Dalam pernyataan-pernyataan yang diberikan baru-baru ini, beberapa pejabat senior dari badan intelijen dan keamanan nasional AS merasa sangat pesimis terhadap kemungkinan membendung penyebaran terorisme global. Mereka antara lain merujuk kepada kebangkitan NIIS, yang mengaku sebagai negara Islam yang dibentuk dari wilayah Irak dan Siria; kejatuhan pemerintahan di Yemen baru-baru ini, yang berusaha mencegah penyebaran Al Qaeda; dan, secara lebih umum, lingkungan yang diciptakan oleh kegagalan janji-janji yang diberikan oleh gerakan “Kebangkitan dunia Arab.” Ancaman terhadap keamanan global, menurut para pejabat itu, tetap merupakan masalah jangka panjang sementara upaya untuk membendung terorisme terkendala oleh penyebarannya yang cepat.
Semua ini menyulut pertanyaan: Apakah umat manusia tidak berdaya di hadapan perilaku anarkis serta perusakan yang menganggu? Atas pertanyaan ini Ilmupengetahuan Kristen memberikan jawaban “Tidak” yang sangat tegas, berdasarkan pengertian yang diwahyukan dalam Kitab Suci mengenai pemerintahan Allah yang tidak pernah salah, dan sifat manusia yang sejati dan sempurna di bawah pemerintahan Allah.
Bernalar dari pemahaman ini saat berdoa, kita dapat memperoleh keyakinan bahwa kebijaksanaan ilahi serta pemahaman tentang masa depan dinyatakan pada manusia, dan oleh karena itu secara aktif mempengaruhi upaya para pejabat di mana saja dalam melawan terorisme. Upaya mereka dalam mencegah tindakan teroris bisa mendapat dukungan kuat dengan memahami, sebagaimana dinyatakan Alkitab, bahwa tidak ada tempat di mana rancangan serta maksud yang jahat bisa bersembunyi—tidak ada “sesuatupun yang tersembunyi yang tidak akan diketahui” (Matius 10:26)—karena terang Kebenaran, yang dalam Ilmupengetahuan Kristen adalah nama lain untuk Allah, membeberkan serta menghapus kejahatan dalam segala penyataannya. Seperti dinyatakan Ayub, “Ia menggagalkan rancangan orang cerdik, sehingga usaha tangan mereka tidak berhasil” (5:12).
Tetapi ada dasar lain untuk menghadapi dan menguasai ancaman terorisme, yakni dengan mengikuti isyarat Sang Guru Kisten, Yesus Kristus. Mary Baker Eddy, Penemu dan Pendiri Ilmupengetahuan Kristen, menulis bahwa kunci penyembuhan Yesus atas berbagai penderitaan fisik dan penderitaan lainnya terletak pada kemampuannya untuk melihat manusia yang sempurna yang diciptakan Allah, bahkan di tempat, “manusia fana melihat seorang yang berdosa dan fana” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, hlm. 477). Dengan memahami bahwa manusia sebagaimana didefinisikan dalam bab pertama Kitab Kejadian (lihat ayat 26, 27) adalah gambar dan keserupaan Allah, Yesus dapat menembus khayalan tentang penyakit kusta atau kebutaan atau penyakit jiwa dan dengan demikian memulihkan kesehatan. Dan kita pun dapat melihat menembus khayalan bahwa manusia diperintahi kebencian atau kejahatan atau balas dendam—untuk melihat manusia sejati, anak yang diciptakan Allah, tidak bersalah, murni, dan suci.
Terkadang bagi penanggapan fana, rasanya tidak mungkin melihat sifat tidak berdosa seseorang, sama halnya tidak mungkin baginya untuk melihat kemurnian yang dilihat Yesus pada penderita penyakit kusta. Meskipun demikian, baik sifat tidak bersalah maupun kemurnian adalah kebenaran yang bisa dibuktikan mengenai manusia sebagaimana dipahami dalam Ilmupengetahuan Kristen. Apa pun yang nampak secara kebendaan, fakta yang rohaniah adalah, bahwa Allah, yang sepenuhnya bersifat baik, tidak pernah menciptakan manusia yang bisa berbuat jahat atau sesat. Demikian pula manusia, yang hatinya dibentuk oleh Allah (lihat Mazmur 33:15), tidak bisa dikondisikan ke dalam kejahatan oleh golongan etnik, atau nasionalisme atau pandangan yang sesat tentang agama atau Allah.
