Jendela kamar tidur saya menghadap cabang-cabang atas pohon akasia yang anggun, dan seakan membingkai pemandangan desa dan laut di seberang. Di musim panas jendela ini selalu terbuka, membiarkan masuk keharuman bunga akasia yang kuning menjuntai. Kadang-kadang lebah atau ngengat yang besar masuk ke kamar menjadi tamu yang menyenangkan untuk kemudian dibantu keluar lagi.
Pohon akasia yang besar itu juga merupakan tempat favorit yang sering dikunjungi burung-burung kecil seperti kolibri. Pada suatu sore yang sejuk salah satu burung yang bak permata ini melesat melalui jendela saya yang terbuka, ke dalam kamar dan menabrak jendela lain yang tertutup di seberang kamar. Saya memungut burung yang lunglai dan memprihatinkan itu, yang tidak lebih besar dari kuncup mawar. Saya sungguh merasa tidak berdaya menghadapi tragedi kecil ini! Apakah kebaikan yang ada di dunia ini hanya suatu selingan di antara kemalangan?
Ilmupengetahuan Kristen telah mengajarkan kepada saya untuk menjaga agar tempat tinggal saya damai secara mental, indah luar dalam, sehingga menyegarkan dan menghibur bagi mereka yang memasuki gerbangnya. Tempat itu adalah pusat dari kasih saya kepada umat manusia. Hanya dengan mengisinya dengan surga batiniah kasih itu dapat bebas mengalir keluar.
Tetapi saat ini keadaan tempat yang bebas dari dosa itu seakan terlalu ringkih, kedamaiannya dilanggar. Dengan burung kecil yang tidak bergerak itu di telapak tangan saya, saya merasa tidak berdaya untuk bernalar tentang ketidaksejatian maut, kemustahilan kecelakaan di alam semesta yang diperintahi Budi yang esa dan baik, Allah, sebagaimana diajarkan Ilmupengetahuan. Mungkin hal itu benar secara rohaniah, pikir saya, tetapi secara insani, sekarang saya dihadapkan dengan kebalikannya!
Mungkin karena saya begitu sering melihat ketidakberdayaan dihapus oleh Ilmupengetahuan Kristen, atau mungkin semata karena saya masih mengasihi Allah, saya mendapati diri saya tidak begitu setuju dengan kesimpulan saya. Saya berjalan ke ruang keluarga, dengan burung kecil itu masih di tangan saya. “Setidaknya saya dapat berdoa Doa Bapa Kami,” pikir saya. Maka saya memulai doa yang memenuhi segala keperluan manusia: “Bapa kami yang di surga, Dikuduskanlah namaMu. Datanglah kerajaanMu ...” (Matius 6:9, 10).
"KerajaanMu telah datang; Engkau senantiasa hadir," (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 16), demikianlah Ny. Eddy menjelaskan kata-kata terakhir itu.
"Tentu saja! KerajaanMu telah datang, Bapa," pikir saya. "KerajaanMu di sini. Itulah kenyataannya. Sekarang juga. Tidak ada kerajaanMu dan burung kolibri yang sedang sekarat. Bahkan tidak ada kerajaanMu dan burung kolibri yang terpisah. Yang ada hanyalah kerajaanMu yang indah dan hidup. Keindahan pohon akasia menyatakan keindahanMu. Keceriaan ngengat menggambarkan sekilas sukacitaMu pada DiriMu sendiri. Hidup burung kolibri yang penuh semangat menunjukkan sesuatu tentang hidup abadiMu yang menyatakan diri.
"Datang dan perginya bentuk-bentuk kebendaan tidak penting. Semua itu hanyalah bayangan, gambar palsu yang berasal dari konsep-konsep yang berbatas dan tidak bersifat rohaniah. Tidakkah Sang Guru, Yesus Kristus, berkata, ‘Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna?’ (Yohanes 6:63) Bapa, Engkaulah semua yang saya perlukan—Engkaulah semua yang saya miliki!”
Saat itu saya sudah berjalan keluar ke balkon depan. Tiba-tiba seakan ada suatu letupan daya listrik, dan burung kecil itu melesat dari tangan saya dan dalam sekejap naik ke cabang teratas dari pohon akasia yang keemasan itu, sambil berceloteh dengan sukacita (dan rasa syukur, saya kira)!
Demikianlah yang semula seakan sebagai suatu tragedi berakhir dengan nyanyian sukacita.
Tentu saja dibandingkan dengan kebanyakan masalah yang ada, jatuhnya burung kolibri kelihatannya kurang penting. Tetapi terkadang, melalui hal-hal kecil dan sederhanalah kita melihat kesederhanaan yang murni dari kasih Allah yang mengalahkan segalanya. Ia memerintahi hal yang sekecil-kecilnya dan juga yang tidak berhingga. Seperti kedatangan sesuatu yang kudus, kasihNya muncul pada kejadian yang seremeh-remehnya dalam keseharian kita dan menghasilkan gelombang kedamaian serta keheningan yang meliputi semuanya ketika kita melihat berbagai hal secara rohaniah.
Semua yang pernah membuat kita menderita, semua yang membuat kita sedih, adalah suatu tipuan—khayalan bahwa kebaikan Allah yang sempurna tidak ada di sini. Jika kita terganggu, kita bisa yakin bahwa sampai taraf tertentu kita telah menerima khayalan kebendaan alih-alih kesejatian akan kehadiran Allah. Kedamaian yang sempurna tidak dicapai dengan berjaga untuk melihat alam semesta yang kebendaan berubah. Hal itu turun—atau naik—ketika dalam kesadaran kita berpaling kepada Bapa yang tidak berhingga saja. Kerajaan rohaniah akan kebaikan sempurna yang kita rasakan dalam hati saat kita berani menyangkal gambaran kebendaan tentang kesulitan, adalah kontak kita dengan kesejatian abadi. Itulah bangun dalam dekapan lengan Allah, dalam Taman EdenNya yang senatiasa hadir, di mana bahkan burung kolibri tidak pernah dapat jatuh. Demikianlah burung itu terbang bebas!
Ny. Eddy pernah menulis, "Tidak ada kesaksian penanggapan kebendaan yang dapat menutup mata saya pada bukti yang ilmiah bahwa Allah, kebaikan, adalah mahakuasa” (Miscellaneous Writings, hlm. 277). Inilah keyakinan, inilah doa yang membebaskan kita dari sangkar-sangkar, gua-gua, penderitaan dan kesedihan kehidupan manusia. Jauh di setiap lubuk hati benih keyakinan ini sudah ditanam. Tumbuhkanlah. Dan saksikanlah hidup anda naik dengan bebas!