Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Kebaikan tidak bisa hilang

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 22 Januari 2014

Aslinya diterbitkan di edisi 19 Agustus 2013 majalah Christian Science Sentinel


Seberapa sering kita tergoda untuk merasa bahwa sesuatu yang benar-benar baik telah diambil dari pengalaman kita dan tidak akan pernah kembali? Ketika saya mengalami hal seperti itu, seorang teman menyampaikan ayat Alkitab ini kepada saya: “Allah selalu mengembalikan apa yang hilang” (Pengkhotbah 3:15, Terjemahan James Moffatt). Ayat tersebut memberi saya harapan.

Keadaan kehidupan insani saya kelihatannya cukup memprihatinkan. Suami saya dan saya menghadapi perceraian setelah 30 tahun menikah. Selain itu, karir suami saya hancur dan dia kehilangan pekerjaan. Di usianya, harapan untuk pulih dengan menemukan pekerjaan baru sepertinya tidak mungkin . Rumah kami harus dijual, dan karena situasi ekonomi yang sangat lesu, nilai rumah kami menyusut sehingga menjadi lebih kecil daripada sisa kredit rumah tersebut. Kami hanya berharap dapat menjualnya dengan merugi. Saya tahu bahwa penalaran insani tidak bisa memberikan jawaban yang baik. Semakin saya mencoba untuk memecahkan masalah tersebut, semakin saya merasa putus asa. Seakan tidak ada yang bisa memberikan jalan keluar.

Selama hidup saya, saya telah menjadi pelajar Ilmupengetahuan Kristen, dan saya tahu, bahwa seperti sabda Yesus, “Bagi Allah segala sesuatu mungkin” (Matius 19:26). Begitu saya mulai menegaskan bahwa harapan saya ada di dalam Allah, saya merasakan pengiburan dan damai yang menjadikan saya mampu bergerak maju selangkah demi selangkah dengan Kasih ilahi sebagai pemimpin dalam pikiran saya.

Mary Baker Eddy telah memberikan kepada kita pemahaman rohaniah tentang harapan. Dia menulis di buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci: “Jika harapan dan kecenderungan kita bersifat rohaniah, maka datangnya dari atas, bukan dari bawah, dan sebagai dahulu kala dihasilkannya buah Roh” (hlm. 451). Yang kita perlukan adalah memahami Allah. Mengingat-ingat penderitaan dan kekurangan insani bukanlah termasuk cara untuk mencapai pemahaman tentang Allah. Bagaimana kita meningkatkan pemahaman kita tentang Allah? Jawabannya adalah dengan doa, dan doa lebih dari sekedar mohon bantuan kepada Allah. Dalam berdoa, kita harus percaya sepenuhnya kepada Allah dan mengharapkan kebaikan saja.

Ny. Eddy menjelaskan tentang berpaling dengan sepenuh hati kepada Allah dalam doa: “Satu hal yang sangat saya inginkan, dan sekali lagi saya minta dengan sungguh-sungguh, yakni, agar para pelajar Ilmupengetahuan Kristen, di sini dan di mana pun juga, setiap hari berdoa untuk diri sendiri; tidak dengan bersuara, ataupun dengan berlutut, melainkan secara mental, dengan kerendahan hati, dan dengan mendesak. Ketika hati yang lapar mohon roti kepada Ibu-Bapa yang ilahi, ia tidak diberi batu,—melainkan lebih banyak rahmat, kepatuhan, dan kasih. Jika hati yang lemah lembut dan penuh percaya, dengan tekun memohon Kasih ilahi untuk memberinya makanan berupa roti surgawi, kesehatan, kekudusan, maka hati itu akan disesuaikan agar patut menerima jawaban atas keinginannya; maka ‘sungai suka citaNya,’ pemerintahan Kasih ilahi, akan mengalir kepadanya, dan pertumbuhan yang besar dalam Ilmupengetahuan Kristen akan mengikutinya—yakni, mencari kebahagiannya sendiri dalam kebahagiaan orang lain” (Miscellaneous Writings 1883–1896, hlm. 127).

Meskipun saat itu godaan sangat besar untuk merasa kasihan terhadap diri sendiri, merasa benar sendiri, dan mengkhawatirkan rumah tangga serta keadaan keuangan kami, saya tahu sangatlah penting untuk mengatasi perasaan-perasaan fana tersebut dan menggantikannya dengan apa yang benar tentang manusia. Manusia tidak pernah ringkih. Manusia tidak bisa kehilangan apa yang dikaruniakan Allah kepadanya.

