Kemajuan-kemajuan di bidang penerbitan dan komunikasi mengakibatkan dunia ini seakan menciut, menyampaikan kepada kita berita mengenai peristiwa yang terjadi saat ini dengan lebih cepat dan gambaran yang lebih jelas, seperti belum pernah terjadi sebelumnya. Sekarang ini liputan peristiwa dunia dapat dilakukan hampir bersamaan dengan saat peristiwa itu terjadi. Tetapi meskipun kemajuan teknologi menjadikan berita lebih cepat didapat, hal itu tidak merubah sudut pandang mental dari mana kita melihat dan menanggapi berbagai peristiwa, padahal inilah yang pada akhirnya menentukan dampak yang ditimbulkan peristiwa itu bagi kita.
Apakah sudut pandang ini? Umat manusia pada umumnya telah menerima pandangan tentang kehidupan dari apa yang seakan nyata bagi indera kebendaan—bahwa hidup ada dalam zat dan adalah karya dari zat, dan bahwa kejahatan sama sejati dan sama-sama mungkin terjadi seperti kebaikan, atau bahkan lebih. Itulah sebabnya berita tentang pertikaian, kekerasan, penderitaan, dan korupsi seolah wajar dan tak terhindarkan. Menanggapi berita-berita itu dengan kemarahan, ketakutan, atau kesedihan juga seakan wajar dilihat dari sudut pandang kebendaan ini. Tetapi reaksi seperti itu hanya akan mendukung pernyataan kejahatan. Harapan tertinggi yang dapat ditawarkan cara pemikiran kebendaan ini adalah merancang cara untuk membatasi kejahatan dan mengelola akibat yang ditimbulkannya.
Ilmupengetahuan Kristen menawarkan sudut pandang yang secara radikal berbeda, yakni bahwa wujud pada dasarnya bersifat rohaniah, yang disimpulkan dari Kalam Alkitab yang penuh ilham. Ilmupengetahuan ini mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta dan yang memerintahi hidup, dan bahwa ciptaanNya sama sekali bersifat rohaniah, menyatakan wujudNya sebagai Roh (lihat Yohanes 4:24). Ilmupengetahuan ini menegaskan bahwa hidup, substansi, dan kecerdasan sesungguhnya bersifat ilahi dan bahwa hanya kebaikan saja yang sejati (lihat Kejadian 1:31). Bahwa hal ini benar dapat dilihat dari akibatnya yang langsung dan menyembuhkan pada kehidupan insani; kesembuhan ini terjadi ketika budi insani mencapai pemahaman serta pengakuan yang tulus tentang kebenaran Ilmupengetahuan berkenaan dengan masalah-masalah yang spesifik.
Jika kita memalingkan pikiran kepada yang Ilahi, dan mendasarkan kesimpulan kita sepenuhnya pada kesejatian rohaniah dari kebaikan Allah yang mahakuasa serta kesempurnaan ciptaan rohaniahNya, kita dapat melihat bahwa pernyataan kejahatan tidak mempunyai dasar. Kita menjadi sadar bahwa hal itu tidak mempunyai dasar dalam Roh ilahi, dan oleh karena itu tidak mempunyai dasar dalam kenyataan. Jika kita makin melihat kebenaran dari model yang rohaniah ini, pernyataan kejahatan yang datang kepada perhatian kita menjadi semakin tidak masuk akal sampai kita tidak lagi menerimanya sebagai suatu tuntutan yang sah.
Semua ini bukan berarti bahwa kita menyarankan untuk mengabaikan hal-hal di dunia yang jelas-jelas memerlukan penyembuhan. Alih-alih demikian, kita menanganinya melalui pemahaman yang semakin baik tentang Allah.
Jika kita merasa sulit untuk berpegang teguh pada sudut pandang yang rohaniah, kita dapat lebih berserah kepada kuasa Kristus, ide ilahi Allah yang dinyatakan Yesus. Kristus adalah pengaruh Kebenaran ilahi yang selalu hadir dalam pikiran insani untuk membimbing kita dan menjadikan kehadiran ilahi nyata. Kristus menunjukkan suatu dasar yang tidak dapat goyah dari mana kita harus menanggapi masalah-masalah yang terjadi di dunia dengan belas kasih, keberanian, kasih dan penyembuhan. Doa kita, yang didasarkan pada pemahaman bahwa Allah adalah kebaikan yang mahakuasa, dan kejahatan tidak mempunyai kuasa, dapat membantu mengurangi kejahatan di dunia, bukan hanya menjadikan kita mampu mengelola akibatnya.
