Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

2010

Saya senang mengendarai sepeda saya—bagi saya hal itu seperti suatu hobi. Pada suatu hari di musim panas tahun 2005, saya mengendarai sepeda saya ke sekolah untuk menjemput putera saya, Kevin.

Orang mengatakan bahwa hampir setiap anak perempuan yang duduk di sekolah dasar memimpikan untuk memiliki kuda, dan hampir setiap remaja putra yang suka atletik memimpikan untuk berlaga di Olympiade dan/atau bermain di liga utama — baseball, rugby, sepak bola, dsb. Tetapi hanya sebagian kecil gadis dan remaja putra itu mencapai keinginannya.

Setelah membaca liputan The Christian Science Monitor  tentang  ledakan bom di beberapa hotel di Jakarta, Indonesia  (“Twin hotel bombings break Indonesia’s four-year calm— Ledakan bom di dua hotel merusak ketenangan yang telah berlangsung empat tahun di Indonesia,”  edisi 17 Juli  2009), hal pertama yang timbul dalam pikiran saya adalah pertanyaan, apakah kita benar-benar harus menerima terorisme sebagi suatu fakta hidup di abad ke 21 ini? Apakah  serangan seperti itu, yang  merusak kehidupan serta berbagai hal yang berguna, tidak dapat dihindarkan? Orang yang sinis mengatakan memang betul demikian. Beberapa pengamat mungkin mengatakan bahwa frustasi di bidang politik, tidak adanya toleransi keagamaan, dan kebencian etnis tidak dapat dihapuskan dari masyarakat kita, dan kita harus sadar bahwa suatu saat, terorisme akan terjadi, secara sporadik dan dahsyat.

Ketika Penyair Mazmur menulis, “Jiwaku tertekan dalam diriku” (Mazmur 42:7), mungkin keadaan hidupnya sedang kurang baik. Mungkin musuh makin mendekat.

Saat pertama kali saya belajar mengetahui dalam Ilmupengetahuan Kristen bahwa ciptaan Allah sepenuhnya bersifat  rohaniah,  saya menduga bahwa diperlukan disiplin—pembelajaran, doa, dan praktek secara terus-menerus—untuk membuktikan setahap demi setahap,  bahwa saya tidak bersifat kebendaan, atau hidup di dalam zat. Ternyata  dugaan saya benar.

Editor Kepala majalah Sentinel mengadakan wawancara dengan Rabi David Louis: Rabi Louis, dapatkan Anda menceritakan sedikit latar belakang perjalanan rohaniah Anda? Apa yang mendorong Anda untuk menjadi seorang rabi? Saya dilahirkan sebagai orang Yahudi di Peoria, Illinois, AS dan orang tua saya memberikan semua pendidikan Yahudi yang tersedia. Saya kuliah di perguruan tinggi saat perang Vietnam sedang berkobar, dan saya kuliah di sebuah universitas terkenal yang saat itu kelihatannya menjadi pusat gejolak.

Pada tahun 1822, seorang wanita muda berkebangsaan Inggris yang bernama Charlotte Elliott bertemu dengan seorang pendeta terkenal berkebangsaan Swis di rumah temannya. Pendeta Henri Cesar Malan bertanya apakah dia seorang Kristen.

Pemberitaan tahun lalu mengenai gempa yang terjadi di Itali dan Cina, dan pemberitaan mengenai gempa yang baru-baru ini terjadi di Haiti, telah mengancam untuk mengguncang mental kita. Baik kita tinggal di negara seperti Jepang yang selalu dibayangi gempa dahsyat,  atau di tempat yang jarang mengalami gempa, peristiwa-peristiwa ini tidak dapat kita anggap enteng.

Dahulu saya sangat mudah tersinggung.   Saya mempunyai harga diri yang sangat tinggi dan sombong.

Bagaimana seandainya ada penangkal bagi setiap penyakit? Lebih baik lagi, seandainya sama sekali tidak ada penyakit? Ini sebuah skenario yang mungkin hanya dapat diangankan orang, terutama dengan adanya kekhawatiran global akhir-akhir ini tentang flu babi, atau H1N1. Meskipun banyak orang dewasa ini mengatakan bahwa penyakit ini bahkan lebih ringan dari flu “biasa”  itu bukanlah alasan yang cukup untuk menerima penyakit apapun.

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.