Bagi banyak keluarga kegembiraan saat Natal jauh melebihi kehangatan dan tawa-canda orang-orang yang senang berkumpul bersama.
Tumbuh dengan Ilmupengetahuan Kristen, dan diilhami oleh ibu kami, saudara-saudara saya dan saya merasakan pengaruh ilahi pada hari Natal. Kami merasakan kehadiran Kasih, atau Allah dengan sangat nyata. Lebih dari sekedar merayakan kelahiran Yesus, bagi kami Natal adalah janji mengenai penyembuhan rohaniah bagi semua orang—misi Kristus yang sebenarnya—yang membuat saat kebersamaan kami berarti.
Namun, segera setelah saya menikah dan pindah ke kota yang jauh, saya harus menemukan kembali kasih saya untuk Natal. Suatu pagi saat merasa sangat sedih, saya berpikir mungkin jika saya pergi mengendarai mobil, walaupun hanya di dalam kota, saya akan merasa lebih baik. Saat mengendarai mobil, saya mohon jawaban kepada Allah untuk mengisi kekosongan saya. Saya tahu kasihNya tetap, tetapi saya begitu sedih. Jadi saya menepi ke pinggir jalan dan berteriak, "Bapa, apa yang tidak saya pahami? Saya hanya ingin bersama keluarga saya.”
Tiba-tiba, seperti ada suara, datang perintah ini—Siapkan palunganmu. Dan saya berpikir, "Apakah ini gurauan? Mempersiapkan palungan saya?! "
Biasanya saya tersentuh dan menyukai pesan Allah, tetapi saya ragu bahwa ide ini merupakan jawaban yang saya butuhkan. Jadi saya mengabaikannya. Tapi suara itu datang lagi, dan datang lagi. Siapkan palunganmu.
Saya dibesarkan dengan di kelilingi gudang dan palungan—atau tempat memberi makan hewan—jadi gagasan bahwa Yesus lahir di kandang, dengan palungan sebagai tempat tidurnya, tergambar jelas bagi saya. Saya selalu merasa kagum bahwa bayi Yesus bisa beristirahat di dalam sesuatu yang sangat saya kenal—hanya sebuah kotak kayu sebagai tempat makan bagi hewan. Dan di sebuah kandangi! Jadi konsep mengenai palungan sejak awal memiliki arti khusus bagi saya.
Dan Ilmupengetahuan Kristen telah mengajar saya untuk memahami bahwa Kristus yang menyembuhkan adalah ide ilahi Allah yang tersedia untuk semua anak-anak-Nya. Saya telah mengalami penyembuhan dengan memahami bahwa Allah telah memberi kita masing-masing apa yang kita butuhkan. Saya memahami juga, bahwa tidak seorang pun pernah berada di luar penjagaan dan pemeliharaanNya.
Meskipun demikian, saat saya keluar dari mobil dan berjalan ke sebuah kafe di kota pagi itu, keinginan saya hanyalah melupakan pesan tentang palungan itu. Tetapi saya tidak bisa. Malahan, pesan itu terus datang. Saya menyadari, bahwa palungan adalah lebih daripada sekedar kotak tempat makan, bahkan lebih daripada tempat untuk membaringkan bayi Kristus pada suatu malam berabad-abad yang lalu.
Secara perlahan, saya mulai melihat kesadaran saya sendiri—pikiran saya—sebagai semacam palungan untuk menampung ide-ide yang berasal dari Allah. Saat itu, di sana, di kafe itu, dengan sangat wajar saya merasa diselimuti penghiburan. Pada saat yang sama, saya sadar bahwa saya tidak bisa mengisi palungan saya dengan kesedihan, karena Allah sudah mengisi saya dengan kedamaian dan penghiburanNya.
Pesan itu seakan-akan berkata, "Bersiaplah untuk diisi dengan semua yang disediakan Tuhan." Saat saya bernalar seperti itu, saya merasakan sukacita menyelimuti diri saya. Lalu saya melihat seorang remaja duduk sendiri di sudut kafe. Dia tampak begitu muda, lelah, kedinginan, dan lapar. Saya bertanya apakah ia ingin makan sesuatu.