Hari demi hari kekuatan rohaniah serta pemahaman saya akan Allah meningkat. Saya lebih memahami bahwa manusia adalah anak Allah yang terkasih. Saya tahu bahwa saya dapat mempercayai Allah untuk menolong saya. Semakin besar kepercayaan saya kepada Allah, semakin besar pula keyakinan saya bahwa semuanya akan berakhir dengan baik. Saya tidak tahu bagaimana caranya, tetapi saya tahu bahwa saya dapat mengandalkan Allah sebagai penolong yang selalu tersedia.

Saya menegaskan, bahwa Allah, Komunikator yang Agung, berbicara kepada kami secara bersamaan. Apa yang perlu didengar suami saya, akan disampaikan Allah langsung kepadanya, dan apa pun yang perlu saya ketahui, Allah akan memberitahukannya kepada saya secara langsung pula. Hanya ada satu Budi. Sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Yesaya 65:24, “Maka sebelum mereka memanggil, Aku sudah menjawabnya; ketika mereka sedang berbicara, Aku sudah mendengarkannya.”

Meskipun demikian, hal yang paling saya takutkan terjadi saat pernikahan kami berakhir dengan perceraian. Dalam keputusan perceraian tersebut saya antara lain mendapatkan rumah kami, tetapi saya tidak mampu melunasi kredit rumah tersebut, dan bekas suami saya tidak mampu membantu saya membayar cicilan. Tabungan kami dengan cepat menyusut.

Saat itu saya tergoda untuk untuk menjadi sangat berputus-asa serta ketakutan sehingga tidak ingin hidup lagi. Masa depan terasa begitu gelap dan suram. Saya minta bantuan seorang penyembuh Ilmupengetahuan Kristen, yang mengingatkan saya untuk mempelajari nyanyian no 148 ciptaan Anna L. Waring di Buku Nyanyian Ilmupengetahuan Kristen:

Di dalam Kasih suci,
hatiku tak bimbang;
Di sana aman pasti,
Tiada perubahan.

Saya mendambakan damai serta kebahagian yang tidak berubah. Semakin saya menyangkal kepercayaan fana yang suram dan menyatakan kasih yang lebih dalam terhadap Allah, semakin banyak saya mendapati diri saya memaafkan bekas suami saya. Perasaan terluka dan kasihan terhadap diri sendiri digantikan oleh belas kasihan serta kerendahan hati. Saya mencari kebahagiaan saya dalam kebahagiaan orang lain. Saya dapat dengan tulus menginginkan yang terbaik baginya, dan merasakan kasih sayang yang murni terhadapnya.

Ketakutan hapus dari diri saya seperti sinar mentari menghapus kabut pagi. Harapan mulai memenuhi pikiran saya, dan meskipun tidak ada yang berubah, saya merasa bahwa perhubungan saya dengan Allah menjadi lebih kuat dan lebih memberi kepuasan. Kesepian, keraguan, dan kekhawatiran meluangkan tempat untuk damai, sukacita, dan rasa percaya.

Saya tahu bahwa saya dipelihara dengan baik dan merasa pasti bahwa Allah akan memenuhi keperluan saya, apa pun itu. Allah tidak akan pernah meninggalkan saya. Lalu saya memperluas pikiran saya dan menyadari bahwa tidak pernah ada keadaan insani yang dapat dipaksakan kepada diri saya maupun orang lain.

Sebelum tahun itu berakhir, mantan suami saya kembali kepada saya. Dia menceriterakan pertumbuhan rohaniah yang dialaminya dan penyesalannya yang dalam mengenai perpisahan kami. Kami bersatu kembali di atas dasar yang baru. Dari abu perkawinan kami yang gagal, kami tumbuh bersama secara rohaniah. Kami memutuskan untuk menikah kembali. Saat ini pernikahan kami jauh lebih kuat daripada sebelumnya.

Meskipun usianya sudah tergolong lanjut dan sudah dua tahun tanpa pekerjaan, suami saya dihubungi oleh seseorang yang mengenalnya dan memerlukan keakhlian yang dimiliki suami saya, keakhlian yang telah terasah sepanjang karirnya. Suami saya mendapat tawaran pekerjaan yang bagus sekali. Dengan pekerjaannya yang baru, cicilan rumah dapat terbayar dan kami tidak perlu menjual rumah kami. Kami melihat betapa indahnya Allah telah memenuhi setiap keperluan manusia. Kesedihan berubah menjadi harapan dan suka cita.

Sungguh benar, “Allah mengembalikan apa yang hilang.” Apa yang kelihatannya tanpa harapan dan hilang bagi penanggapan kebendaan, dengan jelas terlihat ada dan mungkin bagi penanggapan rohaniah. Kita dapat dengan aman dan berhasil menempatkan harapan kita di dalam Allah.

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.