Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Merohanikan pikiran melalui doa yang tidak berhenti-hentinya

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 4 Desember 2015

Aslinya diterbitkan di edisi 14 September 2015 majalah Christian Science Sentinel

Dicetak ulang dari Sentinel edisi 4 Agustus 1973


Penyembuhan rohaniah menuntut kerohanian. Pernyataan ini sangat masuk akal, dan seluruh ajaran Ilmupengetahuan Kristen menekankan pentingnya pernyataan tersebut. Ketika mencari apa yang ditulis Mary Baker Eddy mengenai cara meningkatkan kemampuan kita untuk menyembuhkan, secara konsisten kita diingatkan: Penyembuhan yang berhasil berkaitan langsung dengan kerohanian. Ny. Eddy merangkum hal ini di buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci: “Kita mendekati Allah, atau Hidup, sebanding dengan kerohanian kita dan kesetiaan kita kepada Kebenaran dan Kasih; dan dalam perbandingan itulah kita tahu segala keperluan insani dan sanggup membedakan pikiran orang sakit dan orang berdosa dengan maksud untuk menyembuhkannya” (hlm. 95).

Peran kita dalam memenuhi tujuan akhir penyembuhan Gereja kita adalah memperkuat kemampuan kita untuk menyembuhkan. Karena pengembangan rohaniah kita secara perorangan adalah penting untuk hal ini, apakah langkah-langkah praktis yang dapat kita ambil untuk mencapai tujuan tersebut?

Kerohanian adalah keadaan kesadaran. Apakah kita lebih sadar akan Roh dari pada zat?  Apakah kita mengambil pendekatan yang bersifat rohaniah terhadap sesama, keadaan, kejadian? Apakah kita tidak lagi begitu peka terhadap tuntutan, gangguan, kesenangan serta penderitaan materialisme? Suatu pengamatan yang terus-terang oleh Ny. Eddy menjelaskan apa yang diperlukan: “Adalah sifat kebendaan mereka yang menghambat kemajuan para murid, dan ‘jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa dan berpuasa’” (Miscellaneous Writings 1883 – 1896, hlm. 156).

Dalam keluar dari materialisme dengan kerohanian sebagai tujuan kita, kita harus mematuhi nasehat Ny. Eddy dan mempercepat jalan kepada kemajuan rohaniah dengan mendoa. Ini berarti kita harus cukup menginginkan kerohanian sehingga bersedia bekerja untuk hal itu, untuk meluangkan waktu berkomunikasi dengan Allah mengenai hal itu, mendambakannya dengan rasa lapar sedemikian rupa sehingga tidak menyerah sampai terpuaskan.

Rasul Paulus menganjurkan para pengikutnya agar tetap berdoa (lihat 1 Tesalonika 5:17). Bukan berarti dengan bersujud. Bukan berarti dengan tetap berjaga di kamar atau di gereja. Tetapi sudah pasti tetap dalam motif, sikap, dan kesadaran dengan cara menumbuhkan pemahaman yang terus-menerus akan kehadiran serta kuasa Allah, akan kebaikan serta belas kasihanNya, kearifan dan kasihNya. Doa yang terus menerus mencakup berbagai unsur. Berikut ini beberapa di antaranya.

Kerendahan hati. Dalam pengalaman insani kita menghadapi tuntutan yang terus-menerus untuk menyatakan keakuan fana. Sifat mementingkan diri sendiri, berpusat pada diri sendiri, kemauan diri mengikuti pola untuk berusaha memuaskan kebutuhan panca indera yang dirangsang. Jika kita ingin tumbuh secara rohaniah, kita harus berdoa untuk menjadi rendah hati, untuk bersedia mengetahui dan melakukan kehendak Allah alih-alih kehendak kita sendiri. Kerendahan hati membimbing kita untuk berpusat kepada Allah, kepada sifat tidak mementingkan diri sendiri, kepada kasih yang bertambah-tambah kepada Allah, Roh. Hal itu berujung pada penyembuhan yang lebih baik ketika kita menyadari bahwa Allah hanya menghendaki kerohanian yang sepenuhnya dalam diri kita.

