Umat manusia umumnya percaya bahwa kebaikan—baik itu kebahagiaan, kepuasan, kegiatan yang memberikan pahala, kemajuan, ataupun benda-benda, sumber daya, dan kesempatan semata—bersifat terbatas. Asumsinya adalah bahwa kebaikan terbatas, karenanya perlu dibagi, artinya tersedia bagi sebagian orang tetapi tidak bagi yang lain. Dari asumsi seperti ini timbullah persaingan dan perjuangan yang seakan terus berlangsung, baik bagi keadaan perorangan maupun kolektif.
Tetapi Kitab Perjanjian Lama dan Baru, berbicara tentang Allah, menyatakan kepada kita: “Engkau baik dan berbuat baik; ajarkanlah ketetapan-ketetapan-Mu kepadaku” (Mzm. 119:68) dan “Allah itu Roh” (Yoh. 4:24). Jadi dari sudut pandang Alkitab, anggapan bahwa kebaikan itu bersifat kebendaan alih-alih rohaniah adalah salah. Kesalahan seperti itu timbul dari anggapan bahwa kebaikan merupakan milik perorangan dan bukan pernyataan Allah, kebaikan yang universal.
Karena Allah, Roh, adalah tidak berhingga, kebaikan haruslah tidak terukur—tidak dapat habis, berkurang, atau terbagi. Selain itu, kalau kebaikan adalah semua, maka kejahatan haruslah merupakan suatu kebohongan yang disangkakan ada. Kesemestaan Allah dengan sendirinya menyangkal dualisme, apakah itu kepercayaan kepada dua unsur yang bertentangan—hidup dan maut, roh dan zat, kebenaran dan kesesatan—atau anggapan bahwa ide Allah dapat saling bersaing atau berdebat.
Karena kebaikan tidak terbagi, sebetulnya tidak ada hal seperti kebaikan anda yang terpisah dari kebaikan saya, kemampuan atau kecerdasan anda lebih baik atau lebih buruk dari kemampuan atau kecerdasan saya—seperti juga tidak dapat ada sinar matahari atau hujan yang dialami perorangan. Ide-ide Allah—dan ini menggambarkan kita semua—tidaklah kurang layak atau unggul, kurang diuntungkan atau diuntungkan. Seperti seberkas sinar, kita semua, melalui pencerminan, memiliki semua yang dipancarkan Allah, kebaikan. Ini berarti bahwa setiap orang unik, berharga, diperlukan, tidak ada duanya, karena Allah haruslah dinyatakan secara tidak berhingga.
Melakukan kebaikan di satu sisi tidak dapat mengurangi kebaikan di sisi lain. Kebaikan yang dinyatakan di suatu tempat hanyalah meningkatkan kebaikan di mana-mana. Dalam kepercayaan, kebalikan hal tersebut seakan benar juga—bahwa hal buruk atau ketidakadilan yang menimpa seseorang akan membawa ketidak-baikan kepada semua orang. Ketakutan, yang sama dengan mengharapkan atau menunggu hal yang negatif, di bangun atas dasar kepercayaan seperti itu, sedangkan iman dan rasa percaya timbul dengan mengharapkan kebaikan yang didasari pemahaman bahwa kebaikan saja yang sejati dan memiliki kuasa.
Mary Baker Eddy, saat mengajar muridnya, Laura Sargent, pernah berkomentar: “Saat kita membantu satu orang, kita membantu semuanya. Saat kita membantu semuanya, kita juga membantu satu orang. Seperti 3 kali 4 sama dengan 12, demikian juga 4 x 3 adalah 12. Demikianlah menurut hukum ilahi. . .” (Laura Sargent reminiscence, hlm. 85, The Mary Baker Eddy Collection, The Mary Baker Eddy Library). Mengembangkan hal tersebut lebih lanjut, Ny. Eddy menulis, “Dalam pertalian ilmiah di antara Allah dengan manusia kita lihat, bahwa yang memberkati satu orang memberkati semua, seperti yang ditunjukkan oleh Yesus dengan roti dan ikan — karena Roh, bukan zat, adalah sumber segala perlengkapan” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, hlm. 206).
