Dahulu saya sangat mudah tersinggung. Saya mempunyai harga diri yang sangat tinggi dan sombong. Jika orang mengeritik saya, saya langsung marah sekali; juga jika seorang teman secara tidak sengaja mengatakan sesuatu yang tidak berkenan di hati saya, saya langsung “ngambek” dan tidak mau berbicara dengannya. Jika seorang kenalan mengadakan perhelatan, dan saya tidak diundang, saya merasa sangat terluka. Saat itu saya merasa bahwa sifat mudah tersinggung dan harga diri yang berlebihan itu wajar dan tidak salah. Saya pikir sifat-sifat itu merupakan pemberian Tuhan yang sudah saya miliki sejak saya lahir.
Kadang-kadang sifat pemarah itu saya pendam dalam hati. Tetapi lama kelamaan apa yang saya sangka dapat membuat hati dan perasaan saya puas, menjadi beban bagi diri saya. Saya hanya merasakan kepahitan, kejengkelan, dendam, dan kemurungan. Saya selalu menyalahkan orang lain. Kehidupan saya menjadi sulit, penuh penderitaan dan masalah. Saya menjadi budak dari keinginan membalas dendam untuk memuaskan hati saya. Saya menderita berbagai penyakit menahun dan dokter menjadi langganan tetap saya. Kekurangan keuangan menjadikan saya pusing. Untuk meminjam uang saya tidak mau karena harga diri saya merasa terhina. Mengeluh, bersungut-sungut, mengumpat menjadi sahabat saya. Saya merasa, Tuhan mengizinkan keadaan seperti itu, dan mau tidak mau saya harus menjalaninya.
Sampai suatu saat pada akhir tahun 1966, di kota tempat saya tinggal waktu itu, Yogyakarta, diadakan ceramah Ilmupengetahuan Kristen. Salah seorang sahabat saya menghadirinya, dan mendapat kesembuhan serta-merta dari penyakit jantung yang dideritanya. Tidak disangka-sangka, sahabat saya itu memberikan buku Kesatuan Kebaikan, karya Mary Baker Eddy, kepada saya. Ia menyarankan agar saya membacanya. Dia mengatakan bahwa saya akan menemukan siapa sebenarnya diri saya, dan menjadi orang yang merdeka. Kata merdeka itu menarik perhatian saya, karena selama itu saya menjadi orang yang terjajah oleh keakuan saya sendiri. Benar saja, setelah saya membaca dan mempelajarinya, buku Kesatuan Kebaikanitu mengubah cara berpikir saya tentang Tuhan yang mahabesar, yang dulunya saya sangka juga menciptakan hal-hal yang tidak baik, seperti dosa, penyakit, dan maut. Buku itu merupakan terobosan bagi saya untuk mencapai Tuhan, mencapai Kebenaran, Hidup, dan Kasih. Tuhan terlalu suci untuk melihat kejahatan, demikian dinyatakan dalam Alkitab. Seperti matahari yang merupakan sumber terang dan energi, demikianlah Allah tidak mengenal malam atau kegelapan. Matahari tidak terpengaruh oleh perputaran bumi, dan ini merupakan fakta yang ilmiah. Demikian pulalah dengan kehidupan kita: Allah memberikan terang dan kesehatan, dan tidak sesuatu pun yang lain dapat mempengaruhi kita.
Berkat buku Kesatuan Kebaikan, saya juga mempelajari Alkitab yang tidak pernah saya kenal sebelumnya, juga buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, karya Mary Baker Eddy. Dalam buku ini diterangkan bahwa Allah tidak ada dalam suatu bentuk jasmaniah—Ia adalah Roh yang baka dan tidak berhingga, bersifat baik semata-mata, selalu hadir, dan manusia diciptakan menurut gambar dan keserupaan-Nya—ini merupakan kesejatian mengenai saya, dan setiap orang lain.
Saya belajar mengetahui bahwa keakuan saya yang hakiki adalah gambar dan keserupaan Allah, yang tidak pernah tersentuh atau dipengaruhi oleh keadaan dunia yang kebendaan atau apa yang dikatakan orang. Harga diri saya datang dari Allah, dan senantiasa baik. Kemarahan bukanlah sifat Tuhan yang adalah Kasih yang selalu hadir dan mengendalikan keadaan. Saya menjadi lebih bersifat pengasih dan penuh pengertian.
Saya juga sembuh dari berbagai penyakit yang saya derita secara berkala dan menahun ketika saya menyadari bahwa penyakit tidak pernah diciptakan oleh Tuhan yang adalah Kasih dan yang hanya mengaruniakan kesehatan yang sempurna. Kecukupan, bukan kekurangan, sekarang menjadi sahabat saya.
Berkat yang melimpah tercurah setelah mempelajari buku Kesatuan Kebaikan, bukan hanya bagi diri saya: tidak lama setelah kesembuhan yang saya alami, kawan-kawan yang tergabung dalam komunitas kecil yang mengalami kesembuhan dengan mempelajari ajaran Mary Baker Eddy, bermaksud membangun sebuah gereja Ilmupengetahuan Kristen. Itulah cikal bakal berdirinya Gereja Ilmupengetahuan Kristen di Yogyakarta. Kami mengadakan kebaktian hari Minggu dan pertemuan kesaksian Rabu sore. Banyak orang yang bergabung dengan gereja ini mengalami kesembuhan—baik dari penyakit, kekurangan, ketidakbahagiaan, maupun dari perhubungan yang tidak selaras.
Sekarang saya tidak lagi tinggal di Yogyakarta dan bukan aggota Gereja di sana. Saya pindah ke Jakarta dan menjadi anggota Gereja di Jakarta. Tetapi, dengan kenangan yang indah, saya mengingat teman-teman saya di Yogyakarta. Dengan penuh rasa syukur saya berpegang kepada apa yang saya peroleh dari ajaran-ajaran Ilmupengetahuan Kristen, yang berlaku bagi semua orang, di Yogyakarta, di Jakarta, dan di manapun juga. Saya sangat menyukai ayat Alkitab ini: “ … kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yoh. 8:32); dan petikan berikut dari Ilmupengetahuan dan Kesehatan: “Bagi orang, yang bersandar kepada yang tidak berhingga, yang memelihara segala-galanya, masa kini melimpah-limpah berkatnya” (hal. vii). Saya sangat bersyukur mendapat kesempatan yang sangat berharga untuk mempelajari Ilmupengetahuan Kristen.
Jakarta, Indonesia