Para pelaut zaman dahulu biasa menentukan posisi mereka dengan mengamati Bintang Utara. Dewasa ini, orang menggunakan Global Positioning System. Tetapi sepanjang zaman, orang yang berpaling kepada Allah untuk memperoleh bimbingan dan mendengarkan suaraNya telah dibimbing dengan aman, setapak demi setapak, ke mana pun mereka pergi.
Belum pernah pergantungan kepada Allah seperti itu, lebih penting untuk dilakukan seperti pada masa ini, ketika para pekerja dan keluarga di Amerika maupun di berbagai wilayah di dunia harus berpindah tempat dan mengalami kebingungan. Ribuan orang-orang telah kehilangan pekerjaan serta tempat tinggal mereka, dan merasa tidak berdaya serta frustasi.
Lalu bagaimana kita berdoa untuk menghasilkan penyesuaian yang selaras dan memuaskan bagi situasi seperti itu? Bagi saya, tidak ada yang lebih membantu daripada secara konsisten berusaha memahami lebih baik hubungan saya dengan Allah dan merasakan bimbinganNya yang tidak dapat salah.
Pembelajaran ini telah sangat diperkaya oleh ketujuh sinonim atau nama lain untuk Allah yang diberikan Mary Baker Eddy dalam bab “Daftar Istilah dengan Keterangannya” di buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan. Masing-masing sinonim melukiskan segi yang berbeda akan sifat Allah. Ketujuh sinonim itu adalah Asas, Budi, Jiwa, Roh, Hidup, Kebenaran, dan Kasih (lihat hlm. 587). Saya juga sangat terbantu oleh pengamatan Ny. Eddy bahwa “jika dipahami, Asas adalah satu-satunya istilah yang sepenuhnya menyampaikan ide-ide tentang Allah,—satu Budi, manusia yang sempurna, dan Ilmupengetahuan ilahi” (No and Yes, hlm. 20).
Kalau saya merenungkan istilah Asas, saya berpikir tentang hukum—hukum yang bersifat universal, tidak memihak, dan senantiasa bekerja. Asas adalah hukum yang dengan selaras mengembalikan pemikiran yang menyimpang ke jalur yang benar. Asas adalah hukum yang menyatukan berbagai unsur yang berbeda melalui daya tarik rohaniah. Asas adalah hukum akan bimbingan yang tidak pernah gagal yang meniadakan langkah yang keliru.
Saya juga menyadari bahwa dalam kerajaan Asas, di mana Allah adalah satu-satunya kuasa, tidak dapat ada kekosongan. Tidak ada yang tidak pada tempatnya. Tidak ada yang tidak berguna. Tidak ada kekacauan. Kita menyelaraskan pikiran dengan Asas melalui doa yang dalam dan penuh pembaktian. Dalam doa, kita melihat melampaui keadaan insani untuk menyadari dan menetapkan kesejahteraan kita dalam kasih Allah Ibu-Bapa kita. Dan setelah melabuhkan diri dalam penjagaan yang kuat dan lemah lembut itu, maka kita dalam posisi yang baik untuk mendengarkan dengan penuh perhatian bimbingan ilahi yang akan membantu kita mengambil tindakan yang bijaksana.
Kita selalu berada dalam “posisi” mencerminkan kebaikan Allah yang tidak berhingga. Hal ini tidak bergantung kepada pekerjaan, perilaku orang lain, perekonomian yang tidak stabil, atau lokasi geografis. Kita tidak mencari “posisi” yang baru, melainkan tempat di mana kita dapat menyatakan kebaikan Allah dengan lebih baik. Dalam syairnya “Jaga dombaku,” Mary Baker Eddy menulis:
SuaraMu kudengarkan,
Jangan ‘ku sesat;
Kau kuturut gembira
Biar jalanku b’rat.
(Buku Nyanyian Ilmupengetahuan Kristen, no 304)
Jalan di depan kita mungkin kelihatannya berat. Mungkin kita ragu apakah kita telah mengambil jalan yang benar. Hampir sepanjang jalan kita mungkin merasa takut. Tetapi, jika kita percaya kepada Allah saat berdoa, kita dapat merasa yakin akan dibimbing ke arah yang benar.
Sebagai contoh, beberapa tahun yang lalu saya bekerja di perusahaan iklan dengan gaji yang baik. Meskipun demikian saya merasa terusik karena tugas saya mencakup beberapa segi yang menurut saya secara etis diragukan dan juga karena sulit mendapatkan tempat tinggal yang sesuai.
Setiap hari saya berdoa mengenai keadaan tersebut, berusaha menyadari bahwa satu-satunya tempat saya yang benar—baik di kantor maupun di rumah—adalah di mana saya mempunyai kesempatan yang besar untuk menyatakan talenta-talenta yang dikaruniakan Allah kepada saya. Saya merasa yakin dapat menyerahkan hal ini dengan aman di tangan Allah, meskipun saat itu saya merasa terdorong untuk memperbaiki riwayat pekerjaan saya dan membuat daftar perusahaan di kota yang jauh letaknya, yang rasanya merupakan tempat yang lebih menyenangkan untuk bekerja dan tinggal.