Kebenaran tersebut sangat menghibur saya ketika saya mulai menjadi penyembuh Ilmupengetahuan Kristen. Saya dibesarkan dengan ajaran rohaniah yang mengilhami ini dan telah menyaksikan dan mengalami banyak kesembuhan yang menakjubkan. Ketika sembuh dari tumor yang mengancam kehamilan saya yang ketiga, saya terdorong untuk berkecimpung dalam pekerjaan penyembuhan penuh waktu Ilmupengetahuan ini, meskipun anak-anak saya masih kecil. Mula-mula saya merasa tidak mampu—atau bahkan lebih buruk lagi, merasa bahwa komitmen saya pada pekerjaan penyembuhan dapat bertentangan dengan kewajiban saya terhadap keluarga. Tetapi saran-saran tersebut segera dibungkam. Saya menyadari bahwa Kebenaranlah yang merupakan kuasa yang menyembuhkan dan bahwa anak-anak saya hanya dapat memperoleh manfaat dari apa pun yang memberkati orang lain. Suatu perasaan terbebani sebagai seorang ibu insani menyerah kepada pemahaman yang lebih dalam bahwa Allah adalah satu-satunya Ibu-Bapa kita semua.
Saya dengan cepat belajar bahwa ide atau maksud yang membangun, apa pun itu, yang datang kepada pengalaman kita karena bimbingan atau ilham ilahi, menyatakan sifat kebaikan yang tidak terbagi ini. Ide yang berkembang tentang tempat tinggal, anak yang sedang tumbuh, kegiatan di gereja yang semakin luas, usaha bisnis yang baru, semuanya berasal dari Allah, oleh karena itu lengkap. Setiap ide itu membawa dalam dirinya sendiri segala yang diperlukan untuk memenuhi maksud Allah. Sesungguhnya, tidak sesuatu pun dapat menghentikan tangan Allah, meniadakan kehendakNya, atau membalikkan berkatNya—meskipun mungkin sebaliknyalah yang seakan terjadi.
Selain itu juga menjadi jelas, bahwa penyakit atau ketidakselarasan yang perlu disembuhkan tidak pernah bersifat perorangan, melainkan adalah kepercayaan universal yang hendak mengganggu pengalaman pribadi kita. Oleh karena itu, salah satu keperluan kita yang terbesar, adalah belajar mempertahankan pikiran dari ketakutan yang agresif dan bersifat negatif yang hendak memasukinya. Fakta-fakta rohaniah yang menggantikan ketakutan tersebut bersifat universal. Berlaku bagi setiap orang di mana pun mereka berada. Oleh karena itu sangat menggembirakan untuk mengetahui bahwa kebebasan serta keselarasan yang dibuktikan dalam pengalaman kita sendiri menggambarkan kebebasan dan keselarasan yang tersedia bagi semua orang. Selain itu, setiap kepalsuan tak dapat tiada harus menyesuaikan diri dengan fakta rohaniah tentang apa yang diketahui Allah, Budi—betapapun kokohnya seakan kepalsuan itu tertanam. Sesungguhnya, tidak pernah ada pemahaman akan Kebenaran yang terlalu lemah atau penanggapan kebendaan yang terlalu kuat yang dapat merintangi, karena kuasa untuk menyembuhkan tidak bersifat perorangan, tetapi ada dalam kebenaran mengenai Allah dan apa yang diketahuiNya.
Satu-satunya kuantitas yang diketahui Roh adalah kelengkapan. Satu-satunya kemampuan yang diketahui Budi adalah kecerdasan yang tidak pernah gagal. Sebaliknya, penalaran kebendaan membatasi, mengelompokkan, memberi label, dan mengkotak-kotakkan. Dalam salah satu perumpamaan Yesus yang paling terkenal, kesalahan pertama si “anak yang hilang” adalah meminta bagiannya—minta agar berkat bapanya dibagi. Yang dikatakan bapa itu kepada anaknya yang sulung, selalu dikatakan Kasih ilahi kepada kita semua, “Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu.” (lihat Lukas 15:11–32). Kekurangan, iri hati, persaingan, konflik kepentingan, tidaklah diketahui Sebab yang esa dan yang mencipta, dan oleh karena itu tidak kita ketahui juga, sebagai ide-ide Allah.