Segera ia bergabung dengan saya. Namanya Michael, dan dia bercerita tentang masalah dengan ayah tirinya di rumah, bahwa di telah kehilangan seorang saudara, tentang masalah di sekolahnya. Dia sedih dan ketakutan. Sesekali ia mengatakan ingin bunuh diri, karena dia merasa tidak dapat memenuhi harapan keluarganya. Kadang-kadang, dia begitu dikuasai perasaannya.
Saat itu jelas bagi saya bahwa Tuhan merangkul kami berdua. Saya tidak mencoba menemukan jawaban insani untuk pemuda itu. Cara insani seperti itu telah terbukti tidak mengangkat saya dari kesedihan saya, dan saya tahu hal itu tidak akan membawa penghiburan yang langgeng bagi pemuda itu. Selain itu, juga bukan tugas saya untuk memberi penghiburan, karena Allah, Kasih itu sendiri, hadir di sana untuk kami berdua.
Saat saya melepaskan perasaan bahwa saya bertanggung jawab untuk kebahagiaan Michael, saya tergerak untuk mengatakan kepadanya bahwa kami berdua dapat mempercayakan setiap aspek kehidupan kami kepada Allah. Dan sebagaimana saya merasakan sentuhan kasih Allah saat pertama kali duduk di kafe itu, saya mulai melihat perubahan pada diri Michael. Seolah-olah dia memahami ketika saya mengatakan bahwa Allah, Ibu-Bapanya benar-benar mengasihinya. Jelas sekali, fakta rohaniah ini menyentuh kami berdua. Saya melihat wajah Michael menjadi lebih lembut, dan dia menjadi tenang dan menarik napas panjang. Kami membahas bahwa identitasnya dan kemanusiaannya yang rohaniah sebagai anak Allah memberinya kekuatan dan tidak akan mengecewakannya.
Seperti berabad-abad yang lalu ketika pengalaman Yesus di palungan menyatakan curahan Kasih ilahi bagi semua orang, demikianlah Michael dan saya merasakan kuasa penyembuhannya di kafe itu. Kegelapan mental saya lenyap. Saya dipenuhi dengan sukacita dan tiba-tiba merasa nyaman dalam jaminan akan pemeliharaan Allah yang penuh kasih bagi kami berdua. Saya sedang menyaksikan jawaban atas doa-doa saya dan merasa yakin bahwa tidak sorang pun pernah berada di luar kasih Allah.
Michael dan saya berbicara selama sekitar dua jam, walaupun rasanya seperti hanya beberapa menit. Dari tanggapannya, tampaknya dia dapat menerima apa yang saya katakan tentang kedudukannya yang rohaniah sebagai anak Allah. Saat itu merupakan waktu yang indah dan penuh kuasa.
Ketika saya menawarkan untuk mengantarnya pulang, ia minta agar saya menelepon ibunya terlebih dahulu—untuk memastikan orang tuanya menginginkannya kembali. Ketika saya menelepon ibunya, ibunya menangis dan berkata, "Dia sudah hilang selama sepuluh hari. Tolong bawa dia pulang." Michael tidak memberitahu saya bahwa dia lari dari rumah dan tinggal di jalanan.
Ketika sampai di rumahnya, ibunya, ayah tirinya dan saudara perempuannya semua berlari keluar untuk menyambutnya dengan tangan terbuka. Ibunya mengundang saya masuk—dan sukacita yang besar dan kasih yang tulus begitu nyata di tempat itu. Saya bercerita tentang percakapan kami di kafe, tentang Kasih Allah bagi kita semua. Lalu Michael dengan sungguh-sungguh mengatakan kepada orangtuanya bahwa ia sekarang lebih memahami kerohaniannya, dan bahwa dia tidak begitu takut lagi.
Beberapa tahun sesudah itu, setiap hari Natal, suami saya dan saya menerima kartu dari Michael, memberitahu kami apa yang dia lakukan dan bahwa dia sangat bahagia.
Hal itu terjadi bertahun-tahun yang lalu, tetapi merupakan pengalaman yang mengubah hidup saya. Pengalaman itu mendorong saya untuk memperluas pemahaman saya tentang keluarga dengan menjadi relawan di komunitas saya dan menyaksikan Allah mempengaruhi segala sesuatu yang saya lakukan. Tidak terhitung berkat dan penyembuhan yang saya peroleh ketika saya terus mempersiapkan palungan saya untuk menerima ide-Kristus setiap hari.