Baru-baru ini saya pergi ke luar kota dengan beberapa teman untuk makan malam dan mendengarkan konser. Tidak lama sesudah konser dimulai, saya mulai merasa sakit. Saya berdoa dalam hati tetapi tidak berhasil mendapatkan ilham. Tiket untuk konser itu adalah hadiah Natal dari keluarga saya, dan saya tidak ingin peristiwa yang sudah lama kami nantikan bersama itu terganggu. Tetapi, kira-kira setelah konser berjalan dua pertiga dari waktu yang dijadwalkan, saya merasa harus meninggalkan auditorium, dan minta salah seorang teman menyertai saya.
Keadaan saya dengan cepat memburuk, dan gejalanya seperti keracunan makanan. Saya menyatakan kekhawatiran itu kepada teman saya, yang juga seorang penyembuh Ilmupengetahuan Kristen, dan dengan senang hati dia bersedia berdoa untuk saya.
Setelah konser selesai, saya berhasil menuju mobil teman saya dengan bantuan mereka. Akan tetapi, ketika mobil kami baru mencapai beberapa blok saya harus segera turun, dan tempat yang terdekat saat itu adalah sebuah kedai kopi. Saat berada di sana, saya menghubungi seorang teman lain yang juga penyembuh Ilmupengetahuan Kristen, dan memintanya berdoa untuk saya. (Teman saya yang terdahulu harus mengemudikan mobil dan melakukan percakapan dengan suami dan puterinya, sehingga dia merasa tidak bisa memusatkan perhatian penuh kepada situasi yang saya hadapi).
Kami harus berhenti beberapa kali dalam perjalanan pulang. Saya juga mengalami kejang-kejang beberapa kali. Di sela-sela pemberhentian, ada kalanya gejala itu berkurang dan saya dapat berdoa, menggapai kepada Allah dan berpegang kepada kebenaran rohaniah yang datang ke dalam pikiran saya.
Gejala itu memburuk lagi ketika kami tiba di rumah. Oleh karena itu teman saya membawa suami dan puterinya pulang lalu kembali untuk menemani saya. Saya dapat mencapai kamar tidur saya yang berada di lantai atas, berbaring di tempat tidur, dan beristirahat, sementara teman saya duduk diam di dekat saya membaca dan berdoa. Saya ingat bahwa Mary Baker Eddy sering menganjurkan murid dan pasiennya untuk merenungkan Mazmur 91, oleh karena itu saya minta teman saya membacakannya kepada saya. Saat mendengarkan, saya mampu merasakan bahwa Allah mengasihi dan menjaga saya.
Sesudah itu, saya minta teman saya mengambilkan telpon dan dia turun ke lantai bawah sementara saya berbicara dengan penyembuh. Sore itu saya berbicara dengan penyembuh beberapa kali, tetapi sekarang saya dapat mendengarkannya dengan lebih baik dan menanggapinya dengan normal. Penyembuh itu tidak banyak berbicara, dan seperti dalam pembicaraan sebelumnya, dia menekankan bahwa kuasa Kasih ilahi selalu hadir.
Saya mengatakan kepadanya, bahwa keadaan fisik saya sedemikian rupa sehingga sulit bagi saya untuk berdoa secara tekun dan memuaskan. Dia hanya menjawab dengan sederhana bahwa Kasih ilahi akan memberikan doa saya kepada saya.
Hal ini mengingatkan saya kepada pernyataan manis J.B. Phillips di bukunya The New Testament in Modern English. Di bawah judul “Ini bukan sekedar teori—Roh membuat kita memahami bahwa hal itu benar,” Phillips menerjemahkan Roma 8:26 sebagai berikut: “Roh juga membantu kita dalam keterbatasan kita sekarang ini. Misalnya kita tidak tahu bagaimana berdoa dengan benar, tetapi Roh di dalam diri kita sebenarnya berdoa bagi kita di dalam keinginan kita yang tidak dapat menemukan kata-kata.”
