Setelah membaca liputan The Christian Science Monitor tentang ledakan bom di beberapa hotel di Jakarta, Indonesia (“Twin hotel bombings break Indonesia’s four-year calm— Ledakan bom di dua hotel merusak ketenangan yang telah berlangsung empat tahun di Indonesia,” edisi 17 Juli 2009), hal pertama yang timbul dalam pikiran saya adalah pertanyaan, apakah kita benar-benar harus menerima terorisme sebagi suatu fakta hidup di abad ke 21 ini? Apakah serangan seperti itu, yang merusak kehidupan serta berbagai hal yang berguna, tidak dapat dihindarkan?
Orang yang sinis mengatakan memang betul demikian. Beberapa pengamat mungkin mengatakan bahwa frustasi di bidang politik, tidak adanya toleransi keagamaan, dan kebencian etnis tidak dapat dihapuskan dari masyarakat kita, dan kita harus sadar bahwa suatu saat, terorisme akan terjadi, secara sporadik dan dahsyat. Dan ada pula ungkapan menyedihkan yang mengatakan perasaan sinis hanyalah suatu idealisme yang telah dirampok—menyiratkan bahwa pandangan dunia yang penuh keindahan memang pasti akan membawa kekecewaan dan kepahitan yang ditimbulkan oleh realita kehidupan dunia.
Meskipun demikian hati kita mendambakan suatu jawaban yang lain, sesuatu yang dibangun di atas dasar yang lebih bersifat substansi dari pada idealisme. Timur Tengah, meskipun merupakan tempat kelahiran monoteisme, sudah selama beribu-ribu tahun jauh dari kedamaian, sejak berbagai kekaisaran dan balatentaranya serta faksi-faksi dan gerilya saling berperang tanpa kompromi. Suatu syair yang berasal dari wilayah itu, yang ditulis jauh di masa lalu, menganjurkan bahwa untuk mendapatkan pertolongan yang senantiasa hadir saat ada kekacauan, kita berpaling kepada Allah yang maha-kuasa: “yang menghentikan peperangan sampai ke ujung bumi, yang mematahkan busur panah, menumpulkan tombak, membakar kereta-kereta perang dengan api! Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah! Aku ditinggikan di antara bangsa-bangsa, ditinggikan di bumi! TUHAN semesta alam menyertai kita, kota benteng kita ialah Allah Yakub” (Mzm 46:10-12).
Apakah kita benar-benar harus menerima terorisme sebagai suatu fakta kehidupan di abad yang ke 21 ini?
Sudah pasti kita menginginkan agar perang dan serangan teroris berhenti. Meskipun ada keperluan yang terus-menerus untuk mendeteksi dan menghilangkan sel-sel teroris, dan menghancurkan teknik pencucian uang serta penyelundupan senjata yang mereka gunakan, kita yang tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan seperti itu dapat secara aktif menyatakan kewaspadaan melalui doa. Mazmur yang dikutip sebelumnya lebih daripada idealisme yang penuh pengharapan; hal itu merupakan doa yang dipanjatkan secara khusuk, suatu penegasan bahwa Allah, yang Maha-kuasa, adalah sumber kedamaian. Mazmur itu merupakan batu loncatan bagi doa kita sendiri, di mana kita dapat dengan tegas menyatakan supremasi Yang Mahakuasa. Doa-doa ini, yang seringkali tidak diucapkan, dan dipanjatkan dalam keheningan tempat tinggal dan tempat kerja kita, memiliki efek yang kuat pada suasana pikiran secara umum. Doa-doa itu memalingkan pikiran kepada Allah, mendiamkan ketakutan, dan dapat membantu menyingkapkan rencana jahat—yang didasarkan pada asumsi bahwa Allah tidak maha-kuasa—ke permukaan untuk dideteksi dan dihancurkan.
Mary Baker Eddy, pendiri surat kabar Monitor, banyak menulis tentang kegiatan Kristus dalam menyingkapkan dan menghancurkan kejahatan, dan menekankan bahwa motivasi untuk kegiatan ini harus berasal dari Allah dan bukan dari dasar lain, bahkan bukan dari keinginan insani untuk “berbuat yang benar.” Ia menulis dalam salah satu karyanya yang lebih pendek, “Saat Allah memerintahkan kita untuk menyingkapkan kejahatan, agar kita dapat menghapusnya, kita harus membuka seluruh kedoknya; dan Kasih ilahi akan memberkati upaya ini serta semua yang disentuhnya” (Miscellaneous Writings 1883-1896, hlm. 348).
Doa kita yang menegaskan kemahakuasaan Allah dapat mencapai dunia. Ketika kita mendirikan perlindungan di atas dasar yang bersifat global, maka kita secara proaktif terlibat dalam perjuangan memerangi terorisme. Kita semakin dapat melihat bukti bahwa Allah, Kasih ilahi yang mencakup semuanya—putra-putri-Nya yang kinasih, laki-laki, perempuan, dan anak-anak dari setiap negara dan bangsa dan agama—akan memberkati pekerjaan kita dan umat manusia. Kita tidak saja dapat berharap bahwa tindakan teror dapat semakin terdeteksi sebelum dilaksanakan, tetapi bahwa akar yang menyebabkan terorisme—kemarahan, kebencian, frustasi, ketakutan—akan luluh dalam pelukan Kasih yang bersifat universal dan tidak bersyarat, yang adalah Allah.