Waktu masih anak-anak, di Sekolah Minggu, saya belajar untuk menghafal Aturan Kencana, yang terdapat di Khotbah di Bukit di dalam Alkitab (lihat Matius 5:3-12), tetapi baru bertahun-tahun kemudian saya menyadari secara mendalam, bahwa Aturan Kencana, jika dipraktekkan dalam hidup kita, memperbaharui pemikiran kita sehingga kita menyatakan “pikiran Kristus” (1 Kor. 2:16). Setiap Aturan Kencana mencakup pertumbuhan dalam kasih karunia dan menunjukkan, bukan suatu pahala di masa depan, melainkan berkat yang sudah ada, dan disediakan Allah.
Meskipun jika dilihat sekilas, beberapa dari pernyataan yang disampaikan Yesus Kristus kepada orang banyak ini, mungkin terasa bertentangan dengan naluri kita, saya menemukan bahwa hal itu tidak demikian. Aturan Kencana yang pertama menyatakan, “Berbahagialah” mereka yang “miskin di hadapan Allah.” Ini sulit diterima sebagai suatu keadaan yang baik! Tetapi Aturan Kencana ini ada kelanjutannya, “karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” Bagi saya kelihatannya ucapan Yesus itu menunjukkan kepada kita kesadaran bahwa jika kita miskin di hadapan Allah—merasakan ketidakpuasan serta kekosongan dari kehidupan yang kebendaan—kita siap untuk mempertimbangkan serta memahami kesejatian kehidupan rohaniah yang hadir saat ini dan suka cita yang menyertainya. Dengan cara ini, maka saat manusia habis akal, maka ia benar-benar tawakal.
Aturan Kencana berikutnya, “Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur,” menunjukkan kepada kita bahwa meratapi hal-hal yang tidak kita miliki dan tidak kita temukan dalam zat—kesehatan, kebaikan, kasih—membuka pikiran kita bagi pemahaman bahwa kerohanian adalah satu-satunya harta yang layak menjadi milik kita. Buku ajar Ilmupengetahuan Kristen, Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci karangan Mary Baker Eddy, menjelaskan, “Apabila orang sakit atau orang berdosa bangun menginsafi keperluannya akan yang tidak dimilikinya, maka terbukalah hati mereka bagi Ilmupengetahuan ilahi, yang gaya beratnya menarik menuju Jiwa dan menjauhkan dari penanggapan kebendaan — yang memalingkan pikiran dari tubuh, dan bahkan mengangkat budi fana untuk merenungkan sesuatu yang lebih baik daripada penyakit atau dosa” (hlm. 323). Tepat di saat kita meratap, kita dapat menemukan, melalui penanggapan rohaniah, perhubungan kita yang tidak bisa diputuskan dengan Allah, Kasih ilahi, yang memberi kita kesehatan, kebaikan, dan kenyamanan, dan itu adalah sesuatu yang diberkati!
Aturan Kencana berikutnya menyatakan, “Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.” Bersifat lemah lembut adalah bersabar dan tidak memiliki kecenderungan untuk marah atau membenci. Kelemah-lembutan berarti kita siap melepaskan penilaian yang bersifat kebendaan semata tentang apa yang sejati dan baik, dan memahami serta mewarisi kerajaan Allah yang bersifat rohaniah, keselarasanNya, di mana kita temukan kebaikan yang benar-benar kokoh dan bersifat langgeng. Apabila kita dengan rendah hati melepaskan siasat serta perencanaan kita sendiri untuk menciptakan atau memelihara kebaikan, kita mulai bersandar sepenuhnya kepada Allah dan memahami bahwa kebaikan merupakan bagian dari kasih karuniaNya yang senantiasa tersedia.
Kebenaran merupakan langkah penting yang lain dalam perkembangan Kristiani, sebagaimana kita baca dalam Aturan Kencana berikutnya, “Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.” Kebenaran berkaitan dengan bertindak adil dan atas dasar moralitas, alih-alih pertimbangan yang mementingkan diri—menjalani hidup dengan menanggapi kebaikan Allah yang tanpa syarat. Kehidupan seperti itu menghasilkan buah—“buah Roh” yang oleh penulis kitab Galatia di Alkitab dijelaskan sebagai “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” (5:22, 23). Gambaran mengenai orang yang lapar dan haus menyiratkan suatu keinginan yang kuat dan terus-menerus, yang ditunjukkan dalam upaya kita untuk menyatakan lebih banyak kebaikan ilahi dalam kehidupan kita sehari-hari.
“Berbahagialah orang yang murah hatinya,” demikian dinyatakan dalam Aturan Kencana berikutnya, “karena mereka akan beroleh kemurahan.” Kemurahan hati menyatakan kebaikan Kasih ilahi yang “menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” (Matius 5:45). Berkat ini merupakan sesuatu yang melekat—apabila kita murah hati, kita akan melihat kasih ilahi serta kemurahan mengalir kembali kepada kita. Apabila kita tidak terkesan oleh pernyataan kejahatan bahwa kejahatan itu bersifat perorangan dan berkuasa, kita cenderung untuk memaafkan orang lain dan mengasihi seperti kita dikasihi oleh Allah.