Permohonan. Jika kita benar-benar merasa perlu untuk lebih memiliki keinginan serta motif yang bersifat rohaniah, kita harus memohonnya. Allah selalu memenuhi keperluan kita. Di dalam doa kita dapat menyadari apa yang disediakanNya; dan keinginan, dambaan, kepentingan kita akan menjadi lebih murni. Permohonan ini harus lebih dari sekedar keinginan. Maka keinginan kita akan diperiksa dengan saksama, dan didapati tulus. Melalui permohonan kita dapat memurnikan keinginan kita dan memastikan keinginan itu menyatakan keperluan yang sungguh-sungguh.

Pengakuan. Suatu kesadaran yang sarat dengan hal-hal kebendaan mungkin tidak mempertimbangkan adanya Roh dan dengan begitu meremehkan perlunya kerohanian. Kesaksian panca indera kebendaan mendukung hal ini. Tetapi perlawanan terhadap hal-hal yang bersifat rohaniah ini dapat dinetralisir dalam doa dengan mengakui apa yang tidak dapat dilihat oleh penanggapan kebendaan—alam semesta Roh. Kita harus mengakui bahwa kerohanian dapat kita capai, dikaruniakan oleh Allah, merupakan bagian dari warisan rohaniah kita, dan tersedia bagi semua.

Penegasan. Kitab Suci telah memungkinkan kita memahami bahwa Allah adalah Roh. Karya tulis Ny. Eddy menunjukkan kepada kita “mengapa.” Allah tidak mungkin bersifat tidak kedagingan dan tidak berhingga jika Ia bukan Roh. Tetapi dalam pengalaman insani fakta ini harus ditegaskan dan ditegaskan kembali. Doa menjadikan kita mampu menyadari arti dari penegasan seperti itu. Kita harus menuntut asas fundamental dari watak kita sebagai keturunan Allah—bahwa kerohanian, substansi rohaniah, merupakan hakikat dari manusia yang diciptakan dalam gambar dan keserupaanNya.

Penyangkalan. Secara bersamaan kita harus menyangkal, dalam doa, asumsi yang berlawanan bahwa semua adalah zat, bahwa manusia itu bersifat kebendaan, dan bahwa ia diperintahi hukum-hukum kebendaan. Alih-alih memanjakan penanggapan jasmaniah kita harus belajar untuk menyangkalnya, untuk “berpuasa” seperti yang dimaksud Yesus ketika menanggapi pertanyaan para muridnya mengapa mereka tidak bisa menyembuhkan orang yang tidak waras: “Jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa dan berpuasa” (Matius 17:21). Dalam doa kita dapat secara mental bergulat dengan godaan, pernyataan, dan kebohongan hawa nafsu serta materialisme sampai ketidaksesuatuannya disadari. Doa membantu kita melihat ketidakmampuan mereka untuk mempengaruhi, ketidaksanggupan mereka untuk memberi kepuasan.

Mendengarkan. Berdoa tanpa mendengarkan adalah seperti membuat roti tanpa memanggang. Semua bahannya tersedia, tetapi unsur penting untuk menjadikan doa kita tuntas tidak ada. Keinginan untuk lebih berpikiran rohaniah dipenuhi bukan dengan menyuarakan maksud kita serta mengingat-ingat kelemahan kita, tetapi lebih dengan cara sabar mendengarkan ide-ide yang memurnikan, meluhurkan, mengilhami, yang terus-menerus disediakan Roh bagi manusia. Pengharapan menjadikan kegiatan mendengarkan itu produktif. Doa yang tidak berhenti-hentinya mendapatkan pemenuhannya dengan mendengarkan. Kamar merupakan tempat yang paling baik untuk mendengarkan. Bukan ruangan satu pintu, tetapi keadaan kesadaran yang menyambut baik sikap mendengarkan di saat kita sendiri, mendengarkan di tengah keramaian lalu-lintas, di tengah badai yang menggelegar—sikap  mendengarkan yang membungkam kebisingan di sekitar kita dan mendengar apa yang dikatakan Allah. Kamar untuk melakukan komunikasi seperti itu dapat di mana saja. Dengan mendengarkan kita tumbuh secara rohaniah. Naluri kita menjadi lebih tajam. Jika tulus, kita akan mendengar apa yang perlu kita perhatikan.