Rasul Yohanes menulis bahwa anak-anak Allah adalah domba-domba gembalaanNya, bahwa Allah memanggil setiap orang di antara mereka dengan namanya, dan bahwa mereka mendengar dan patuh kepada suaraNya (lihat Yohanes 10:3, 4). Panggilan Kristus, atau Kebenaran ini, adalah satu-satunya pengaruh yang sesungguhnya yang merangkul umat manusia. Karena hanya ada satu Budi, satu sumber kecerdasan, maka manusia tidak bisa mempunyai pikiran yang tidak berasal dari sumber yang ilahi ini. Tidak ada dorongan lain yang bekerja dalam pikiran serta tindakan manusia yang sejati. Manusia hanya diperintahi oleh dan tunduk kepada Kasih ilahi, dengan demikian mencerminkan sifat Allah yang memberi hidup. Singkat kata, Allah menyatakan kebaikanNya dan kesempurnaanNya pada setiap orang di antara anak-anakNya. Sebagaimana ditulis Ny. Eddy, “Kesadaran serta keindividuilan manusia yang rohaniah adalah cerminan Allah” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 336).
Ide-ide rohaniah ini menjadi praktis dan dapat dibuktikan dalam pengalaman insani manakala kita mengakuinya dalam doa kita, dan menerimanya sebagai kebenaran, dan kita menyatakan pikiran-pikiran yang diilhami kasih, bahkan terhadap para teroris. Sisi praktis dari doa seperti itu adalah bahwa pengaruh ilahi—bukan pengaruh pribadi dari orang yang berdoa—dapat dirasakan, dengan semua potensinya yang tersirat, untuk menebus dan merubah, bahkan orang-orang yang termotivasi oleh pikiran serta tujuan jahat. Kemungkinan ini diisyaratkan Yesus, yang membebaskan seorang Gerasa dari roh jahat, dan membuat orang itu “berpakaian dan sudah waras” (Markus 5:15). Doa kita sendiri dapat memenuhi aspirasi yang terselip dalam “Doa Harian” di Buku Pedoman Gereja: “… dan kiranya FirmanMu memperkaya kasih sayang seluruh umat manusia dan menguasai mereka!” (hlm. 41).
Pernyataan Allah akan diriNya sendiri melalui manusia tidaklah berkesudahan, dan kita perlu menyerah kepada penguasaanNya dalam perhubungan insani kita dengan menyatakan sifat-sifat penuh kasih yang digambarkan Ny. Eddy—“persaudaraan, kemurahan hati, dan sifat maaf-memaafkan yang benar” (Buku Pedoman, hlm. 40). Memahami dan mempraktekkan fakta bahwa semua orang hanya memiliki satu Budi—Budi yang adalah Allah—mendatangkan hasil yang benar-benar mempersatukan, menjadikan nyata satu-satunya dasar yang permanen dan bisa bertahan, di mana persaudaraan di antara umat manusia bisa dibangun.
Seperti ditunjukkan Yesus, pemahaman rohaniah ini, penglihatan yang jelas ini, mendatangkan hasil yang pasti dan dapat dibuktikan pada peristiwa-peristiwa insani. Wawasannya yang murni mengenai sifat manusia yang sesungguhnya, yang menyerupai sifat Allah, telah membawa kesembuhan yang tidak terhitung banyaknya.
Bagi penanggapan insani serta perhitungan yang bersifat insani semata, bahaya—yang ditimbulkan oleh pengasingan, teologi yang melenceng, atau cita-cita yang gagal—seakan tumbuh subur, dan menyebabkan ketakutan serta kekhawatiran. Tetapi dilihat melalui lensa kesejatian rohaniah yang terdapat dalam Alkitab dan ajaran Ilmupengetahuan Kristen, yang terlihat di masa depan adalah penyembuhan, dan sarat dengan harapan.
Penulis Mazmur 119 memohon kepada Allah, “Singkapkanlah mataku, supaya aku memandang keajaiban-keajaiban dari Taurat-Mu” (ayat 18). Dengan mata terbuka lebar kepada kebenaran yang “penuh keajaiban” tentang ciptaan rohaniah Allah, maka akar terorisme dapat disingkapkan dan dihancurkan.