Di lubuk hati kita yang paling dalam, tidak seorang pun di antara kita ingin ikatan keluarga kita terputus.
Hal itu bisa dimengerti, karena kita masing-masing memiliki penanggapan rohaniah di dalam diri kita—suatu kemampuan untuk melihat melampaui berbagai detil kebendaan dari kehidupan kita, kepada apa yang diketahui Allah. Dan dengan penanggapan rohaniah ini kita dapat melihat satu keluarga universal yang merupakan keluarga kita semua. Di dalam keluarga ini, ikatan yang mempersatukan tidak pernah tercabik oleh kesedihan, atau terputus oleh perbedaan emosi atau lokasi. Dalam keluarga ini, Roh, Allah, adalah Pencipta yang sempurna dan ilahi—Ibu-Bapa kita yang ilahi—dan kita semua adalah satu-satunya keturunan rohaniahNya, yang terikat dalam kesatuan rohaniah yang tidak bisa diputus.
Dalam keadaan yang terbaik, kita bersyukur melihat keluarga yang ideal ini tercermin dalam keluarga insani yang tercipta oleh sifat saling menghargai, kasih sayang, kebaikan hati dan rasa saling memiliki.
Sayangnya, hubungan insani tidak selalu seperti itu, baik dalam keluarga global umat manusia atau di dalam keluarga kita sendiri.
Hanya sekitar setahun yang lalu, seseorang melepaskan tembakan pada sekumpulan orang di suatu klub yang sebagian besar pengunjungnya adalah komunitas LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender) di Orlando, Florida, AS. Banyak orang yang tidak bersalah meninggal, dan keluarga serta teman-teman mereka berduka. Setelah peristiwa yang penuh kebencian terhadap orang-orang tertentu itu, saya segera menghubungi orang-orang yang saya sayangi yang secara terbuka mengaku dirinya gay—termasuk salah seorang anggota gereja, saudara laki-laki saya, dan pasangan yang dinikahinya—untuk menyatakan kasih dan kepedulian kepada mereka.
Selama 24 jam, berbagai wartawan terkenal terutama memberitakan garis besar tragedi tersebut. Tetapi saya tersentuh oleh satu pemberitaan yang berbeda. Dalam surat yang ditujukan kepada si pembunuh, pengarang wanita K. G. MacGregor menunjukkan dengan tepat ketakutan yang sesungguhnya yang dihadapi orang-orang LGBT dalam kehidupan sehari-hari, suatu ketakutan yang dapat dirasakan oleh mereka yang pernah dihantui, atau mengalami, ikatan keluarga yang tercabik.
“Ketakutan yang sesungguhnya adalah perasaan tidak disayangi. Oleh orang tua kita, saudara kita. Oleh keluarga besar dan teman-teman kita yang sangat kita sayangi. Oleh sekolah, gereja, lingkungan kerja dan komunitas kita. Tidak sesuatu pun yang anda lakukan lebih menakutkan daripada pikiran kehilangan kasih sayang,” tulisnya.
Dalam pengertian rohaniah sesuai ajaran Ilmupengetahuan Kristen, pada dasarnya ketakutan tidak pernah sejati mengingat Kasih ilahi adalah semua. Dan kasih rohaniah yang langgeng dan benar-benar memberi kepuasan, yang mencerminkan Kasih ilahi ini, dan yang menyusun identitas kita sebagai anak-anak Allah, tidak pernah dapat hilang. Tetapi ketika membaca kata-kata MacGregor, saya menempatkan diri saya di tempat orang-orang yang mendapati dirinya “tidak disayang” oleh orang-orang yang tumbuh bersama mereka atau yang telah mereka anggap dekat—atau orang-orang di gereja yang mereka anggap teman. Dan saya mendambakan dapat melihat hilangnya kasih sayang kekeluargaan seperti itu menjadi bagian masa lalu.
Dalam keadaan yang ideal, anggota keluarga saling mengasihi tanpa pilih kasih. Kasih seperti itu bukan hanya dapat mengamankan anggota keluarga yang sedang melalui masa yang berpotensi penuh tantangan dalam hidupnya, tetapi juga dapat mengamankan hubungan setiap anggota keluarga yang lain dengan putra, putri, saudara perempuan, saudara laki-laki, keponakan laki-laki, atau keponakan perempuan, dimana seharusnya kasih anggota keluarga itu tidak pernah dirampas dari mereka.
Dan jika kasih yang tidak berat sebelah ini didasarkan kepada kasih Allah—yang kita gunakan untuk mengasihi manusia sebagai gambar murni dari Kasih ilahi itu sendiri—maka hal itu akan menghasilkan lebih dari sekedar menenggang perbedaan saja. Kasih seperti itu mengangkat suasana pikiran sehingga kerabat kita merasa benar-benar dikasihi, apa pun perbedaan yang kita anggap ada. Dan mengasihi teman serta kerabat kita di mana pun mereka berada dalam pembuktian mereka akan pertumbuhan rohaniah memenuhi kewajiban kita mendukung mereka untuk maju secara susila dan rohaniah, seperti kita juga ingin mendapat dukungan dalam upaya kita untuk maju seperti itu.