Rasa syukur. Yesus memanjatkan rasa syukur kepada Allah sebelum suatu kesembuhan terjadi. Kita harus bersyukur kepadaNya untuk kerohanian yang kita harapkan, untuk pertumbuhan rohaniah yang telah kita alami, untuk sifat-sifat rohaniah yang kita lihat pada orang lain. Suatu pengakuan tulus yang datang dari hati akan kebaikan rohaniah di sekitar kita, membuka pikiran untuk menerima lebih banyak lagi. Penglihatan rohaniah menembus lebih dalam. Persepsi dan pemahaman dipertajam. Dalam sehari seharusnya kita berkali-kali mengucapkan di dalam hati pujian “Terima kasih, Bapa.”

Implementasi. Ujian bagi semua doa adalah pengamalannya. Jika kita merasa tidak dikasihi, tidak diinginkan, tidak berguna, kita dapat merasa yakin bahwa keperluan kita yang utama adalah untuk mendapatkan kasih. Tetapi Allah adalah Kasih, dan karena Ia adalah semua tidak ada yang dikecualikanNya. Memohon kasih sedangkan Kasih adalah tidak berhingga dan ada di mana-mana akan membantu  memurnikan konsep kita mengenai Kasih yang sesungguhnya. Tetapi hal itu tidak mendatangkan lebih banyak kasih dari Kasih yang sudah selalu tersedia. Yang diperlukan adalah menyatakan kasih, untuk benar-benar menyatakan sifat-sifat kasih kepada sesama, untuk mengamalkan doa kita agar mendapatkan kasih dengan cara mengasihi. Hal yang sama berlaku juga untuk kerohanian. Kita menjadi lebih berpikiran rohaniah dengan mengamalkan doa kita—dengan mengimplementasikan yang ingin kita dapatkan dari doa kita—kemurnian, kesucian, kebaikan;  dengan cara menyatakan belas kasihan, pengampunan, kasih sayang; dengan semakin kurang menanggapi pemberontakan materialisme, kesia-siaan hawa nafsu, perlawanan sifat hewani, kesenangan yang menipu dan bersifat khayal dari penanggapan jasmaniah.

Setiap orang yang memiliki tekad dalam hatinya dapat tumbuh dalam kerohanian. Kita harus mempelajari apa yang tertulis seperti banyak ditemukan dalam Kitab Suci dan karya-karya tulis Ny. Eddy, Penemu dan Pendiri Ilmupengetahuan Kristen. Kita harus menjadi akrab dengan tulisan itu sehingga tidak lagi asing bagi kita. Kita harus memberikan waktu yang secukupnya untuk mempelajari hal-hal Roh. Lalu kita harus meresapi apa yang telah kita pelajari, menjadi lapar dan haus akan hal itu, dan dengan tekun, konsisten, dan penuh pengharapan menginginkannya—mengambilnya, menjadikannya milik kita, meresapinya. Ny. Eddy menulis, “Keinginan adalah doa; dan kita tidak akan kehilangan sesuatu juapun dengan mempercayakan keinginan kita kepada Allah supaya dibentuk dan diluhurkan sebelum menjadi nyata dalam kata-kata dan perbuatan” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 1). Doa yang hidup untuk bertumbuh dalam kerohanian adalah doa yang tidak berhenti-hentinya. Hal itu terus-menerus meningkatkan kemampuan kita untuk menyembuhkan.

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.