Di dalam buku ajar Ilmupengetahuan Kristen, Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, Mary Baker Eddy memberikan suatu gambaran yang saya anggap bermanfaat dalam melihat bahwa apa yang dikatakan penanggapan kebendaan tidak bisa kita percayai. Ia menulis: “Suatu berita yang salah, yang secara khilaf mengabarkan kematian
seorang kawan, menyebabkan perasaan duka cita yang sama seperti kalau kawan itu betul-betul meninggal. Kita mengira, bahwa duka kita disebabkan oleh kehilangan kita. Suatu berita yang lain, yang membetulkan kekhilafan itu, menyembuhkan duka cita kita, dan kita insaf bahwa penderitaan kita semata-mata adalah akibat kepercayaan kita. Demikian jugalah dengan semua kesedihan, penyakit, dan maut. Pada suatu waktu akan kita insafi, bahwa tidak ada alasan untuk berduka cita, lalu kebijaksanaan ilahi akan dipahami. Kesesatan, bukan Kebenaran, mendatangkan segala penderitaan di bumi.” (hlm. 386).
Meskipun di sini Ny. Eddy merujuk kepada berita yang tidak benar, bukan hanya dari sudut pandang rohaniah tetapi juga bagi pandangan insani—karena orang yang diberitakan itu tidak meninggal—menurut pendapat saya konsep “berita yang salah” itu berguna untuk diingat saat kita menghadapi kesaksian kejahatan di dalam hidup kita sendiri atau di dunia. Ungkapan itu dapat mengingatkan kita, bahwa jika dipahami dengan benar dari sudut pandang rohaniah, yang disangkakan sebagai tindakan kejahatan sesungguhnya tidak memiliki dasar dalam kesejatian, karena tidak berasal dari Allah. Dan hal ini benar, tidak peduli besarnya atau kuatnya bukti yang disajikan penanggapan kebendaan untuk mendukung pernyataan kejahatan. Maka, boleh dikatakan, setiap berita tentang kejahatan dapat dipandang sebagai berita yang salah.
Beberapa tahun yang lalu saya mempunyai pengalaman yang membantu saya untuk melihat hal ini dengan lebih jelas. Saat itu saya bekerja untuk suatu perusahaan kecil yang manangani pembangunan perumahan. Salah satu tugas saya adalah mengkoordinasi layanan nasabah, sebagai penghubung dengan pemilik rumah dan menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi pada rumah mereka. Saya ingat mendapat pemberitahuan dari pegawai kami bahwa ada “nasabah yang bersemangat”—seorang pemilik rumah yang mereka gambarkan dengan bahasa khusus dan mereka yakin tidak akan berhenti memberi saya masalah. Saya tertawa mendengar laporan tersebut, tetapi secara tidak sadar menerima pikiran bahwa suatu saat saya akan menghadapi masalah dengan wanita itu.
Tidak lama sesudah itu, saya mendapat telpon dari wanita tersebut. Dengan cepat pembicaraannya berubah menjadi umpatan terhadap perusahaan dan pegawai kami, sebelum ia tiba-tiba mengakhiri pembicaraan. Saya terkejut dengan serangan yang membakar perasaan itu, tetapi saya tahu bahwa adalah tugas saya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Saat itu saya menghadapi suatu pilihan. Boleh dikatakan saya dapat menerima “berita yang salah,”—yang nampak sebagai wanita yang penuh kemarahan serta kebencian. Atau saya dapat berpaling dalam doa kepada Allah, mengakui sifat wanita itu yang sesungguhnya sebagai anak Allah yang terkasih, yang hanya mampu menyatakan kelemahlembutan Ibu-Bapa ilahi, Kasih.
Saya berdoa. Dan ketika saya siap untuk menelponnya kembali, telpon berdering. Ternyata wanita itu lagi. Sekarang dia tenang dan rendah hati, siap bekerja sama dengan saya untuk mendapatkan solusi bagi masalah-masalah pada rumahnya. Kuasa Kristus telah mendorong saya untuk mengenali keakuannya yang rohaniah dan sebenarnya sebagai pernyataan Allah, dan hal ini menghapuskan keadaan pikiran yang tidak wajar serta penuh kebencian, yang tidak merupakan bagian dari dirinya yang sesungguhnya. Dampak doa langsung terasa dan bersifat permanen. Kami menjalin hubungan yang ramah dan kooperatif dengan wanita tersebut selama masa garansi, yang berlangsung selama dua tahun.