Tanpa terduga, beberapa bulan kemudian, tugas saya berakhir. Tetapi berkat perencanaan yang didukung intuisi rohaniah itu, saya dapat segera mengirimkan surat lamaran, termasuk riwayat pekerjaan yang sudah diperbaharui, ke berbagai perusahaan yang ada di daftar saya, dan terbang ke kota itu.
Setibanya di kota tersebut, ketika pertama kali menelpon, orang yang menerima telpon saya berkata, “Anda telah memilih minggu terburuk selama sepuluh tahun untuk mendapatkan posisi yang anda inginkan.” Selanjutnya orang itu menceritakan tentang sebuah perusahaan besar yang telah menghentikan pengiklanan produk dan menghapus seluruh departemen periklanannya. Dua agen iklan langganan perusahaan tersebut juga terpaksa memberhentikan sejumlah pegawainya. Alhasil, saat itu ada sekitar 100 orang yang memiliki keahlian seperti saya, yang tanpa pekerjaan dan sedang mencari pekerjaan seperti yang saya inginkan—dan mereka semua memiliki koneksi di kota di mana saya merupakan pendatang baru.
Itu merupakan saat yang berat bagi saya. Apakah doa saya untuk memperoleh bimbingan tidak cukup? Apakah saya kurang cermat mendengarkan apa yang kelihatannya seperti ide yang benar? Sungguh berat menerima saran bahwa “langkah” saya sesat, dan sungguh sulit untuk berpikir saya dapat “gembira” atas apa yang seakan merupakan “jalan yang berat.”
Untuk mendapatkan kedamaian, dengan tekun saya merenungkan suatu pernyataan dari buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan,yang menyerukan kepada semua orangagar “. . . bersatu dengan Budi yang esa, untuk mengganti pendapat tentang nasib dengan paham yang benar tentang bimbingan Allah yang tidak dapat salah, dan dengan demikian menjadikan nyata keselarasan” (hlm. 424). Saya tahu saya tidak tunduk kepada hukum nasib, melainkan kepada hukum bimbingan Allah.
Saya menemukan gedung perkantoran di pusat perdagangan kota itu, di mana beberapa penyembuh Ilmupengetahuan Kristen berkantor. Saya memasuki gedung tersebut, memilih nama seorang penyembuh dan mengetuk pintu kantornya. Dia menyilakan saya masuk, dan tidak lama kemudian kita membahas fakta bahwa kekhawatiran masyarakat tentang masa yang sulit tidaklah menjadikan kebenaran tentang Allah dan cerminanNya—saya sendiri dan semua orang di kota itu—kurang dapat dibuktikan bagi mereka yang sependapat dengan penentang perbudakan abad ke-19, Wendell Phillips, bahwa “satu orang di pihak Allah merupakan mayoritas.”
Sesudah itu saya merenungkan kisah Alkitab dalam Kitab Keluaran tentang tulah yang menimpa bangsa Mesir yang tidak mengenal Allah, dan bahwa tulah itu tidak menyentuh bani Israel, yang dibimbing dan dilindungi Allah. Saya berpikir, bahwa seperti bani Israel, saya dapat bergantung kepada Allah sebagai sumber bimbingan dan perlindungan, dan tidak lama kemudian saya merasa yakin bahwa doa saya dan apa yang saya dengarkan secara rohaniah akan membawa hasil.
Keesokan harinya saya diwawancarai dan diterima bekerja di suatu perusahaan, yang saya jalani selama beberapa tahun. Pekerjaan tersebut memberi kepuasan serta banyak berkat, dan memungkinkan saya mendapatkan tempat tinggal yang nyaman. Dengan penuh rasa syukur, saya resapi kata-kata nyanyian ini:
Biar sumber dunia kering,
KurniaMu turun t’rus,
Seyogyalah kumuliakan
NamaMu yang kudus.
(Buku Nyanyian Ilmupengetahuan Kristen, No. 224)
Selama bulan-bulan yang menegangkan dalam mencari pekerjaan itu, secara pasti saya telah menemukan, bahwa keselarasan saya—dan keselarasan orang-orang yang tinggal dan bekerja bersama saya—sangatlah terjamin saat saya percaya sepenuhnya kepada bimbingan Allah yang tidak dapat salah. Dan selama tahun-tahun sesudah pengalaman tersebut, saya semakin menghargai pengamatan Mary Baker Eddy bahwa “keselarasan manusia tidak dapat dilanggar seperti juga irama alam semesta” (Retrospection and Introspection, hlm. 61).