin akan mendapat hukuman berat karena telah tidak mematuhi perintah langsung. Tidak ada yang cedera parah karena kami memakai helm dan seragam khaki yang tebal tetapi banyak yang cedera karena panas yang disemburkan, dan ambulans yang berada di lokasi sudah mulai mengangkut mereka untuk mendapat perawatan.
Setelah kembali ke barak, saya merasa agak tenang dan ketenangan itu semakin tumbuh. Yang dapat saya pikirkan hanyalah, bahwa saya adalah gambar dan keserupaan sempurna Allah. Karena Allah ada di mana-mana, maka saya tidak dapat berada di tempat yang salah di saat yang salah. Tidak ada tempat di mana pelajaran rohaniah yang diajarkan Yesus Kristus tidak berlaku. Saya tahu bahwa saya ada dalam pemeliharaan Allah, demikian juga teman-teman saya.
Waktu masih kecil, ibu mengatakan kepada saya bahwa bimbingan Allah datang sebagai “suara yang kecil dan halus” (1 Raja-Raja 19:12, menurut versi King James). Di lapangan tembak hari itu, suara tersebut, meskipun kecil dan pelan, terdengar menggelegar dan mendesak, dan tidak salah lagi, bimbingan Allah telah mencapai sasarannya.
Tidak lama kemudian, saya mendapat izin dari perwira taktis untuk menemui rohaniwan Ilmupengetahuan Kristen. Ketika tiba, rohaniwan tersebut merangkul saya dan memastikan bahwa meninggalkan pos saya di lapangan tembak merupakan bimbingan ilahi, bukan ketidak-patuhan, dan tidak ada seorang pun di Angkatan Darat yang akan menyangkal hal itu. Dia meyakinkan saya bahwa saya tidak bisa dihukum karena telah mengikuti bimbingan Firman Allah, dan saya memiliki hak ilahi untuk menuntut kedudukan saya sebagai anak Allah. Kami berdoa agar semua yang cedera karena ledakan tersebut segera sembuh.
Saya diwisuda tiga hari kemudian dan sesudah itu diangkat sebagai letnan dua. Lalu saya ditugaskan di Pentagon sebagai perwira yang bekerja di belakang meja, jauh dari senjata yang bisa meledak. Dalam dua tahun saya diangkat menjadi letnan satu dan bekerja penuh semangat sebagai staf humas. Ketika sedang bertugas, saya bertemu perwira yang menjadi komandan batalion saat saya mengikuti pelatihan di OCS. Saat itu dia sudah menjadi mayor jenderal. Dia minta saya datang ke kantornya.
Hati saya kecut—inilah saatnya. Akhirnya saya akan dihukum karena tidak mematuhi perintah saat dalam pelatihan. Saya mempersiapkan diri untuk menerima teguran keras, atau hal yang lebih buruk lagi.
Tetapi alih-alih menegur, dia mengatakan: “Anda telah berjasa besar kepada Angkatan Darat. Dengan berjalannya waktu, anda secara langsung telah menyelamatkan jiwa belasan tentara yang bisa saja terbakar atau tewas karena kecelakaan di lapangan tembak.” Dia melanjutkan dengan menjelaskan bahwa persenjataan yang kami gunakan adalah “tragedi yang tinggal menuggu waktu saja.” Dia menambahkan bahwa jenis senjata yang kami gunakan sudah usang—terlalu sering digunakan—karena dibuat tahun 1943. Setelah terjadi ledakan, dia memerintahkan Angkatan Darat untuk sama sekali menghentikan penggunaan senjata jenis tersebut. “Bagaimanapun juga, senjata jenis itu sudah jauh ketinggalan zaman” katanya mengakhiri pembicaraan.
Saya sangat lega dan bersyukur mendengar berita dari mayor jenderal itu dan jauh lebih bersyukur untuk bukti bahwa penghiburan yang diberikan rohaniwan kepada saya, ketika saya duduk terguncang di ruangannya, adalah benar: pesan Allah selalu membimbing kita kepada damai dan keamanan. Allah selalu membimbing kita. Kerendahan hati membuka jalan bagi kita untuk dapat mendengar dan mengikuti bimbingan Sang Bapa.