Kasih yang memberdayakan seperti itu terlihat paling jelas dalam kerohanian yang ditunjukkan Yesus Kristus, yang memungkinkan orang merasakan baik kasih Allah yang menyembuhkan budi dan tubuh yang hancur dan juga kuasa Kebenaran yang merubah watak. Kristus, suara Budi yang sesungguhnya, Allah, yang nampak begitu jelas dalam kasih Yesus untuk semua orang, menyinarkan terang pada wujud rohaniah kita yang sebenarnya sebagai obyek dari kasih sayang Allah yang tidak pernah berhenti. Menegaskan hal ini dengan penuh pengertian adalah doa yang memunculkan kasih sayang di dalam diri kita, yang menyatakan penjagaan Kasih yang tanpa syarat.
Sebagai contoh, baru-baru ini saya berbicara dengan seorang wanita pelajar Ilmupengetahuan Kristen yang telah bertemu dan menikah dengan seorang pria yang mempunyai seorang putri yang dengan terus terang mengaku bahwa ia gay. Itulah pertama kalinya pelajar Ilmupengetahuan Kristen tersebut berkenalan dengan orang yang dengan terbuka mengaku dirinya gay. Saya bertanya, “Lalu bagaimana reaksi anda ketika mengetahui bahwa calon anak tiri anda gay?” Ia menjawab singkat, “Oh, saya hanya mengasihinya saja.”
Kini sudah lebih dari sepuluh tahun wanita tersebut mengasihinya, sebagai putri suaminya, dan sebagai putri Allah. Ia dan suaminya biasa mengungkapkan kasih mereka, dan menyatakannya dengan cara yang nyata, kepada putri mereka maupun pasangannya.
Bagaimana kalau kita melihat setiap orang sebagai putra dan putri Ibu-Bapa kita yang ilahi, dan hanya mengasihi mereka saja? Bukankah kesediaan kita untuk melihat ikatan yang tidak bisa terputus antara Budi ilahi dan semua idenya merupakan titik awal yang benar untuk membimbing semua perhubungan kita?
Sebaliknya, adalah budi yang kedagingan—kebalikannya, kepercayaan kebendaan tentang manusia yang terpisah dari Allah—yang mencerai-beraikan keluarga. Mentalitas yang palsu ini dilukiskan dalam Kitab Suci sebagai ular yang berbicara yang menggoda kita untuk berbuat dan bereaksi berdasarkan penanggapan palsu yang tidak kekal bahwa manusia ditentukan oleh zat alih-alih diciptakan oleh Roh. Tetapi kita tidak perlu mendengarkan bisikan ular ini. Orang, dengan itikad baik, berupaya keras memahami Kitab Suci dan sampai kepada kesimpulan yang berlawanan tentang apa yang diajarkan petikan-petikan tertentu dalam Alkitab. Tetapi tidak bisakah kita bersatu dalam berdoa untuk mendukung agar keluarga menjadi tempat kasih berlabuh, di mana kita dengan sepenuh hati dihargai dan diterima, juga dilihat melampaui setiap label sementara, sebagai ide ilahi Allah yang dikasihi yang merupakan kesejatian kita?
Dan jika hal itu tidak terjadi? Janji Alkitab berbunyi, “Allah menempatkan orang-orang sebatangkara dalam keluarga” (Mazmur 68:6, menurut versi King James). Jadi dalam kasus di mana keluarga belum menjadi tempat berlindung yang kita inginkan, kita dapat berdoa untuk mengetahui, seperti dikatakan di buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, “Kasih ilahi senantiasa telah memenuhi dan selalu akan memenuhi segala keperluan manusia” (Mary Baker Eddy, hlm. 494). Ini berlaku di mana pun kita berada dalam perjalanan kita untuk memahami dan membuktikan identitas rohaniah yang murni yang pada akhirnya menentukan diri kita semua. Sebagai putra dan putri terkasih dari Yang Ilahi, kita masing-masing memiliki tempat yang tetap selamanya di dalam keluarga ilahi kita yang ikatannya tidak pernah terputus, dan tidak dapat terputus. Ikatan keluarga yang langgeng ini mencakup setiap orang di antara kita dalam kesetaraan, dalam kesatuan yang tidak terputus dengan Kasih yang oleh Ny. Eddy dinyatakan sebagai “satu-satunya kerabat manusia yang sesungguhnya di bumi dan di surga” (Miscellaneous Writings 1883–1896, hlm. 151), Allah, Ibu-Bapa kita.
Tony Lobl