Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Di atas tebing yang tinggi dengan malaikat kami

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 1 Desember 2010

Diterjemahkan dari Christian Science Sentinel, edisi  12 April 2010


Di sana kami berdiri, saya, putri saya Tamara, dan kedua anaknya yang masih kecil, Natasha dan Nico, di atas suatu mesa (tebing dengan permukaan datar) yang menjulang tinggi di daerah bebatuan merah yang indah di Sedona, Arizona. Tidak ada jalan turun yang jelas. Hari sudah senja dan kami tidak dapat turun melalui jalan yang kami lalui saat mendaki. Selagi kami mencari jejak, awan hitam dan kilatan guntur mulai tampak di ufuk barat. Badai gurun bergerak dengan cepat dan kami tidak siap menghadapinya. Saya takut dan khawatir: Bagaimana kalau kami terjebak di sini? Bagaimana kalau kami tidak dapat turun sebelum malam tiba? Bagaimana kalau kami tertimpa badai malam ini?

Kisah mengenai bagaimana kami keluar dari situasi yang mencekam ini adalah salah satu dari “kisah malaikat” kesukaan saya. Sore hari itu kami menelusuri jalan baru—suatu jalan menanjak yang landai menuju tingkat terendah dari suatu mesa bertingkat tiga yang sangat besar. Natasha, yang ketika itu berumur delapan bulan, duduk dalam gendongan di punggung Tamara; dan Nico, yang berumur empat tahun berjalan dengan saya. Sore hari adalah waktu terbaik untuk menyaksikan keindahan seluruh lembah, ketika matahari yang mulai terbenam menyinari formasi megah bebatuan merah dengan warna-warna indah di atas kehijauan pohon-pohon pinus dan cemara.

Karena belum pernah mendaki jalan ini, saya takjub melihat ketinggian yang telah kami capai. Tapi segera jalan itu berakhir di bawah tembok batu yang tinggi. Tampaknya kami “terjebak di antara batu dan tempat yang sulit,” karena terlalu licin untuk turun melalui jalan yang sama. Kami memerlukan suatu rencana yang baru.

Tamara, yang juga sangat religius, dan saya mulai berdoa dalam hati, dengan cara kami masing-masing. Suatu petikan dari  buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan timbul dalam pikiran saya, sesuatu yang merujuk kepada “sifat kehadiran Allah yang dilambangkan oleh Gabriel” (hlm. 567). Kemudian sebuah bait  dari Buku Nyanyian Ilmupengetahuan Kristen: “Tuhan kirim malaikatNya, / Penghibur, penjaga, / Pembimbing umatNya” (Violet Hay, No. 9). Saya merasakan suatu perlindungan dan ilham yang menenteramkan dari pemikiran tentang malaikat Gabriel yang dalam Ilmupengetahuan dan Kesehatan secara rohaniah dicirikan sebagai “menyampaikan kepada kita suatu keinsafan akan keselaluhadiran Kasih yang bersifat melayani” (hlm. 567).

Selagi kami berdoa, seorang pendaki muncul di puncak mesa. Ia menyarankan agar kami naik lebih tinggi dan ia menunjukkan tangga alami di antara bebatuan untuk kami daki. Ia juga mengatakan bahwa ada “jalan ke bawah yang lebih mudah” di sisi lain mesa itu. Baru sekarang kami mengetahuinya!

Tamara dengan hati-hati menaiki tebing dengan bayi  di punggungnya. Segera ia mencapai puncak mesa dan menolong Nico dan saya ke atas. Hampir tak percaya bahwa kami berhasil melakukannya, kami pun bersyukur kepada Allah untuk pesan-pesan malaikatNya yang mengangkat semangat kami. Anak-anak tetap tidak takut dan menginginkan camilan. Sambil beristirahat di mesa yang berada di tengah, kami pun mengira bahwa inilah “petualangan” kami untuk wisata ini, karena setiap wisata memerlukan petualangan.

