Ketika baru mempelajari Ilmupengetahuan Kristen kita belajar suatu aturan yang sangat penting tetapi sederhana. Jika kita telah melakukan semua yang bisa kita lakukan dalam kemajuan rohaniah kita saat itu dan berpaling kepada Allah untuk mendapatkan bimbingan, kita dapat merasa yakin bahwa, sebanding dengan kerendahan hati serta pengharapan tulus yang kita nyatakan, kita akan menerima pemenuhan akan janji (Lukas 11:9), “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu.” Baik orang yang baru mempelajari Ilmupengetahuan Kristen maupun pekerja yang sudah berpengalaman boleh menggunakan aturan Sang Guru yang sederhana ini, yang diikuti Sang Guru sendiri dengan tekun, karena pertolongan Allah selalu tersedia.
Ketika bekerja beberapa lama tanpa hasil untuk mengatasi suatu kasus penyakit kronis yang berat, penulis menyadari bahwa dia telah sampai kepada batas pemahaman yang dapat dibuktikannya, oleh karena itu ia berpaling dengan sepenuh hati kepada Allah untuk mendapatkan ilham serta bimbingan. Ketika berdoa dengan tekun dan penuh percaya, nasehat Polonius kepada Laertes dalam ceritera “Hamlet” datang dengan jelas ke dalam pikirannya,
Inilah yang terutama: jujurlah kepada dirimu sendiri
Maka dapat dipastikan, seperti malam mengikuti siang,
Engkau tidak dapat berdusta kepada siapa saja.
Mula-mula kata-kata tersebut seakan tidak relevan, tetapi karena terus-menerus datang, penulis memikirkan pesan itu secara mendalam.
Apakah diriku sendiri itu? ia bertanya. Dengan segera datang jawaban, Diriku yang sejati adalah gambar dan keserupaan Allah, manifestasi dan pernyataan dari sifat Allah. Manusia yang adalah ide Budi, adalah sempurna karena Penciptanya sempurna, suatu kesempurnaan yang berkali-kali disebutkan dalam Alkitab dari nyanyian Musa (Ulangan 32:4), “Gunung Batu, yang pekerjaan-Nya sempurna,” sampai kepada peringatan lembut Sang Guru (Matius 5:48), “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna."
Pemimpin kita yang terkasih, Mary Baker Eddy, berkata dalam buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci (hlm. 475): “Manusia ialah ide, yakni gambar, akan Kasih; ia bukan suatu susunan jasmaniah. Ia adalah paduan ide akan Allah, yang meliputi sekalian ide yang benar; istilah umum untuk segala yang mencerminkan gambar dan keserupaan Allah; identitas yang sadar akan wujud, sebagai yang kedapatan dalam Ilmupengetahuan, yang menyatakan bahwa manusia adalah cerminan Allah, atau Budi, dan oleh karena itu bersifat abadi; itulah yang tidak mempunyai budi yang terpisah dari Allah; yang tidak mempunyai satu sifat pun yang tidak berasal dari Ketuhanan; yang tidak mempunyai hidup, kecerdasan, ataupun daya cipta sendiri, melainkan mencerminkan secara rohaniah semua yang dimiliki Khaliknya.”
Maka, untuk jujur kepada keakuan ini, kita tidak boleh mengetahui keakuan yang lain kecuali manusia yang sejati dan rohaniah; kita harus selalu ingat kebenaran mutlak tentang wujud kita; kita tidak pernah boleh membiarkan kepercayaan yang sekecil-kecilnya mengenai keterpisahan dari Kebenaran dan Kasih memasuki kesadaran kita; kita harus menuntut dengan kuat kesempurnaan yang merupakan hak kita sebagai anak dari Allah yang esa dan sempurna; kita harus menerima warisan kita yang tidak terbatas akan keselarasan, sukacita, damai, dan kuasa.
Nah kalau kita melakukan hal ini, maka kita akan segera melihat bahwa karena kita adalah pernyataan individual Allah, sesama kita pun demikian, mempunyai perhubungan dengan Allah sama seperti kita sendiri. Jika kita melihat bahwa sesama kita murni bersifat rohaniah, pernyataan dan manifestasi Allah, maka kita tidak berdusta melainkan jujur terhadapnya dalam mengetahui wujudnya yang sejati.
Satu-satunya cara kita dapat berdusta terhadap sesama kita adalah kalau kita gagal mengenalnya sebagai anak Allah, gambar Kasih, sempurna karena Allah adalah sempurna. Kalau kita gagal untuk melihat sesama kita seperti itu, maka kemungkinan kita akan melihatnya sebagai manusia fana yang sakit, berdosa, atau terbatas, suatu pandangan, yang dalam kepercayaan, merampasnya dari kedudukannya yang sah serta kuasanya, dan mengakui bahwa dia tunduk kepada segala penderitaan yang timbul dari pandangan yang khayal dan keliru seperti itu. Karena terbelenggu dan terjerat dalam khayalan seperti itu, kita tidak bisa membantu sesama kita.
Saat penulis sampai pada penalaran ini makna dari perkataan Yesus (Yohanes 10:30), “Aku dan Bapa adalah satu," mulai menjadi jelas baginya. Dengan rasa syukur dia membaca lagi pernyataan yang dalam dari Pemimpin kita di halaman 476 dan 477 buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan: “Dalam Ilmupengetahuan Yesus memandang manusia yangsempurna, yang nampak baginya, tempat manusia fana melihat seorang yang berdosa dan fana. Pada manusia yang sempurna ini Juruselamat melihat keserupaan Allah sendiri, dan pandangan yang betul akan manusia itulah yang menyembuhkan orang sakit.”
Yesus dapat melihat kesempurnaan manusia karena, lebih dari siapa pun juga, ia dengan jelas melihat kedudukannya sendiri sebagai anak Allah, dan dengan demikian jujur kepada dirinya sendiri. Menyadari kedudukannya sebagai anak Allah ini merupakan sumber dari penguasaan serta kekuasaannya yang tak tertandingi, yang membimbingnya kepada pembuktian yang semakin kuat akan Hidup, Kebenaran dan Kasih ilahi, sampai akhirnya ia membuktikan kemenangannya yang mutlak atas maut dan kubur.
Pada saat inilah, ketika saya menyadari dengan jelas kesatuan manusia dengan Allah saya menerima telepon bahwa pasien saya sudah sembuh dengan tuntas. Itu adalah bukti yang wajar akan pemahaman si pelajar mengenai kedudukan sesama manusia sebagai anak Allah yang sempurna.
Dengan kerendahan hati dan sukacita marilah kita berjaga dan berdoa agar kita selalu jujur kepada diri kita yang sejati dan rohaniah sehingga kita dapat melihat sesama kita dalam kedudukannya yang sesungguhnya. Maka kita akan menyatakan kuasa serta kewibawaan atas segala kejahatan seperti yang dijanjikan Yesus, dan kita akan membantu menyembuhkan ketakutan serta penderitaan umat manusia.