Aturan Kencana berikutnya, “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah,” menunjukkan apa yang terjadi kepada orang yang suci hatinya—yang bebas dari apa pun yang hendak menarik pikiran mereka menjauhi Allah. Kesucian seperti itu menyatakan kebaikan Allah yang tanpa syarat, dan Aturan Kencana ini melukiskan bagaimana rasanya bangun menyadari kehadiran kebaikanNya yang tercermin dalam semua yang diciptakanNya seperti dinyatakan dalam Kitab Kejadian: “Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik” (Kejadian 1:31). Betapa diberkati, atau betapa bahagianya kita apabila kita hidup secara konsisten dengan pandangan serta pemahaman rohaniah mengenai Allah serta ciptaan rohaniahNya ini.
Aturan Kencana berikutnya berbunyi, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” Sebagai orang yang membawa damai kita memberi sumbangan kebaikan yang lebih besar kepada perhubungan kita dan kepada dunia karena kita memandang orang lain dan melihat manusia ciptaan Allah. Kita melihat orang lain bersifat baik dan murni alih-alih tercela dan tidak jujur. Kita melihat mereka utuh alih-alih berpenyakitan. Kita melihat mereka mencerminkan semua sifat-sifat rohaniah Allah, yang membawa kesembuhan serta damai bagi mereka dan kita, menyatakan identitas kita yang sebenarnya sebagai anak-anak Allah dan membuktikan kuasa Kasih ilahi untuk menyembuhkan, sebagaimana Yesus menyembuhkan.
Dua yang terakhir dari berkat atau pernyataan Yesus menyangkut penganiayaan: “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.” Sekali lagi, muncul pertanyaan, Di mana berkatnya? Bagaimana mungkin ada kebahagiaan dalam penjajahan oleh kezaliman serta permusuhan?
Aturan Kencana dimulai dan diakhiri dengan janji mengenai kerajaan surga, akses penuh di sini dan sekarang juga, kepada pengalaman akan pemerintahan ilahi. Hukum Allah senantiasa bekerja. Hukum Allah ada di mana-mana, setiap saat. Kita sesungguhnya tidak pernah dapat diceraikan darinya atau kehilangan perhubungan kita dengannya. Oleh karena itu kita diberkati—dan kita merasakan berkat Allah—manakala kita membalas kutukan dengan berkat. Kita memiliki kemampuan melakukan hal ini apabila kita memahami bahwa kepuasan kita tidak berasal dari perlakuan orang lain kepada kita melainkan dari Allah saja, dari ketetapan Roh dan pemahaman bahwa Kasih ilahi memenuhi semua keperluan kita dan keperluan orang lain.
Ketika kita memberkati dan menyembuhkan orang lain dengan cara menundukkan diri kepada Budi Kristus, tidak berarti seluruh dunia akan menerima kita. Tetapi, jika kita ditolak atau dizalimi, ini bukanlah tanda kegagalan dan seharusnya tidak membuat kita frustasi atau berkecil hati. Banyak orang mungkin tidak bersedia melepaskan diri dari genggaman materialisme. Sesunggunyalah, pesan yang terkandung dalam Aturan Kencana yang terakhir seakan menyatakan bahwa meskipun kita dapat memastikan akan menemui perlawanan dari budi duniawi atau kedagingan, yang lekat dengan prasangka pribadi serta kebiasaan-kebiasaan yang materialistik, saat ini kita masih memiliki alasan untuk bersukacita. Bahkan jika orang lain tidak melihatnya, kita (dan bahkan orang-orang yang menzalimi kita) diberkati oleh kebaikan ilahi yang kita pahami serta kita amalkan dan oleh iman kita yang berkelanjutan kepada pemerintahan Allah yang penuh kasih.
Manakala kita menerima Aturan Kencana, kita akan mendapati diri kita semakin berkembang dalam kerohanian yang dalam dengan harapan serta iman yang lebih besar kepada Allah, termasuk pemahaman serta pandangan akan kehadiran Allah bersama kita. Jika kita merasa terlena atau puas dengan kenyamanan duniawi, atau jika kekecewaan kehidupan fana mengancam untuk menguasai kita, kita dapat kembali kepada berkat yang telah diberikan Yesus dalam Khotbah di Bukit dan mengingat bahwa keperluan kita yang sesungguhnya adalah mengenal Roh, Allah.
Jika kita mengamalkan berkat-berkat ini dalam hidup kita, kita dapati bahwa semua itu membuat kita meninggalkan penanggapan kebendaan yang tidak puas dan mendekatkan kita kepada pengertian rohaniah, dan pengertian ini memberkati kita dan akan semakin mendalam manakala kita terus-menerus dan berulang kali menemukan wawasan rohaniah baru mengenai Aturan Kencana ini.