Dalam suasana pikiran kolektif yang beredar di dunia terdapat berbagai kepercayaan yang menular. Umumnya orang tidak memahami bahwa penularan bersifat mental dan bahwa menjaga keadaan pikiran sangatlah penting. Mary Baker Eddy yang menulis buku ajar Ilmupengetahuan Kristen, Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, menganjurkan agar kita “berjaga di pintu pikiran” (hlm. 392) sehingga penularan—yang kelihatannya wajar dalam pengalaman insani,—dapat dihindari atau dibuktikan tidak berkuasa. Selanjutnya ia mengatakan, “Kita menangis karena orang lain menangis, kita menguap karena mereka menguap, dan kita sakit cacar karena orang lain dihinggapi penyakit itu; akan tetapi budi fanalah, bukan zat, yang mengandung penularan itu dan menjangkitkannya. Apabila penularan yang bersifat mental itu dipahami, kita tentu akan lebih berhati-hati menjaga keadaan pikiran kita, dan kita akan menjauhkan diri dari mengobrol-obrol tentang penyakit seperti kita menjauhkan diri dari menganjurkan kedurjanaan” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 153).
Dewasa ini, kita terus-menerus mendengar berita tentang resesi ekonomi global—dan kemiskinan yang diakibatkannya di berbagai tempat di dunia. Kita harus waspada dan berjaga di pintu pikiran agar kita tidak terpengaruh oleh kemiskinan dan menerimanya sebagai suatu masalah yang tidak dapat diatasi. Jika kita tidak ingin memberi kuasa kepada kesesatan ini dan mengalaminya di dalam kehidupan kita, maka kita hendaknya menjauhkan diri dari “mengobrol-obrol” tentang hal itu, dan sebaiknya menolak kesejatiannya (termasuk kesejatian segala akibat yang ditimbulkannya).
Saya sering merasa sedih melihat begitu banyak orang di sekeliling saya hidup dalam kemiskinan. Saya ingin sekali membantu mereka keluar dari kemiskinan, atau setidaknya meringankan beban mereka. Tetapi sering timbul pikiran bahwa saya sendiri tidak hidup berkelebihan, dan saya harus berhati-hati dengan pengeluaran saya, jadi bagaimana mungkin saya dapat menolong orang lain? Saya pikir, saya harus berlaku arif dan menutup mata serta telinga, karena bagaimanapun juga setiap orang harus mengerjakan keselamatannya sendiri.
Tetapi kemudian saya sadar bahwa penalaran saya itu keliru dan saya harus menjaga pikiran terhadap penalaran seperti itu. Saya telah membiarkan penularan memasuki kesadaran saya dengan cara mengakui bahwa keterbatasan serta kemiskinan adalah sejati. Sebagai akibat penalaran yang keliru tersebut, saya merasakan dampak resesi ekonomi pada kehidupan saya. Saya mulai mengalami kekurangan, dan merasa bahwa saya tidak mampu membantu sesama. Saya pun sadar bahwa saya harus bangun dan menolak penalaran yang keliru ini sehingga hal itu tidak terus mempengaruhi kehidupan saya.
Saya kenal sepasang suami istri yang sudah lanjut usia dan hidupnya sangat kekurangan. Mereka tidak mempunyai penghasilan dan kadang-kadang hanya makan sekali dalam sehari. Seorang tetangga yang baik hati selalu membawakan makanan bagi mereka. Terlintas suatu pikiran yang mengilhami agar saya membantu dan menyediakan beberapa kebutuhan pokok bagi mereka. Tetapi saya berpikir: “Membantu mereka? Bagaimana mungkin? Saya sendiri kekurangan. Usaha saya tidak menghasilkan uang. Mengapa saya harus membantu mereka?” Tetapi kemudian dua petikan dari Alkitab ini datang dengan jelas sekali: “Aku akan mencurahkan air ke atas tanah yang haus, dan hujan lebat ke atas tempat yang kering. Aku akan mencurahkan RohKu ke atas keturunanmu dan berkatKu ke atas anak cucumu” (Yes 44:3) dan “Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan” (2Kor 9:8).
Janji-janji ini pasti akan dipenuhi. Dan saat penemuhan itu telah tiba! Saya sadar, bahwa saat ini juga berkatNya tercurah bagi anak-anakNya, meskipun harga kebutuhan hidup membumbung tinggi dan kemiskinan ada di mana-mana. Tidak peduli apa pun yang dikatakan pancaindera kebendaan, berkat Allah tidak pernah berhenti.
Saya mulai “berjaga di pintu” pikiran saya, hanya membiarkan masuk pikiran-pikiran yang menyerupai Allah ke dalam kesadaran saya. Saya merasa yakin dapat membantu kedua teman saya yang sudah lanjut usia itu dan berbagi berkat rohaniah dengan mereka.
Kemudian datang pikiran untuk berbagi berkat Allah bukan hanya dengan kedua teman saya itu, tetapi juga dengan beberapa orang lain yang memerlukan bantuan. Dengan pemikiran ini, saya merasa damai, yakin bahwa semua keperluan saya akan dipenuhi.
Keesokan harinya, puteri saya dan suaminya menelpon, memberitahukan bahwa mereka baru saja mengirimkan uang untuk saya. Jumlahnya cukup banyak, dan saya dapat membeli beberapa keperluan pokok bagi teman-teman saya. Usaha saya pun mulai bangkit lagi. Saya sungguh bersyukur telah memperoleh pengertian mengenai kelimpahan Allah dan menyaksikan buktinya yang nyata dalam mengalaman insani.
Sekarang, setiap hari saya berdoa agar dapat melihat bahwa resesi ekonomi global tidak berkuasa memberi dampak kepada kehidupan kita, karena sesungguhnya, berkat dan kasih karunia Allah senantiasa tercurah kepada semua orang. Setiap orang di antara kita dapat menjadi saluran bagi berkat Allah dan membantu orang lain! Saya menemukan bahwa dengan memperaktekkan Ilmupengetahuan Kristen kita dapat melihat bahwa kekurangan tidak berkuasa, dan dampaknya pada kehidupan kita dapat dicegah.