Mesa tempat kami duduk ini sangat tinggi—hampir setinggi gedung bertingkat sepuluh. Secara bergantian kami menjaga anak-anak sambil mencari jalan di sisi lain mesa tersebut, tapi kami tak dapat menemukannya. Meski pemandangannya sangat indah, sepadan dengan usaha pendakian itu, namun hari semakin senja dan kami harus segera kembali. Kami berdoa lagi untuk mendapat bimbingan. Saya memikirkan suatu kalimat dari Alkitab yaitu, “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu” (Ams  3: 5,6). Dan saya terus mengingat kata-kata, “Sifat kehadiran Allah yang dilambangkan oleh Gabriel.”  Ketika saya berbagi “pikiran-pikiran tentang Gabriel” ini dengan Tamara, ternyata doa-doanya pun berfokus pada malaikat, dan hal ini kami rasakan sebagai lebih daripada suatu kebetulan.

Kami terus mencari jalan, tetapi tetap tidak dapat menemukannya. Saya menjadi semakin cemas. Kami membicarakan penjagaan Allah yang penuh kasih bagi kami,  bahkan di mesa yang tinggi itu, yang dinyatakan dalam “pikiran tentang Gabriel” yang terus menerus datang.

Saya berdoa, “Marilah, Gabriel, bimbinglah kami. Jalan itu ada di suatu tempat di sini. Kami tak dapat turun melalui jalan yang kami naiki, jadi kami mendengarkan petunjuk untuk langkah yang berikutnya.”

Saat itulah kami melihat badai di kaki langit. Kami mulai mengemasi barang-barang, dan dengan tenang mengatakan kepada anak-anak bahwa sudah waktunya untuk berangkat. (Ke mana dan bagaimana, kami tidak tahu.) Saya berpegang pada kata-kata, “Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban” (2Tim 1:7). Dan sedang saya terus berdoa, saya merasakan kembali kehadiran Gabriel, keselaluhadiran Kasih ilahi, yang ditegaskan dengan harapan yang diperbaharui. Tamara dan saya mengharapkan kebaikan dan percaya pada perlindungan Allah. Kami akan mendapatkan jawaban saat diperlukan—selangkah demi selangkah. Namun ketika guntur menggelegar bersahut-sahutan dan angin bertiup semakin kencang, anak-anak mulai merasa takut. Kami berdiri di sana tidak tahu harus ke mana!

Pada saat itulah, kami mendengar teriakan, “Kalian sedang apa di sini?” Seorang pemuda menghampiri kami dari belakang tembok batu, dengan wajah khawatir. Dengan perasaan sangat lega, kami segera menjelaskan masalah kami dan meminta pertolongannya.

 “Tidak masalah; kalian menemukan orang yang tepat!” jawabnya sambil tersenyum. Ia menjelaskan bahwa ia sering mendaki di daerah ini dan mengenal setiap jalan setapak, dan saat ini bekerja sebagai pemandu untuk membiayai kuliahnya.

Ia memindahkan gendongan bayi ke punggungnya dan menggandeng Nico sambil berkata kepadanya agar jangan melepaskan gandengannya. Tamara dan saya mengikutinya menuju mulut jalan setapak itu (yang lokasinya sama sekali tidak terduga). Sambil mendaki kami memperkenalkan diri dan mengatakan bahwa ia adalah “malaikat kami,  jawaban atas doa kami.”  Ia menjawab bahwa ia tidak berencana kembali ke mesa dan bahwa kejadian ini  “sangat aneh”—namun ia sangat gembira telah menemukan kami sebelum badai tiba, “karena akibatnya mungkin akan sangat... .”

Ia tidak melanjutkan kalimatnya. Kami mengerti maksudnya.

Dengan perlahan turun menuju tanah yang padat, ia mengajak anak-anak melakukan suatu “petualangan.” Nico dan dia adalah “Power Rangers” dan Natasha adalah “sumber energi” di punggungnya,  mereka dalam misi untuk menyelamatkan Ibu dan Nenek! Mereka sangat bersemangat. Sambil bergandengan, Tamara dan saya mengikuti mereka. Kami terus mengucapkan syukur dengan takjub, “Dapatkah Allah mengirimkan orang yang lebih tepat kepada kami?”

