Ketika saya tinggal di daerah San Diego, California, AS, saya suka berjalan-jalan di pantai. Suara ombak berdebur di pantai dan elang laut yang beterbangan lalu menukik ke pasir di dekat saya—sangat menenteramkan, dan memudahkan saya berpaling kepada Allah untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ada di benak saya. Suatu kali saat berjalan-jalan seperti itu, saya bertanya kepada diri sendiri, Apa yang dapat saya lakukan selanjutnya? Saya baru saja berhenti setelah enam tahun bekerja di bagian iklan pada surat kabar The Christian Science Monitor, dan saya sedang mencari pekerjaan lain yang juga akan memberikan kepuasan. Bekerja untuk gereja telah memberi saya kesempatan untuk berbagi kebenaran yang telah saya pelajari serta kesembuhan rohaniah yang telah memberkati hidup saya selama bertahun-tahun.
Tiba-tiba datang jawaban. Saya akan minta kepada gereja cabang saya agar dapat duduk dalam Panitia Pemasyarakatan, dan mengisi jabatan rohaniwan suka-rela yang masih kosong. Tugasnya, antara lain seminggu sekali mengunjungi para narapidana di lembaga-lembaga pemasyarakatan guna mendukung pertumbuhan rohaniah mereka, ternyata merupakan kegiatan gerejani yang paling memberi kepuasan bagi saya. Saya bekerja sebagai rohaniwan dan melakukan kunjungan ke lembaga-lembaga pemasyarakatan pemerintah setempat selama enam setengah tahun. Saya berharap, para narapidana yang saya kunjungi pun merasa diberkati, seperti apa yang saya rasakan.
Sebelumnya, demi keadilan, saya merasa bahwa hukuman mati memang pantas dilaksanakan. Tetapi setelah melihat kegalauan di mata para narapidana, saya menyadari bahwa terkadang orang yang sudah kehilangan harapan dan kelihatannya tidak bisa berubah, dapat berubah, jika diberi kesempatan.
Saat mengunjungi para narapidana, saya dapat merasakan penderitaan, kesepian, kebingungan, serta kekhawatiran mereka. Dan kadang-kadang, saat menatap mata mereka, saya dapat melihat anak laki-laki saya, yang pernah mengalami masa kelam karena kecanduan obat dan minuman keras. Dalam salah satu kunjungan, salah seorang penjaga berkata, “Tidak ada orang yang tidak dapat ditolong. Bahwa seseorang, suatu kali melakukan kejahatan, tidak berarti mereka tidak dapat berubah. Kita tidak boleh kehilangan harapan bagi seseorang.” Memandang seseorang sebagai penjahat berarti menganggapnya tidak dapat disembuhkan, menganggap bahwa tidak ada harapan baginya. Kita tidak boleh kehilangan harapan bagi seseorang—setiap orang dapat berubah. Kemungkinan perbaikan bersinar atas kita semua.
Suatu pagi, saya ditelpon seorang perempuan yang mengatakan bahwa menantunya ditangkap. Perempuan itu minta agar saya mengunjungi menantunya. Beberapa jam kemudian, saya berada di lembaga pemasyarakatan yang dilengkapi pintu baja yang kuat. Saya diberitahu untuk mengikuti garis ungu sepanjang dinding. Setelah naik tangga, saya sampai ke bagian kunjungan. Tidak ada orang di situ, selain seorang yang tinggi besar yang berada di belakang dinding kaca. Dia duduk dan mengangkat telpon yang berada di sebelah kursinya. Saya duduk di hadapannya di seberang
kaca dan mengangkat telpon di sebelah saya untuk berbicara dengannya. Saya memberitahukan nama dan alasan saya mengunjunginya. Dia mengangguk sambil mengernyitkan dahi. Dalam pembicaraan yang terjadi, dia menceriterakan bahwa dia ditangkap karena penyerangan bersenjata, dan karena mengebom pintu depan sebuah gedung pemerintah Amerika Serikat.
Dalam kunjungan selanjutnya, kami selalu berbicara di suatu ruang khusus yang dijaga. Pada awalnya, ketika dia masih dalam penilaian tentang kesehatan jiwanya, sikapnya kaku, bicaranya tidak nyambung dan terkadang menakutkan, matanya yang hitam, liar dan mengerikan. Dia mencukur kepalanya sebagai protes, karena dia menganggap bahwa Allah telah memerintahkannya melakukan apa yang dilakukannya untuk menghentikan Perang Teluk.