Tetapi kunci dalam menghapuskan kepalsuan seperti itu adalah pengakuan bahwa kebaikan berasal dari Allah—merupakan kehendak atau rencana ilahi yang menjadi nyata dalam kehidupan insani. Sudah jelas bahwa kehendak insani saja, ambisi perorangan, atau mementingkan diri demi kemajuan pribadi, tidak pernah dapat menggantikan atau menyamai kebaikan yang berasal dari Allah. Sesungguhnya Ny. Eddy menunjukkan bahwa “budi yang tidak mengenal hukum” hanyalah kejahatan yang bekerja atas nama kebaikan, dan adalah “larutan kejahatan yang paling tinggi” (lihat Miscellaneous Writings 1883–1896, hlm. 260). Ny. Eddy mengatakan, misalnya, “Asas yang tidak dapat salah dan tetap bagi semua kesembuhan adalah Allah; dan kita harus mencari Asas ini bertolak dari kasih kita kepada kebaikan, dari alasan yang paling rohaniah dan tidak mementingkan diri sendiri” (Mis., hlm. 232). Oleh karena itu menyangka bahwa kita dapat mengambil keuntungan di atas penderitaan orang lain atau bahwa kebaikan kita akan berkurang karena kebaikan orang lain, adalah suatu hal yang menipu.
Saya ingat sekali ketika saya tidak dapat menghadiri pertemuan tahunan Asosiasi para murid Ilmupengetahuan Kristen, bertahun-tahun yang lalu. Anak saya yang kedua lahir dua hari sebelumnya, dan saya tidak dapat melakukan perjalanan menghadiri pertemuan itu. Meskipun saya telah menyiapkan diri dengan baik untuk pertemuan tersebut dan merenungkan topik pembicaraan dengan penuh doa (“Tuntutan Allah”), saya terus menerus merasa kecewa dan rugi—saya merasa kehilangan sesuatu yang penting dan sangat berharga.
Ternyata tahun itu merupakan tahun yang sulit. Selain harus menjaga anak-anak yang masih kecil, mengatur rumah tangga, melakukan berbagai kegiatan suka rela termasuk sebagai anggota dewan di gereja kami yang baru berdiri, yang diguncang persoalan disiplin yang sulit, suami saya dan saya terlibat perkara yang menyangkut penjualan properti—suatu gugatan hukum yang mahal dan berlangsung lama, yang secara tidak adil diajukan ke pengadilan, meskipun akhirnya diputuskan kami yang menang. Pada saat yang sama, suami saya, yang mempunyai kedudukan baik di perusahaan besar di Amerika Barat bagian tengah, merasa tidak puas dan kemampuannya tidak dimanfaatkan sepenuhnya oleh perusahaan tersebut dan memutuskan untuk pindah kerja mewakili perusaan kecil di New England. Karena hal tersebut, kami harus pindah ke Vermont dan kemudian ke Connecticut dalam kurun waktu satu tahun—tetapi kami tidak mempunyai uang untuk membeli rumah, karena perkara yang kami hadapi di pengadilan belum selesai.
Yang saya pelajari dari pengalaman itu adalah pelajaran yang dibahas dalam pertemuan asosiasi yang tidak dapat saya hadiri—yakni, “Kita mendapatkan panen rohaniah dari kehilangan hal-hal kebendaan yang kita alami” (Mary Baker Eddy, Retrospection and Introspection, hlm. 79), dan bahwa berkat rohaniah seringkali datang dari tantangan insani. Ny. Eddy, yang mengalami berbagai kerugian kebendaan dan menghadapi berbagai tantangan, menyatakannya demikian: “Bahaya menghadang di jalan Anda?—sebaliknya, suatu perintah rohaniah, menunggu Anda” (Message to The Mother Church for 1902, hlm. 19).
