Ketika mengadakan beberapa perbaikan di rumah kami, salah satu tukang kayu sering berkata kepada temannya, "Ingat, ukur dua kali, potong satu kali."
Suatu hari nasihat tersebut berguna saat saya harus memotong papan dengan tepat untuk diletakkan di dasar lemari. Ukurannya harus tepat sekali. Saya mengukur lebih dari dua kali sebelum mengambil gergaji dan memotong papan. Potongan papan itu ternyata pas sekali.
Ketika harus melakukan perbaikan kecil, kadang-kadang saya bisa melakukannya lebih baik daripada sebelumnya, tetapi saran untuk memikirkannya dengan hati-hati sebelum melakukan sesuatu selalu muncul di pikiran saya. Teman kami, tukang kayu itu, akan menambahkan, "Anda dapat memotong papan agar menjadi lebih pendek, tetapi tidak lebih panjang."
Pepatah "ukur dua kali" juga dapat diterapkan untuk berpikir dua kali sebelum berbicara. Betapa sering kita berharap dapat berpikir dua kali sebelum melontarkan ucapan menyakitkan yang sulit untuk ditarik kembali? Bukankah kita lega ketika berhasil menahan kritik atau pendapat tentang seseorang, dan kemudian menyadari bahwa kita salah atau bahwa tuduhan kita itu tidak benar? Bukankah kita semua pernah menyesal mengatakan sesuatu yang menyakitkan, dan berharap telah bersikap lebih arif sebelum berbicara atau menyebarkan desas-desus yang tidak berdasar? Sungguh jauh lebih membantu jika setiap orang yang terlibat menunggu untuk dapat mengucapkan kata-kata ramah yang tidak perlu ditarik kembali.
Bagaimana kita dapat melakukan hal ini dengan lebih baik? Melalui doa yang bijaksana dan penuh kasih, yang mengakui bahwa kita masing-masing sesungguhnya adalah anak Allah yang sempurna, bukan manusia fana yang tidak sempurna. Kita dapat mengakui identitas seseorang dengan benar sejak awal. Melalui doa, kita dapat menyadari sampai taraf tertentu, bahwa Allah-lah yang menciptakan manusia, pria dan wanita. Ciptaan Allah bukanlah manusia fana yang bercela, melainkan bersifat rohaniah, dan mewakili kehendak ilahi. Ciptaan yang sejati ini tidak berdosa atau jahat, melainkan adalah pernyataan kesucian dan kebenaran; tidak bodoh, tetapi mulia dan jujur. Kondisi sempurna anak-anak Allah ini adalah kesejatian setiap orang, tak peduli bagaimana kita melihat diri kita atau orang lain secara insani.
Apakah tidak mengkritisi berarti tidak pernah berbicara kepada teman untuk menunjukkan beberapa kesalahan yang telah diperbuatnya? Tidak sama sekali. Kadang-kadang dibutuhkan lebih banyak kasih untuk dengan halus menunjukkan kesalahan teman kita daripada tetap diam demi perdamaian palsu. Tetapi hal itu dapat dilakukan dengan penuh kasih, bukan agar semua orang tahu kesalahan orang lain.
Kristus Yesus, yang hidupnya sarat dengan kata-kata dan perbuatan yang penuh kasih, mengatakan sesuatu yang kemudian dikenal sebagai kode Matius, "Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali" (Matius 18:15).
Kunci untuk “mengukur dua kali” sebelum berbicara adalah memastikan bahwa kata-kata kita menghasilkan kebaikan, tidak melukai. Meskipun kata-kata yang melukai dan menyakitkan dapat dimaafkan, kadang-kadang kata-kata itu sulit ditarik kembali, seperti sulit untuk merekatkan kembali sepotong kayu ke ujung papan yang telah digergaji sembarangan.
Mary Baker Eddy, pendiri surat kabar Monitor, menulis dalam sebuah puisi berjudul "Kasih":
KuasaMu harapanku
Menghilangkan benci,
KasihMu daya hidupku,
Kar’na Hidup Kasih;
Dan hidup terindah bila
Terasa kasih sesama
(Buku Nyanyian Ilmupengetahuan Kristen, no 30).
Dan kitab Ayub menyatakan, "Ajarilah aku, maka aku akan diam; dan tunjukkan kepadaku dalam hal apa aku tersesat. Alangkah kokohnya kata-kata yang jujur!” (Ayub 6:24, 25). Sebelum kita membuka mulut untuk berbicara, kita dapat mempertimbangkan dengan masak bahwa kita telah mengukur kata-kata kita dengan hati-hati. Dan kita akan mengetahui bahwa kita sudah melakukannya jika kata-kata kita adalah apa yang perlu kita dengar sendiri dalam semangat persaudaraan Kristen.