Setelah berbicara dengan penyembuh, saya kembali menggapai Sang Bapa untuk merasakan kehadirannNya, dan menegaskan bahwa Kasih ilahi akan memberikan doa saya. Saat itu pikiran saya menjadi ringan. Saya membayangkan teman saya, duduk di kursi model kuno di kamar tamu sambil membaca Alkitab, sementara anjing kecil saya terbaring di kursi di sebelahnya. Selama beberapa jam terakhir saya begitu merasakan kebaikan teman saya itu yang telah menjaga saya, berdoa, dan bersedia melakukan apa saja untuk memenuhi keperluan insani saya.
Kemudian datang pikiran, “Pergilah ke bawah di mana kasih berada.” Ini terasa sebagai suatu perintah yang tegas. Saya merasa seperti anak kecil yang secara wajar dan senang ingin berada bersama teman kesayangannya dan anjingnya.
Saya duduk, mengambil bantal dan selimut, dan menuju pintu. Hanya beberapa menit sebelumnya, saya bangun dari tempat tidur, tetapi segera berbaring kembali karena merasa sangat tidak nyaman dan lemah. Sekarang, tiba-tiba saya sehat! Saya tidak mengalami proses kesembuhan; saya sudah sehat dalam sekejap. Suka cita dan kasih seakan menyelimuti diri saya.
Ketika masuk ke ruang tamu, saya mendapati teman saya duduk di kursi kuno sambil membaca Alkitab dengan anjing kecil saya di sebelahnya—seperti yang saya bayangkan. Saya duduk di sofa di seberangnya dan kami saling melempar senyum, kemudian berbagi rasa syukur kami yang dalam.
Jika saya menengok ke belakang, perintah, “Pergilah ke bawah di mana kasih berada,” dapat dikatakan mirip dengan perintah Yesus, “Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah” (Yoh 5:8). Perintah yang sederhana, jelas, dan penuh kasih—didukung oleh kesadaran rohaniah bahwa manusia sebagai anak Allah sudah sempurna dan lengkap. Oleh karena itu perintah tersebut mengandung dorongan, sukacita, dan kekuatan yang diperlukan untuk melaksanakannya.
Saya menelpon penyembuh untuk memberitahukan kesembuhan itu, dan kami pun bersuka cita bersama. Sebagai tambahan, suatu hal yang sangat unik dalam pengalaman itu adalah bahwa kami bertiga—teman yang menunggui saya, teman yang saya mintai tolong sebagai penyembuh, dan saya sendiri adalah penyembuh yang terdaftar di majalah Journal dan saat itu menjabat sebagai Pembaca Pertama atau Kedua di gereja kami masing-masing. Jadi kami bertiga seperti suatu persaudaraan Pembaca/penyembuh yang bersama-sama berdoa menangani masalah tersebut, dan saling mendukung dengan cara yang sekudus-kudusnya.
Karena peristiwa itu terjadi pada Sabtu malam, sebelumnya saya sudah meminta teman saya untuk mencari Pembaca pengganti pada kebaktian pagi keesokan harinya. Tetapi sebelum dia pulang, saya meyakinkannya bahwa saya dapat membaca esok harinya.
Keesokan harinya ketika memberi salam kepada seorang anggota yang datang ke gereja, suara saya terdengar serak. Ketika pergi ke ruang Pembaca untuk berdoa dengan tenang sebelum kebaktian, ada ayat dari Perjanjian lama yang terlintas dalam pikiran saya, seakan Allah sendiri yang mengatakannya: “Aku akan menghabisi sama sekali” (lihat Nahum 1:9, versi King James). Saya yakin sekali bahwa Kasih ilahi akan menyempurnakan kesembuhan itu dan bahwa suara saya tidak akan bermasalah—dan memang itulah yang terjadi. Kebaktian pagi itu terasa sangat kudus .
Sesudah itu, beberapa orang mengatakan bahwa mereka merasakan roh kasih selama kebaktian. Kemudian saya mendengar kabar dari kedua teman saya, bahwa mereka juga merasakan sukacita dan berkat dari kesembuhan tersebut saat membaca di gereja mereka masing-masing di pagi hari yang sama.
Saya sangat bersyukur untuk kasih Allah yang dalam peristiwa tersebut dengan penuh kuasa telah menembus mimpi tentang penderitaan dan memberkati saya dan orang lain.
Sue Spotts
Glastonbury, Connecticut, AS