Sambil terus berjalan, “Malaikat” menceritakan kepada kami bagaimana ia sampai datang ke situ. Ia naik ke atas mesa pagi itu lalu mendaki seharian. Ketika mengemudikan mobilnya pulang ia mendengarkan laporan cuaca sambil membayangkan mandi dengan air hangat dan makan malam. Kemudian, katanya, suatu pikiran yang mengagetkan, “entah dari mana” menyuruhnya kembali dan mendaki mesa yang rendah.  Reaksinya adalah, “Tidak! Mengapa saya harus melakukan hal itu lagi? Tidak masuk akal!” Tapi, katanya, pikiran untuk kembali ke mesa terus datang kepadanya sampai hal itu terasa sebagai suatu “perintah yang tidak dapat dibantah.” Jadi dengan enggan ia memutar mobilnya kembali ke areal mesa. Saat itu matahari mulai menghilang di balik awan-awan tebal. Sudah pasti dia tidak akan menceritahukan hal ini kepada teman-temannya, pikirnya!

Ketika memarkir mobilnya, ia melihat mobil kami dan berpikir bahwa hal itu aneh, karena para pendaki telah meninggalkan tempat tersebut mengingat badai akan datang. Dengan menggenggam lampu senter, ia menaiki jalan setapak, sambil menggerutu pada dirinya sendiri karena membuang-buang waktu—seharusnya ia sudah sampai di rumah!

Setibanya di puncak mesa, ia berjalan mengelilingi tembok batu yang menuju bagian depan mesa yang terbuka, dan dia  “sangat terkejut”  melihat kami semua berdiri di sana seakan-akan menunggu kedatangannya.

“Kalian tampak seperti melihat suatu penampakan ketika saya berjalan mendekati kalian,” katanya. Tentu saja ketika ia menemukan kami, menjadi jelas baginya mengapa ia kembali ke tempat itu. “Saya tidak menyangka masih ada orang di sini. Tapi saya tidak mengerti. Apa yang telah membuat saya berbuat demikian?”

Kami mengatakan bahwa kami percaya Allah, kecerdasan ilahi, menjangkaunya dengan ide-ide yang benar dan menuntunnya untuk memenuhi kebutuhan kami, dan ia tampaknya dapat menerima pemikiran itu. Kami semua sependapat bahwa penyelesaian ini jauh daripada  sekedar kebetulan saja!

Di  pelataran parkir, saat berlari menuju kendaraan kami masing-masing untuk menghindar dari hujan yang mulai turun, saya menyadari bahwa kami belum menanyakan namanya. Saya berteriak memanggilnya, “Hei, “Malaikat,” kami akan selalu mengingat Anda, tetapi siapakah nama Anda sebenarnya?”

Di tengah angin kencang, ia meneriakkan jawabannya, “Saya juga akan mengingat kalian. Nama saya Gabriel!”

Saya takjub. Sekarang saya mengerti mengapa kalimat dari buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan,  “Sifat kehadiran Allah yang dilambangkan oleh Gabriel,” timbul dalam pikiran  saya selama kejadian itu. Semua ini sangat berhubungan dengan perlindungan dan penyelamatan kami, secara insani maupun secara rohaniah. Fokus kepada “malaikat” dalam doa-doa kami sungguh masuk akal.

Sambil saling membunyikan klakson  sebagai salam perpisahan, kami berangkat menuju motel kami, dan hujan mulai turun dengan deras. Begitu kami masuk kamar, badai pun menerjang dengan dahsyatnya dan hal ini berlangsung sepanjang malam. Menurut laporan, itu adalah badai musim semi terburuk di daerah itu selama beberapa tahun terakhir.

Didorong keinginan untuk lebih memahami pengalaman kami, saya mencari rujukan mengenai Gabriel yang telah datang dalam pikiran saya ketika berada di mesa. Kalimat lengkapnya berbunyi demikian, “Sifat kehadiran Allah yang dilambangkan oleh Gabriel tidak mengenal perjuangan.” Nah, itulah jawabannya! Peristiwa di mesa itu benar-benar merupakan pengalaman bersama malaikat.


Sharon McNott dan suaminya pindah ke Washinton, DC, AS untuk menjalani masa pensiun, pada tahun 2006 setelah menetap di California Selatan selama 40 tahun. Mereka berdua gemar berwisata dan menjadi sukarelawan. Mereka mempunyai dua orang anak dan empat orang cucu.

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.