Pengalaman ini merupakan batu loncatan bagi saya untuk penerapan yang lebih luas. Ketika menghadapi berita tentang kejadian di dunia atau setempat yang tidak baik—apakah itu penyakit, bencana, kekerasan, korupsi—secara mental saya namai laporan itu “berita yang salah.” Meskipun ada bukti kebendaan untuk menunjang pernyataannya, hal itu tidak mempunyai dasar dalam fakta rohaniah. Sesungguhnya saya dihadapkan pada pilihan yang sama seperti yang terjadi di kantor saya: Apakah saya akan menerima sebagai sesuatu yang meyakinkan, kesaksian bahwa kejahatan itu suatu kesejatian yang tidak dapat saya atasi atau kendalikan, atau apakah saya tetap teguh dalam keyakinan bahwa kebaikan Allah itu mahakuasa dan selalu hadir dan bahwa saya dapat membuktikan fakta ini, meskipun dalam cara-cara yang sederhana?
Jika kita membiarkan kesempurnaan rohaniah sebagai standar kita—yakni apa yang kita terima sebagai yang benar-benar sejati—kita tidak dapat dihipnotis untuk mempercayai dongeng tentang kehidupan yang didasarkan pada penanggapan kebendaan, dengan demikian kita dapat lebih banyak membantu umat manusia melalui doa. Tetapi menerima secara pasif bahwa dosa dan penderitaan itu wajar dan tak terhindarkan tidak dapat mendatangkan kesembuhan bagi pikiran seseorang atau dunia, dan kita menjadi bulan-bulanan pendapat umum.
Menerima bahwa sebab atau akibat kebendaan memiliki kuasa bukanlah yang dilakukan Sang Guru kita, Yesus Kristus. Orang yang paling membuktikan kuasa Kristus ini menunjukkan kepada kita cara mempraktekkan melalui teladan. Dalam Injil Lukas misalnya, dinyatakan bahwa ia diminta Yairus datang ke rumahnya untuk menyembuhkan anak gadisnya, yang hampir mati (lihat 8:41, 42, 49–56). Ketika Yesus dalam perjalanan, seorang utusan datang dari rumah Yairus membawa berita buruk, dan berkata kepada Yairus: “Anakmu sudah mati, jangan lagi engkau menyusah-nyusahkan Guru!" Apakah Yesus mempercayai berita tersebut? Tidak. Ia menyadari dengan jelas bahwa itu bukanlah kata akhir yang menentukan, dan ia menanggapinya dengan penghiburan serta penyembuhan yang berasal dari pemahamannya yang bersifat Kristus tentang fakta-fakta rohaniah. Bahkan di hadapan apa yang seakan sebagai maut, ia teguh dalam keyakinan bahwa hidup anak itu utuh, tidak dapat dihancurkan di dalam Allah, yang adalah Hidup yang senantiasa hadir. Penilaiannya yang benar tentang keadaan itu membuatnya mampu memulihkan anak itu, dengan demikian membuktikan bahwa fakta rohaniah tentang Hidup yang senantiasa hadir selalu tersedia untuk kita saksikan.
Pemahaman Yesus bahwa kesejatian bersifat rohaniah merupakan dasar dari ajaran serta karya penyembuhannya dan merupakan inti dari yang kita sebut injil. Injil, atau kabar baik, yang dikhotbahkannya dapat dirangkum dalam kata-kata ini: “Kerajaan Sorga sudah dekat” (Matius 10:7). Bagi Yesus, pemerintahan keselarasan yang mencirikan kerajaan ini bukan hanya merupakan keadaan di masa depan. Kata-kata serta perbuatannya menunjukkan bahwa kerajaan sorga adalah kesejatian rohaniah akan kehidupan di sini dan sekarang juga. Adakah kabar yang lebih baik? Tetapi ajarannya juga menjadikan jelas perlunya pembaharuan, pemurnian pikiran yang semakin memungkinkan kita untuk mengumpulkan sedikit demi sedikit fakta rohaniah mengenai keadaan apa pun, dan dengan fakta-fakta tersebut mendatangkan kesembuhan kepada umat manusia.
Jadi, bagaimana kita akan memandang berita yang kita terima? Akankah kita terima kesaksian penanggapan kebendaan, berita-berita yang salah yang berasal dari pikiran fana? Atau akankah kita dibimbing oleh penanggapan rohaniah untuk menerima “kabar baik” yang dibawa Yesus kepada dunia, dan merangkul umat manusia dalam kasih yang menyembuhkan yang berasal dari injil Kebenaran? Injil itu tidak pernah basi, tidak pernah ketinggalan zaman, tidak pernah merupakan kabar untuk masa lalu. Injil selalu segar dan mengena—pandangan yang penuh ilham yang dapat kita gunakan untuk membawa berkat yang besar bagi dunia.