Menjadi jelas bagi saya bahwa “tuntutan Allah ditujukan hanya kepada pikiran semata-mata; . . .” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 182), dan bahwa jika kita berpikir dengan benar—jika kita memusatkan pikiran tanpa ragu pada fakta-fakta rohaniah akan wujud dan percaya bahwa hukum Allah bekerja—tak dapat tiada hal itu akan menyesuaikan atau memperbaiki keadaan insani. Saat kita berpikir bahwa kita perlu mengambil alih dan memaksakan perbaikan yang diperlukan, saat itulah kita seakan mendapat masalah.
Yang penting adalah belajar mengetahui rahasianya: bahwa jika kita hidup taat kepada tuntutan ilahi, kesalahan akan diperbaiki atau dihilangkan, dan mau tidak mau kita akan diangkat dari keadaan yang merugikan.
Mengapa? Karena semua kesejatian, kuasa, dan kelanggengan ada bersama kebaikan, dan karena semua hal (bukan hanya hal yang baik dan menyenangkan) hanya dapat menjadikan maksud Allah terpenuhi. Kita tidak dapat kehilangan kebaikan, karena kebaikan adalah milik kita melalui pencerminan. Kita memilikinya saat kita menyatakannya. Kebaikan akan semakin menjadi nyata dalam pengalaman kita jika kita siap menerimanya—dan seringkali ini berarti meninggalkan kesedihan, luka, kekecewaan, dan ketidakadilan yang terjadi di masa lalu.
Pengampunan dalam artinya yang terluhur, berarti membuangkan semua penanggapan bahwa kejahatan sejati. Ini berarti mengakui bahwa tidak peduli apa yang kelihatannya terjadi, kebaikan timbul dari pemahaman bahwa Allah sajalah yang memerintah, dan bahwa hukum ilahi memulihkan apa yang seakan hilang. Sesungguhnyalah Kasih ilahi menyediakan “kesempatan baru setiap saat,” membimbing kita untuk merohanikan “pikiran, alasan, dan usaha” kita (Mary Baker Eddy, Christian Healing, hlm. 19). Satu-satunya yang perlu kita perhatikan adalah apakah kita memenuhi tuntutan Allah—dan dengan demikian menghormati janji-janjiNya. Maka, bahkan semua keadaan insani di mana dengki, maksud jahat, atau perlawanan berusaha mengelabui atau menghancurkan, seperti kisah Yusuf dalam Alkitab, Allah akan merubahnya menjadi kebaikan. Tanggapan Yusuf kepada saudara-saudaranya yang menjualnya dalam perbudakan—“Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan” (Kej. 50:20)—menunjukkan bahwa dia telah memaafkan saudara-saudaranya sepenuhnya. Sesungguhnya tidak ada yang “dipilih khusus” atau lebih disayangi di antara anak-anak Allah. Dari sudut pandang insani, orang yang paling dekat dengan terang akan mendapat manfaat terbesar dari terang itu. Tetapi secara rohaniah kita masing-masing satu dengan Allah dan adalah ahli waris Allah, yang berhak mendapatkan berkat ilahi yang penuh.
Apa pun teori psikologi yang hendak mengatakan bahwa tirani dan sifat mementingkan diri sendiri adalah bukti akan rasa tidak aman dan keperluan menguasai orang lain—atau hendak membiarkan perilaku destruktif sebagai kebebasan perorangan untuk memilih atau sebagai akibat kekerasan yang dialami waktu kecil; atau menyalahkan standar moral yang mendasar dan meningkatkan kesehatan sebagai membenarkan diri sendiri atau menghakimi orang lain—masih ada dan akan selalu ada “ukuran kebenaran yang mengatur takdir umat manusia” (Mis., hlm. 232).
Ukuran ini dinyatakan dengan sebaik-baiknya dalam aturan kencana: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka” (Mat 7:12). Aturan ini menunjukkan dengan gamblang dan penuh kasih bahwa hanya cara-cara yang benar dapat membuahkan hasil yang benar.
Dan itulah intisari kebaikan yang tidak terbagi.