“KECELAKAAN AKAN TERJADI,” demikian kira-kira ungkapan itu. Tahun ini ada banyak kejadian yang seakan mendukung ungkapan tersebut, termasuk ledakan di ladang minyak Teluk Mexico, runtuhnya tambang Upper Big Branch di Virginia Barat, dan dua tabrakan maut kereta api di India. Laporan dari Departemen Urusan Keadaan Darurat Rusia meramalkan kenaikan angka kecelakaan tahun ini di seluruh Rusia, yang diakibatkan oleh kecelakaan di bidang industri dan ledakan karena peralatan yang tidak sempurna.
Di bidang lain, beritanya sedikit lebih menggembirakan. Di Cina, angka kematian karena kecelakaan lalu lintas telah turun secara nyata dalam dasa warsa terakhir. Kantor Urusan Lalulintas Jalan Raya di Amerika Serikat melaporkan bahwa angka kematian karena kecelakaan lalu lintas per tahun telah turun 35 persen sejak tahun 1979. WardsAuto.com mengatakan bahwa pabrik mobil Volvo di Swedia mencanangkan selambat-lambatnya tahun 2020 tidak akan ada lagi kematian atau cedera berat yang diakibatkan kecelakaan saat naik mobil Volvo. Menurut Jan Varsson, Manajer Senior bidang strategi keamanan perusahaan tersebut, “Nihil adalah satu-satunya alternatif bagi kami…kami tidak dapat menerima bahwa orang meninggal atau cedera hanya karena mereka ingin melakukan perjalanan dari A ke B.”
Sungguh menggembirakan menemukan orang-orang dan perusahaan yang menolak ide bahwa cedera atau kematian tidak terelakkan. Tetapi mungkinkah untuk melangkah lebih jauh? Apakah masuk akal bagi umat manusia untuk menghapuskan kecelakaan sama sekali? Dengan perkataan lain, apakah kita harus menerima pemikiran bahwa, bahkan jika cedera perorangan, masyarakat, dan lingkungan, yang diakibatkan oleh umat manusia dapat dikurangi atau diatasi, “kecelakaan masih [tetap] akan terjadi?”
Suatu definisi mengenai kata accident (kecelakaan) memberikan wawasan yang menarik. Kata accident yang muncul pada akhir abad ke-14 berasal dari kata bahasa Latin yang berarti “terjadi, rontok, jatuh pada.” Dan kemudian terjadi pengembangan, dan artinya berubah dari “sesuatu yang terjadi, suatu kejadian,” menjadi “sesuatu yang terjadi secara acak,” lalu menjadi “kecelakaan.” Jelaslah bahwa pada awalnya kata accident tidak menyatakan sesuatu yang buruk atau merugikan.
Ini menunjukkan kepada kita kebenaran yang jauh lebih luas dalam Alkitab, yang merupakan titik tolak ajaran Ilmupengetahuan Kristen—suatu konsep yang sangat mengilhami dalam berdoa untuk menghilangkan kecelakaan serta akibatnya pada kehidupan manusia. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa sebagaimana cedera bukanlah bagian dari definisi asli dari kata accident, demikian pula hal itu tidak termasuk dalam identitas dan hidup kita yang sesungguhnya sebagai putera dan puteri Allah. Sebelum mimpi akan hidup di dalam zat, seperti dijelaskan dalam Kejadian bab 2 membayangi fakta-fakta akan ciptaan, tidak ada kehancuran, rasa sakit, penderitaan—tidak ada ”kecelakaan.” Semua kejadian, semua peristiwa yang terjadi bermanfaat dan utuh. Allah menciptakan semuanya dan menyebutnya “amat baik”: bumi, langit, makhluk, dan “laki-laki dan perempuan”—manusia yang diciptakan dalam gambar Allah.
“Jika manusia pernah sempurna, tetapi sekarang kehilangan kesempurnaannya,” demikian tulis Mary Baker Eddy, yang menemukan Ilmupengetahuan Kristen, “maka manusia fana tidak pernah melihat dalam manusia gambar cerminan Allah. Gambar yang hilang berarti tidak ada gambar. Keserupaan yang hakiki tidak dapat hilang dalam pencerminan ilahi. Memahami hal itu, Yesus bersabda: ‘Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna’" (Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, hlm. 259). Banyak orang membuktikan bahwa jika pemahaman rohaniah akan cerminan sempurna manusia sebagai keserupaan Allah dijadikan dasar doa, kesembuhan terjadi, termasuk kesembuhan dari cedera akibat kecelakaan. Banyak orang telah dibebaskan sedemikian rupa dari ingatan yang membawa trauma tentang kekerasan dan cedera, sehingga mereka mengatakan seakan kecelakaan tersebut tidak pernah terjadi.
Dan bagi Allah, inilah yang selalu merupakan fakta. Seperti diungkapkan dalam buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan, “Kecelakaan tidak ada bagi Allah, atau Budi baka, …” Kutipan tersebut dilanjutkan dengan sesuatu yang berbicara langsung kepada kepercayaan yang mendasari kecelakaan, termasuk definisi yang dikemukakan sebelumnya, “…dan kita harus meninggalkan dasar fana kepercayaan kita dan bersatu dengan Budi yang esa, untuk mengganti pendapat tentang nasib dengan paham yang benar tentang bimbingan Allah yang tidak dapat salah, dan dengan demikian menjadikan nyata keselarasan” (hlm. 424).
Menerima kemungkinan nasib baik menyiratkan kemungkinan yang sebaliknya juga—sementara, semua nasib dan keberuntungan, baik atau buruk, ada sebagai “pendapat,” suatu pemahaman yang salah bahwa kita terpisah dari Pencipta kita dan bergerak di dunia kebendaan yang acak dengan bahaya mengancam di mana-mana. Ilmupengetahuan Kristus membuktikan bahwa saat pemahaman seperti itu hilang dari pemikiran kita, akibatnya yang merugikan hilang juga dari kehidupan kita dan kehidupan orang-orang yang kita doakan.
Dalam upaya untuk melindungi diri kita sendiri serta keluarga kita, dan dunia pada umumnya dari cedera yang datang tiba-tiba serta kemalangan yang acak, setiap hari kita dapat sedikit lebih menyadari, bahwa kejadian yang acak tidaklah diketahui oleh Budi ilahi yang adalah Allah, dan karena itu tidak mungkin terjadi dalam kehidupan segala sesuatu yang diciptakan Budi, termasuk setiap butir pasir di lautan. Berpegang teguh penuh doa kepada kebenaran mengenai pengendalian Budi yang tertib, sadar, dan selaras—di mana kebetulan tidak dapat berakar—akan terus merupakan sarana penting untuk membantu, bukan saja melindungi umat manusia dari cedera, tetapi pada akhirnya untuk menghilangkan kejadian-kejadian acak akan kemalangan dan kehancuran.