Beberapa kali saya bertanya kepada diri sendiri, mengapa saya terus mengunjunginya, tetapi seiring berjalannya waktu, setelah minggu dan bulan-bulan berlalu, dia menjadi tenang dan mudah menerima ide-ide rohaniah dalam Pelajaran Alkitab Ilmupengetahuan Kristen yang kami baca bersama. Saya mendapati, bahwa ternyata dia seorang pelajar Alkitab yang tekun, dan mungkin lebih mengenal Alkitab dibanding saya, meskipun dia menafsirkan Alkitab semata-mata secara harfiah. Oleh karena itu menjadi jelas, bahwa tugas saya adalah membantunya memahami segi rohaniah kisah-kisah dalam Alkitab, dan agar dia memetik pelajaran hidup dari pemahaman tersebut dengan cara yang praktis dan menyembuhkan. Dengan bersemangat dia menerima ide-ide rohaniah itu, dan saya terkesan dengan kecerdasan serta kesediaannya untuk belajar.
Suatu hari, Pelajaran Alkitab minggu itu mencakup kisah tentang tiga orang Ibrani, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego, dan bagaimana mereka selamat dari perapian yang menyala-nyala. Dia berhenti membaca, mengalihkan pandangannya sambil tepekur. Kemudian, dengan suara yang tenang dia berkata: “Tahukah Anda? Api, yang dimaksudkan untuk menghancurkan mereka, telah membakar belenggu mereka, dan membebaskan mereka. Mungkin itulah yang terjadi pada diri saya di perapian penjara ini.” Kemudian dia diam sebentar, sementara saya menunggunya melanjutkan pembicaraannya. Dia meneruskan: “Saya tidak tahu, tapi mungkin saya dapat membantu beberapa orang di sini. Sekarang saya tidak bermusuhan dengan siapa pun, dan bahkan beberapa waktu yang lalu saya melerai baku hantam. Setelah saya tidak lagi dipengaruhi obat-obatan, semuanya menjadi lebih jelas.”
Saya memandangnya dengan penuh penghargaan, dan sadar betapa besar perubahan yang dialaminya. Matanya yang hitam bersinar, dan dia tersenyum saat berbicara. Dia tidak lagi menderita alergi kulit, dan tidak pernah lagi bermimpi buruk tentang tembak-menembak menyangkut obat-obatan (hal yang sering dialami para napi). Saya melihat orang yang baru, orang yang dengan senang hati saya anggap teman. Sebuah pernyataan Mary Baker Eddy, terlintas di pikiran saya: “Dalam pengalaman fana, api pertobatan mula-mula memisahkan kotoran dari emas, dan perbaikan diri mendatangkan terang yang menghalau kegelapan” (Miscellaneous Writings 1883-1896, hlm. 205). Saya teringat akan kisah orang gila dari Gerasa yang tinggal di pekuburan. Yesus menyembuhkannya, dan kemudian orang itu duduk di kaki Yesus, “telah berpakaian dan sudah waras” (lihat Lukas 8:26-36).
Demikianlah yang terjadi dengan teman saya. Dia duduk di kaki Sang Guru, berpakaian dan waras—masih tetap di penjara, tetapi hatinya bebas. Dia mengatakan siap untuk merubah cara hidupnya dan memulai hidup baru. Sesudah itu dia mengadakan kelompok pembelajaran Alkitab dengan para napi, belajar menggunakan komputer, bekerja di kantor lembaga pemasyarakatan, dan membantu para napi mendapatkan ijazah SMU. Suatu kali dia mengatakan bahwa dia takut isterinya tidak akan menerimanya kembali, karena dia telah sangat berubah, tetapi saya mengingatkan, bahwa mungkin sekali isterinya juga telah berubah, dan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Kira-kira sepuluh tahun yang lalu, setelah menjalani sebagian saja dari masa hukumannya, dia dibebaskan, dan sekarang tinggal dengan isteri dan kedua putrinya, yang menjadi murid Sekolah Minggu Ilmupengetahuan Kristen di dekat tempat tinggal mereka. Kami tetap berhubungan melalui e-mail dan terkadang melalui telpon. Dia mengatakan bahwa pembelajaraan kami saat dia dipenjara telah membuahkan hasil, dan hatinya dipenuhi rasa syukur atas kehidupannya yang selaras, yang pernah disangkanya telah terenggut untuk selamanya.
Pengalaman ini juga membawa perbaikan bagi diri saya. Kita tidak pernah boleh kehilangan harapan bagi seseorang, apa pun keadaannya. Semua anak Allah adalah murni dan sempurna, dan dengan kasih, kesabaran, dan pengertian, kehidupan orang dapat berubah.